"Aku mati. Dibunuh oleh suamiku sendiri setelah semua penderitaan KDRT dan pengkhianatan. Kini, aku kembali. Dan kali ini, aku punya sistem."
Risa Permata adalah pewaris yang jatuh miskin. Setelah kematian tragis ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Doni, anak kepala desa baru yang kejam dan manipulatif. Seluruh hidup Risa dari warisan, kehormatan, hingga harga dirinya diinjak-injak oleh suami yang berselingkuh, berjudi, dan gemar melakukan KDRT. Puncaknya, ia dibunuh setelah mengetahui kebenaran : kematian orang tuanya adalah konspirasi berdarah yang melibatkan Doni dan seluruh keluarga besarnya.
Tepat saat jiwanya lepas, Sistem Kehidupan Kedua aktif!
Risa kembali ke masa lalu, ke tubuhnya yang sama, tetapi kini dengan kekuatan sistem di tangannya. Setiap misi yang berhasil ia selesaikan akan memberinya Reward berupa Skill baru yang berguna untuk bertahan hidup dan membalikkan takdir.
Dapatkah Risa menyelesaikan semua misi, mendapatkan Skill tertinggi, dan mengubah nasibnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Misi Pertama: Membongkar Topeng Paman Hari
Suara detak jam dinding di kamar Risa terasa seperti genderang perang. Baskoro menatap putrinya dengan dahi berkerut. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapan mata Risa—sesuatu yang sangat tajam, dingin, dan penuh perhitungan. Ini bukan lagi tatapan putri manjanya yang biasanya hanya meributkan gaun pesta atau bunga melati.
"Risa, kenapa bicaramu begitu? Paman Hari adalah adik kandung Ayah. Dia sudah menunggu di kantor kota untuk membahas kontrak pengalihan lahan jati," ujar Baskoro lembut, mencoba menenangkan kegelisahan yang ia anggap sebagai efek mimpi buruk.
Risa mengepalkan tangannya di bawah selimut sutra. Kontrak pengalihan lahan jati. Ia ingat betul. Di kehidupan sebelumnya, kontrak inilah yang menjadi lubang pertama bagi kehancuran finansial ayahnya. Paman Hari memasukkan klausul jebakan yang membuat aset ayah Risa berpindah tangan secara perlahan kepada keluarga Wijaya.
[SISTEM : PERINGATAN! WAKTU TERSISA 45 MENIT SEBELUM BASKORO MENANDATANGANI SURAT KEMATIAN BISNISNYA.]
[SARAN : GUNAKAN SKILL 'INSTING PREDATOR' UNTUK MENEMUKAN DOKUMEN ASLI DI TAS KERJA BASKORO.]
Risa menarik napas dalam-dalam. "Ayah, apakah Ayah percaya padaku?"
Baskoro tertegun sejenak melihat keseriusan di wajah putrinya. "Tentu saja, Sayang. Kau adalah segalanya bagi Ayah."
"Kalau begitu, biarkan aku memeriksa tas kerja Ayah sebentar saja. Sebelum Ayah berangkat," pinta Risa.
Baskoro tertawa kecil. "Tas kerja? Isinya hanya dokumen bisnis yang membosankan, Risa. Paman Hari sudah menyiapkannya dengan sangat teliti agar Ayah tidak perlu repot."
"Justru karena Paman Hari yang menyiapkannya, aku harus memeriksanya," sahut Risa dingin. Ia turun dari tempat tidur dengan langkah yang mantap, tanpa ragu sedikit pun. Ia berjalan menuju tas kerja kulit milik ayahnya yang tergeletak di atas meja rias.
Baskoro hendak melarang, namun tatapan Risa yang menusuk membuatnya terdiam. Risa membuka tas itu dan tangannya bergerak cepat. Dengan bantuan Sistem, sebuah cahaya biru tipis hanya terlihat di matanya, menyorot sebuah map merah yang terselip di balik dokumen-dokumen utama.
"Ini dia," desis Risa. Ia menarik map itu keluar.
"Risa, jangan lancang. Itu dokumen rahasia Pamanmu—"
"Rahasia? Mari kita lihat seberapa rahasia dokumen ini, Ayah." Risa membuka map itu dan membacanya dengan kecepatan yang luar biasa. Berkat memori masa depannya, ia tahu persis bagian mana yang harus dicari. "Lihat di sini, Ayah. Halaman 12, pasal 4, ayat b. Di situ tertulis bahwa jika dalam 6 bulan keuntungan tidak mencapai 10%, maka seluruh hak pengelolaan lahan jatuh kepada pihak ketiga secara permanen. Dan pihak ketiga yang dimaksud adalah perusahaan cangkang milik Pak Surya."
Baskoro merebut dokumen itu dengan tangan gemetar. Ia membacanya sekali, dua kali, dan wajahnya perlahan memucat. "Tidak mungkin... Hari bilang ini hanya formalitas keamanan..."
"Paman Hari tidak sedang mengamankan Ayah. Dia sedang memasang jerat leher untuk kita semua," ujar Risa. Suaranya terdengar begitu berwibawa, membuat Baskoro terpaku.
Tepat saat itu, terdengar suara ketukan pintu kamar. Suara yang sangat Risa benci. Suara yang dulu sering menghinanya di gudang bawah tangga.
"Kak Baskoro? Mobil sudah siap. Kita harus segera ke kota agar tidak terlambat bertemu notaris," suara Paman Hari terdengar dari balik pintu, penuh dengan nada antusiasme yang palsu.
Risa menatap pintu itu dengan mata yang memancarkan kebencian murni. Ia bisa merasakan aura hitam dari Paman Hari bahkan sebelum orangnya masuk.
[SISTEM : TARGET TERDETEKSI. PAMAN HARI (PENGKHIANAT LEVEL 1).]
[MISI : BONGKAR TOPENGNYA DI DEPAN BASKORO.]
[HADIAH : UNLOCK 'SISTEM PENYIMPANAN RUANG' & 200 POIN DENDAM.]
Risa memberikan isyarat kepada ayahnya untuk diam. Ia berjalan menuju pintu dan membukanya dengan senyuman yang sangat manis, senyuman yang menyembunyikan belati di baliknya.
"Pagi, Paman Hari. Ayah sepertinya sedang tidak enak badan, jadi mungkin pertemuannya ditunda saja?" ujar Risa dengan nada manja yang dibuat-buat.
Paman Hari masuk ke kamar dengan wajah yang tampak cemas, namun matanya terus melirik ke arah tas kerja Baskoro. "Tidak enak badan? Tapi ini urusan mendesak, Risa. Jika tidak ditandatangani pagi ini, kita bisa kehilangan proyek jutaan dolar!"
Paman Hari mendekati Baskoro yang masih berdiri kaku memegang map merah itu. "Kak, ayo berangkat. Jangan dengarkan anak kecil ini."
Baskoro menatap adiknya dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara duka dan amarah. "Hari, bisa kau jelaskan padaku tentang pasal 4 di dokumen ini?"
Paman Hari membeku. Matanya beralih ke map merah di tangan Baskoro, lalu ke arah Risa yang sedang bersandar di pintu dengan tangan bersedekap. "Itu... itu hanya klausul standar, Kak. Untuk perlindungan pajak. Tidak perlu dikhawatirkan."
"Perlindungan pajak atau penyerahan aset kepada Pak Surya?" tanya Risa tajam. Ia melangkah maju, memperkecil jarak dengan pamannya. "Dan sejak kapan Paman Hari punya rekening rahasia di Bank Kota atas nama Melati, putri mandor ladang utara?"
Paman Hari tersentak hebat, seolah baru saja disambar petir. "Apa?! Bagaimana kau... kau bicara omong kosong apa, Risa?!"
Risa mengeluarkan ponselnya. Di kehidupan masa depan, ia ingat betul nomor rekening yang digunakan Paman Hari untuk menerima suap dari keluarga Wijaya. Ia memang belum memiliki bukti fisik saat ini, namun Sistem memberinya sebuah data simulasi yang sangat akurat.
"Paman ingin aku menyebutkan nomor rekeningnya? Atau Paman ingin aku menceritakan tentang pertemuan rahasia Paman dengan Pak Surya di hotel kota dua malam lalu?" pancing Risa. Ia menggunakan teknik gertak yang ia pelajari dari Revano di masa depan.
"Kak, dia gila! Risa sepertinya benar-benar sakit!" Paman Hari berteriak panik, mencoba meraih map merah itu dari tangan Baskoro.
Namun, Baskoro adalah pria yang cerdas. Reaksi panik adiknya sudah cukup menjadi konfirmasi. Ia menjauhkan map itu dan menatap Paman Hari dengan kehancuran hati yang luar biasa.
"Hari... tega sekali kau. Aku memberikanmu segalanya. Rumah, mobil, posisi di perusahaan... kenapa kau ingin menghancurkanku?" suara Baskoro bergetar.
"Aku tidak menghancurkanmu, Kak! Aku hanya ingin bagianku yang adil!" Paman Hari meledak, topeng kesopanannya retak sepenuhnya. "Kau selalu mendapatkan semua pujian! Ayah mencintaimu lebih dari aku! Aku bosan menjadi bayang-bayangmu!"
Risa melihat momen ini sebagai kesempatan emas. Ia mendekati meja kerja ayahnya dan menekan tombol interkom untuk memanggil penjaga keamanan rumah yang masih setia pada ayahnya—orang-orang yang di masa depan dipecat oleh Doni.
"Keamanan, tolong ke kamar saya sekarang. Ada penyusup yang mencoba mencuri dokumen perusahaan," ujar Risa dingin.
"Risa! Kau berani padaku?!" Paman Hari mencoba menerjang Risa, tangannya terangkat hendak menampar.
Namun, Risa bukan lagi gadis lemah. Sebelum tangan Paman Hari menyentuh pipinya, Risa menangkap pergelangan tangan pamannya dengan gerakan yang sangat cepat dan memutarnya ke belakang.
KRAK!
"AAAAAKH!" Paman Hari mengerang kesakitan, berlutut di lantai.
Baskoro ternganga melihat putrinya bisa melakukan teknik bela diri seperti itu. "Risa... dari mana kau belajar itu?"
"Mimpi burukku mengajariku banyak hal, Ayah," jawab Risa tanpa menoleh. Ia menekan wajah Paman Hari ke lantai semen—persis seperti yang dilakukan anak buah Revano padanya dulu. "Dengar baik-baik, Paman. Mulai detik ini, kau dilarang menginjakkan kaki di rumah ini. Semua aset yang kau pegang akan diaudit. Dan jika aku menemukan satu saja rupiah yang kau curi dari Ayah... aku sendiri yang akan memastikannya kau membusuk di penjara."
Beberapa menit kemudian, penjaga keamanan datang dan menyeret Paman Hari keluar. Suara makian pria itu masih terdengar hingga ke halaman, namun Risa tidak peduli. Ia baru saja memotong salah satu kepala ular yang mengelilingi ayahnya.
Baskoro terduduk di kursi rias Risa, memegangi kepalanya yang pening. Keadaan ini terlalu cepat berubah baginya. "Risa... Ayah merasa seperti tidak mengenalmu. Apa yang sebenarnya terjadi padamu tadi malam?"
Risa berlutut di depan ayahnya, memegang tangan pria itu. Tangannya hangat, tidak dingin seperti saat Risa memeluk mayatnya di dasar jurang.
"Ayah, aku mendapatkan peringatan dari Ibu dalam mimpiku," bohong Risa, menggunakan nama ibunya untuk meyakinkan Baskoro. "Ibu menunjukkan padaku semua pengkhianatan yang akan terjadi. Paman Hari, Pak Surya, Doni Wijaya... mereka semua berencana menghancurkan kita."
Baskoro menatap mata Risa. Ia melihat ketulusan dan ketakutan yang mendalam di sana. "Lalu... apa yang harus kita lakukan sekarang? Jika Hari sudah berkhianat, maka bisnis kita dalam bahaya besar. Pak Surya adalah orang yang sangat berpengaruh di kabupaten."
Risa tersenyum kecil. Sebuah senyuman yang mengandung rencana besar.
"Kita tidak akan lari, Ayah. Kita akan menyerang lebih dulu," ujar Risa. "Ayah, aku butuh Ayah membatalkan semua kontrak dengan keluarga Wijaya hari ini. Dan sebagai gantinya, aku ingin Ayah menghubungi seseorang di kota."
"Siapa?"
"Revano Adhyaksa."
Baskoro terkejut. "Keluarga Adhyaksa? Mereka adalah hiu di kota besar. Kenapa kita harus berurusan dengan mereka? Ayah mendengar mereka sangat kejam."
"Mereka memang kejam, Ayah. Tapi mereka punya satu hal yang kita butuhkan: Kekuatan untuk menghancurkan keluarga Wijaya," jawab Risa. "Di dunia ini, cara terbaik untuk membunuh serigala adalah dengan membawa naga. Dan aku akan memastikan naga itu tunduk pada kita, bukan sebaliknya."
[SISTEM : MISI PERTAMA SELESAI!]
[TARGET 'PAMAN HARI' BERHASIL DISINGKIRKAN DARI LINGKARAN DALAM.]
[REWARD : UNLOCK 'SISTEM PENYIMPANAN RUANG' & 200 POIN DENDAM.]
[BONUS : INFORMASI RAHASIA: PAK SURYA TELAH MENYEMBUNYIKAN SADAPAN DI RUANG KERJA AYAHMU.]
Risa melihat notifikasi sistem itu. Matanya menyipit. Sadapan?
Ia segera berdiri dan mengajak ayahnya ke ruang kerja. "Ayah, ada satu hal lagi. Kita harus membersihkan ruang kerja Ayah. Aku merasa ada telinga yang tidak seharusnya di sana."
Baskoro mengikuti Risa dengan penuh kepatuhan. Ia seolah tersihir oleh aura kepemimpinan putrinya. Di ruang kerja, Risa menggunakan sistem untuk memindai ruangan. Benar saja, di balik bingkai foto keluarga mereka, terdapat sebuah alat kecil yang berkedip sangat halus.
Risa mengambil alat itu dan menghancurkannya dengan tumit sepatunya.
"Pak Surya benar-benar tidak sabar," desis Risa. "Ayah, mulai sekarang, jangan bicarakan urusan bisnis penting di dalam rumah ini kecuali aku ada di samping Ayah. Dan satu hal lagi... aku ingin Ayah mengizinkanku mengelola ladang utara."
"Ladang utara? Tapi Risa, itu tempat yang keras. Banyak mandor nakal di sana," protes Baskoro.
"Justru karena itu, Ayah. Di sanalah 'Harta Karun' kita berada. Dan aku tidak akan membiarkan satu pun tangan kotor menyentuhnya kali ini."
Risa berdiri di jendela ruang kerja, menatap ke arah gerbang rumah yang kini dijaga ketat. Ia tahu, pengusiran Paman Hari hanyalah pembukaan. Besok, Pak Surya pasti akan datang dengan kemarahan besar. Dan Doni Wijaya... pria itu pasti akan mencoba mendekatinya dengan topeng "pahlawan"-nya lagi.
"Doni... aku sudah tidak sabar melihat wajahmu saat kau menyadari bahwa mainanmu kali ini adalah mautmu sendiri," bisik Risa pada angin.
Malam harinya, Risa duduk sendirian di taman belakang. Ia mencoba mengakses Sistem Penyimpanan Ruang yang baru saja ia dapatkan. Ia menemukan bahwa ia bisa menyimpan benda apa pun ke dalam dimensi hampa dan mengeluarkannya kapan saja.
Sangat berguna untuk menyembunyikan bukti-bukti penting, pikirnya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
"Nona Risa Permata? Saya mendengar Anda baru saja menendang Paman Anda keluar. Sebuah langkah yang berani, tapi sangat bodoh. Anda baru saja mengibarkan bendera perang dengan pihak yang salah. - R.A"
Risa menatap inisial itu. R.A. Revano Adhyaksa.
Ia tersenyum dingin. Di kehidupan ini, Revano sudah mulai memperhatikannya jauh lebih awal.
"R.A... kau pikir kau yang mengawasiku? Di kehidupan ini, akulah yang akan membimbingmu menuju kehancuran musuh-musuh kita. Dan jika kau berani mencoba mengkhianatiku lagi... aku sudah tahu di mana letak kelemahan terbesarmu."
Risa membalas pesan itu dengan singkat dan padat:
"Bawa naga-mu ke Desa Makmur besok pagi jam 10. Aku punya sesuatu yang tidak bisa ditolak oleh Adhyaksa Group. Jangan terlambat."
Permainan catur yang sebenarnya baru saja dimulai. Dan bidak putih pertama telah melangkah maju untuk menghancurkan raja hitam.
Keesokan paginya, sebuah iring-iringan mobil hitam mewah memasuki Desa Makmur. Namun, di saat yang bersamaan, Pak Surya dan Doni Wijaya juga datang ke rumah Risa dengan membawa sepasukan preman, mengklaim bahwa Baskoro memiliki hutang yang belum dibayar.
Risa berdiri di teras rumah, memegang sebuah dokumen yang akan merubah peta kekuatan di desa itu selamanya. Apakah ia akan menggunakan Revano untuk mengusir Doni, atau ia punya cara yang lebih menyakitkan untuk mempermalukan mereka di depan seluruh warga desa?