Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Penyelamatan dan Fitnah
Langit di atas Sektor Azure tidak pernah benar-benar bersahabat, namun sore itu, atmosfer tampak seperti luka yang membusuk. Awan kelabu pekat menggantung rendah, memuntahkan butiran debu kristal yang tajam dan dingin. Di tepian tebing yang memisahkan kemegahan istana melayang dengan kegelapan lembah tambang, Lyra Elviana berdiri dengan napas yang mulai tersengal.
Jubah sutra birunya yang ditenun dengan benang mana kini tampak kusam, berat oleh kelembapan udara yang beracun. Ia seharusnya tidak berada di sini. Sebagai putri dari High Lord Valerius, kakinya diciptakan untuk menginjak lantai marmer Solaria, bukan tanah berbatu yang penuh dengan residu pembuangan energi.
"Berhenti di sana, Putri. Langkah Anda sudah sampai di ujung takdir," sebuah suara parau memecah deru angin.
Tiga pria berseragam prajurit tanpa lencana muncul dari balik kabut debu. Mereka bukan penjaga kerajaan. Pedang tipis yang mereka genggam memancarkan aura kehijauan yang tidak wajar—racun saraf yang mampu melumpuhkan jalur energi seorang Elf dalam hitungan detik.
"Siapa yang mengirim kalian?" Lyra mencoba menjaga martabat suaranya, meski jemarinya gemetar hebat di balik lengan baju. "Kalian tahu apa konsekuensinya jika menyentuh darah Elviana?"
"Konsekuensi hanya berlaku bagi mereka yang selamat untuk bercerita," salah satu dari mereka menyeringai, mulai melangkah maju dengan ujung pedang yang membidik jantung.
Lyra memejamkan mata, tangannya meraba udara, mencoba memanggil sisa-sisa mana untuk membentuk perlindungan. Namun, udara di perbatasan ini terlalu miskin energi. Ia merasa hampa, merasa rapuh, hingga sebuah suara hantaman benda tumpul yang berat merobek keheningan.
BRAK!
Seorang pria dengan pakaian compang-camping melompat dari tebing atas. Ia mendarat dengan dentuman yang menggetarkan permukaan batu, seolah tubuhnya terbuat dari logam padat, bukan daging. Kaelan, dengan wajah yang separuhnya tertutup jelaga tambang, berdiri tegak di depan Lyra. Tangannya yang kasar memegang sebuah kapak tambang karatan yang ujungnya masih bersimbah sisa mineral.
"Mundur, Tuan Putri," ucap Kaelan tanpa menoleh. Suaranya rendah, datar, namun memiliki otoritas yang aneh.
"Kaelan? Apa yang kau lakukan di sini? Ini berbahaya!" Lyra memekik, napasnya tertahan saat melihat para pembunuh itu mulai mengepung Kaelan.
"Mencari sisa bijih mana. Tapi sepertinya aku menemukan sampah yang perlu dibuang," Kaelan mengeratkan genggamannya. Rahangnya mengeras, otot-otot lengannya menegang hingga urat-uratnya tampak seperti akar pohon yang kuat.
"Hanya seorang buruh tambang?" salah satu pembunuh tertawa mengejek. "Kau ingin mati demi tuanmu yang sombong ini, Manusia?"
Tanpa peringatan, pria itu menerjang. Pedang beracunnya bergerak secepat kilat. Namun, Kaelan tidak menghindar. Ia justru maju selangkah, membiarkan pedang itu menyayat bahunya. Suara gesekan logam terdengar aneh, seolah mata pedang itu baru saja membentur sesuatu yang jauh lebih keras daripada tulang manusia biasa.
Kaelan mendengus pelan, menahan rasa perih yang menjalar. Ia mengayunkan kapaknya dengan putaran horizontal yang brutal. Kekuatan murni yang dihasilkan dari setiap inci ototnya membuat udara di sekitarnya berdesing. Ujung kapak itu menghantam dada lawan hingga terdengar bunyi tulang rusuk yang remuk seketika.
"Satu," gumam Kaelan dingin.
Dua pembunuh lainnya saling pandang, keraguan mulai muncul di mata mereka. Namun, perintah yang mereka bawa lebih menakutkan daripada seorang buruh tambang. Mereka menyerang secara bersamaan dari dua sisi.
"Kaelan, di belakangmu!" teriak Lyra.
Lyra merasakan dadanya sesak, seolah jantungnya ikut berdenyut nyeri setiap kali ia melihat senjata lawan menyentuh kulit Kaelan. Resonansi yang aneh mulai menarik jiwanya, sebuah keterikatan yang tidak pernah ia pahami sebelumnya. Setiap luka yang muncul di tubuh pria itu seolah-olah menggores batinnya sendiri.
Kaelan berputar, menggunakan momentum tubuhnya untuk menghantamkan gagang kapak ke wajah pembunuh kedua, sementara tangan kirinya yang kosong nekat menangkap mata pedang lawan ketiga. Darah merah pekat mengalir dari telapak tangannya, membasahi debu di bawah kaki mereka.
"Kau... kau monster apa?" bisik pembunuh terakhir dengan wajah pucat saat melihat Kaelan sama sekali tidak melepaskan genggamannya pada bilah tajam itu.
"Aku hanya manusia yang ingin menyelesaikan shift kerjanya dengan tenang," Kaelan menyentak pedang itu hingga patah, lalu dengan satu dorongan bahu, ia melemparkan pria itu jatuh ke dalam jurang kabut.
Keheningan kembali menguasai tebing. Kaelan berdiri mematung sebentar, napasnya berat dan tidak beraturan. Ia menjatuhkan kapaknya yang kini patah menjadi dua. Darah dari telapak tangannya terus menetes, menciptakan noda merah di atas bebatuan kelabu.
Lyra segera berlari mendekat. Ia tidak peduli lagi dengan martabat atau kasta. "Bodoh! Kenapa kau menangkap pedang itu dengan tangan telanjang?"
"Jika tidak, pedang itu akan memantul ke arahmu," jawab Kaelan singkat. Ia mencoba menyembunyikan tangannya yang gemetar di balik punggung, sebuah usaha sia-sia untuk menjaga sisa-sisa harga dirinya sebagai seorang pria di depan wanita yang ia sayangi secara diam-diam.
"Duduklah. Biar kulihat," Lyra menarik tangan Kaelan dengan paksa. Matanya berkaca-kaca melihat luka robek yang sangat dalam itu. Tanpa ragu, Lyra merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan sebuah sapu tangan sutra berwarna Azure yang disulam dengan inisial namanya.
"Jangan, Putri. Itu kain berharga. Tangan saya kotor," Kaelan mencoba menarik tangannya kembali.
"Diamlah, Kaelan. Nyawamu jauh lebih berharga daripada sepotong kain," Lyra mulai membalut luka itu dengan lembut.
Sentuhan jemari halus Lyra pada kulitnya yang kasar menciptakan kontras yang menyakitkan bagi Kaelan. Ia merasa tidak pantas. Bau wangi melati dari tubuh Lyra terasa begitu asing di tengah bau anyir darah dan debu tambang yang melilit dirinya. Namun, di saat yang sama, kehangatan itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa masih menjadi manusia.
"Terima kasih," bisik Kaelan hampir tak terdengar.
"Aku yang harus berterima kasih. Kau menyelamatkanku lagi," Lyra mendongak, menatap mata Kaelan. Untuk sesaat, jarak kasta di antara mereka seolah runtuh.
Namun, momen itu hancur saat suara derap langkah sepatu bot militer yang teratur terdengar mendekat. Cahaya lampion mana yang terang mulai menembus kabut, diikuti oleh sekumpulan prajurit elit berbaju zirah perak yang berkilau. Di depan mereka, seorang pria dengan jubah putih bersih dan rambut pirang yang tertata sempurna melangkah dengan angkuh.
Pangeran Alaric.
Alaric menatap pemandangan di depannya dengan tatapan muak. Matanya tertuju pada tangan Lyra yang masih memegang tangan Kaelan, lalu pada sapu tangan Azure yang kini ternoda darah kotor.
"Lepaskan tanganmu dari Putri, Tikus Tambang," suara Alaric dingin dan tajam seperti sembilu.
Lyra berdiri, mencoba menghalangi jalan Alaric. "Alaric, syukurlah kau datang! Kaelan baru saja menyelamatkanku dari pembunuh. Dia terluka parah."
Alaric tidak memandang Lyra. Ia terus berjalan maju hingga berdiri tepat di depan Kaelan yang masih duduk bersandar di batu. Dengan gerakan yang sengaja dan penuh penghinaan, Alaric mengayunkan sepatu botnya, menginjak tangan Kaelan yang baru saja dibalut oleh Lyra.
"Agh!" Kaelan merintih tertahan, rahangnya mengatup rapat hingga kuku-kukunya memutih karena menahan amarah dan rasa sakit yang luar biasa.
"Apa yang kau lakukan? Hentikan!" Lyra mencoba mendorong bahu Alaric, namun Alaric tetap tak bergeming.
"Menyelamatkanmu? Atau ini hanya sandiwara yang kau ciptakan sendiri, Manusia?" Alaric menekan kakinya lebih keras, memutar tumitnya di atas luka Kaelan yang masih basah. "Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Kau menyekap Putri di tempat terpencil ini. Kau mencoba menculiknya, bukan?"
"Itu fitnah! Dia menyelamatkanku!" teriak Lyra dengan suara serak.
Kaelan mendongak, menatap mata Alaric. Tidak ada ketakutan di sana, hanya kilatan kebencian yang ditekan sedalam mungkin. Ia bisa saja bangkit dan menghancurkan leher pria sombong ini dengan teknik tulang besinya, namun ia melihat mata Lyra. Ia tahu, jika ia melawan sekarang, Lyra akan terseret dalam kehancuran yang lebih besar.
"Tatap mataku, Sampah. Kau pikir kau siapa? Hanya karena Putri merasa kasihan padamu, kau pikir kau bisa menyentuhnya dengan tangan menjijikkanmu itu?" Alaric meludah tepat di depan wajah Kaelan.
"Saya... hanya melakukan apa yang harus saya lakukan," ucap Kaelan dengan suara yang bergetar menahan gejolak di dadanya.
"Benar. Dan yang harus kau lakukan sekarang adalah menerima hukumanmu," Alaric menarik pedang cahayanya yang menyilaukan, ujungnya yang panas diletakkan tepat di bawah dagu Kaelan. "Katakan pada semua orang, kau yang membawa Putri ke sini untuk diperas, atau aku akan memenggal kepalamu sekarang juga."
Lyra jatuh terduduk, air mata mulai mengalir di pipinya. "Tolong, Alaric... jangan lakukan ini. Aku mohon..."
Alaric tersenyum tipis, sebuah senyuman kemenangan yang bengis. Ia menoleh ke arah pasukannya. "Tangkap penculik ini! Bawa dia ke sel bawah tanah Council. Besok pagi, kita akan melihat apakah tulang-tulangnya sekeras nyalinya."
Dua prajurit menyeret Kaelan dengan kasar. Kaelan tidak melawan. Ia membiarkan dirinya ditarik melewati Lyra. Saat mata mereka bertemu untuk terakhir kalinya sebelum kegelapan malam menelan semuanya, Kaelan memberikan sebuah gelengan kecil—sebuah pesan tanpa kata agar Lyra tetap diam demi keselamatannya sendiri.
"Kaelan!" jeritan Lyra menggema di tebing Azure, namun hanya dibalas oleh tawa dingin Alaric dan deru badai yang semakin menggila.
Sel bawah tanah di bawah gedung High Council adalah tempat di mana cahaya matahari dianggap sebagai legenda. Dindingnya terbuat dari batu obsidian yang mampu menyerap energi mana, membuat siapa pun yang memiliki kekuatan sihir akan merasa hampa dan lemah di dalamnya. Kaelan terlempar ke lantai batu yang dingin, tubuhnya berderak saat berbenturan dengan permukaan yang keras.
"Tetap di sana, Tikus. Jangan coba-beranjak jika kau masih ingin melihat fajar," bentak salah satu penjaga sebelum membanting pintu jeruji besi dengan dentuman yang memekakkan telinga.
Kaelan meringkuk, napasnya berat dan panas. Darah dari telapak tangannya telah merembes keluar dari balutan sapu tangan sutra milik Lyra, mengubah warna biru langit kain itu menjadi merah kehitaman yang kusam. Ia menempelkan sapu tangan itu ke wajahnya, menghirup sisa-sisa aroma melati yang masih tertinggal di sana. Hanya itu satu-satunya jangkar yang membuatnya tetap waras di tengah rasa sakit yang mulai merobek kesadarannya.
"Kau seharusnya lari, Kaelan," bisik sebuah suara dari balik bayang-bayang sel di seberangnya.
Kaelan berusaha memfokuskan matanya yang mulai kabur. Di sana, seorang pria bertubuh raksasa dengan rantai berat melilit pergelangan tangannya duduk bersila. Bara. Sahabatnya sesama buruh tambang yang telah hilang selama seminggu setelah dituduh mencuri kristal mana.
"Bara? Kau masih hidup?" Kaelan berusaha duduk, meski bahunya terasa seperti dihujam paku panas.
"Hanya tubuhku yang hidup. Jiwaku sudah mati saat mereka mencambuk punggungku untuk pengakuan yang tidak pernah kulakukan," Bara mendongak, menunjukkan bekas luka cambuk yang masih basah di lehernya. "Kenapa kau di sini? Jangan katakan kau tertangkap karena mencoba membela Putri itu lagi."
Kaelan terdiam. Ia mengepalkan tangannya yang terluka, merasakan sensasi tulang-tulangnya yang berdenyut aneh. Di dalam sumsum tulangnya, energi Iron Bone mulai bereaksi terhadap rasa sakit, mencoba memadatkan strukturnya. Namun, tanpa nutrisi dan energi yang cukup, proses itu justru terasa seperti ribuan jarum yang menusuk dari dalam.
"Dia dalam bahaya, Bara. Alaric... dia bukan sekadar tunangan yang sombong. Dia berbahaya," ucap Kaelan parau.
"Tentu saja dia berbahaya! Dia adalah Elf darah murni, dan kita hanya debu di bawah sepatunya. Kau pikir pengorbananmu akan dihargai? Lihat dirimu sekarang! Kau akan mati sebagai pengkhianat, dan Putri itu akan dipaksa melupakan namamu," suara Bara naik satu oktav, penuh dengan kepahitan yang mendalam.
"Dia tidak akan melupakanku," Kaelan menatap sapu tangan di genggamannya. "Aku melihat matanya. Dia merasakan apa yang kurasakan."
"Itu hanya imajinasimu karena terlalu banyak menghirup debu kristal! Bangunlah, Kaelan! Di dunia ini, tidak ada cinta melintasi kasta, yang ada hanya eksploitasi dan kematian," Bara memalingkan wajah, bahunya yang lebar berguncang pelan.
Di lantai atas, di dalam aula pertemuan High Council yang megah, suasana tidak kalah mencekam. Lyra berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh para tetua Elf yang menatapnya dengan pandangan menghakimi. Ayahnya, High Lord Valerius, duduk di kursi tertinggi dengan wajah sedingin es.
"Ayah, aku bersumpah demi leluhur kita, Kaelan tidak menculikku! Dialah yang menghalau para pembunuh itu!" suara Lyra gemetar karena amarah dan kesedihan.
"Pembunuh yang mana, Lyra? Alaric hanya menemukanmu bersama seorang buruh kasar di zona terlarang," Valerius berbicara dengan suara berat yang menggema. "Kau telah mencoreng nama baik Elviana. Berada di sana saja sudah merupakan pelanggaran, apalagi bersentuhan dengan manusia rendah itu."
"Tapi dia terluka karena aku! Tangannya... dia menangkap pedang dengan tangan telanjang untuk melindungiku!"
Alaric, yang berdiri di samping Valerius, melangkah maju dengan ekspresi prihatin yang dibuat-buat. "Putri, aku mengerti kau sedang dalam keadaan trauma. Manusia itu pasti telah menggunakan semacam sihir hitam atau ramuan dari klan alkemis terlarang untuk memanipulasi pikiranmu. Bagaimana mungkin seorang buruh tambang mampu melawan tiga pembunuh bersenjata? Itu tidak masuk akal, kecuali dia adalah bagian dari mereka."
"Kau berbohong, Alaric! Kau tahu persis apa yang terjadi!" Lyra menunjuk wajah Alaric dengan jari yang gemetar.
"Cukup, Lyra!" bentak Valerius, membuat seluruh ruangan seketika hening. "Kau akan dikunci di kamarmu sampai hari persidangan manusia itu tiba. Dan Alaric, pastikan interogasi berjalan dengan cepat. Kita butuh pengakuan tertulis bahwa dia adalah agen dari Terra yang mencoba menyusup ke Sektor Azure."
"Dengan senang hati, My Lord," Alaric membungkuk hormat, sudut bibirnya terangkat membentuk seringai kemenangan yang hanya bisa dilihat oleh Lyra.
Prajurit penjaga menarik Lyra keluar dari aula. Ia meronta, namun kekuatannya tidak sebanding. Saat ia diseret melewati lorong-lorong kristal, ia merasakan dadanya tiba-tiba berdenyut nyeri yang amat sangat. Rasa panas menjalari telapak tangannya, tepat di posisi yang sama dengan luka Kaelan.
Resonansi Penderitaan.
Lyra jatuh berlutut di lorong, memegangi tangannya yang tampak bersih namun terasa seperti sedang disayat sembilu. "Kaelan... apa yang mereka lakukan padamu?" tangisnya pecah, air matanya jatuh membasahi lantai marmer yang dingin.
Kembali di sel bawah tanah, pintu jeruji kembali terbuka. Kali ini bukan penjaga biasa yang datang. Alaric masuk dengan langkah pelan, memegang sebuah cambuk yang ujungnya dipasangi serpihan kristal penghisap mana.
"Keluar, Bara. Aku punya urusan pribadi dengan pahlawan kita ini," perintah Alaric.
Bara hanya bisa menatap Kaelan dengan tatapan pilu saat para penjaga menyeretnya keluar dari sel, meninggalkan Kaelan sendirian bersama Alaric dalam kegelapan.
Alaric mendekati Kaelan, lalu dengan gerakan tiba-tiba, ia menyambar sapu tangan Azure dari genggaman Kaelan. "Kain ini terlalu suci untuk berada di tangan berlumuran lumpur sepertimu."
"Kembalikan..." Kaelan berusaha menggapai, namun Alaric menendang dadanya hingga ia terbatuk darah.
"Besok, di depan dewan, kau akan mengatakan bahwa kau merayu Putri Lyra dengan sihir hitam. Kau akan mengatakan bahwa kau adalah mata-mata dari Bastion," Alaric membakar sapu tangan itu dengan sedikit percikan sihir cahaya di depan mata Kaelan. "Jika kau melakukannya, aku akan membiarkanmu mati dengan cepat. Jika tidak..."
Alaric mengayunkan cambuknya.
CETAR!
Suara robekan kulit dan teriakan tertahan Kaelan menyatu dengan aroma kain sutra yang terbakar. Kaelan memejamkan mata, membayangkan wajah Lyra di balik kelopak matanya. Ia merasakan setiap hantaman cambuk itu bukan sebagai hukuman, melainkan sebagai mahar yang harus ia bayar untuk keselamatan wanita yang ia cintai.
Rahangnya mengeras. Meski darah mengalir membasahi punggungnya, meski martabatnya diinjak-injak, Kaelan tidak mengeluarkan suara tangisan sedikit pun. Di dalam kegelapan sel itu, di tengah rasa sakit yang tak terperi, sesuatu di dalam tulang-tulangnya mulai terbangun. Sebuah kekuatan purba yang selama ini ia sembunyikan mulai berdenyut, merespons setiap tetes darah yang tumpah ke lantai obsidian.
"Kau bisa menghancurkan tubuhku, Alaric," bisik Kaelan di sela-sela napasnya yang berdarah. "Tapi kau tidak akan pernah bisa menghancurkan apa yang ada di antara kami."
Alaric meraung marah, kembali mengayunkan cambuknya dengan kekuatan penuh. Kegelapan di sel itu seolah menjadi saksi bisu atas awal dari sebuah badai yang akan meruntuhkan seluruh Benua Langit.
--------------------
SISTEM LEVEL KULTIVASI: LENTERA JIWA Dunia ini mengenal enam tingkatan besar, di mana setiap tingkat memiliki 9 tahap pengembangan (1-3 Awal, 4-6 Menengah, 7-9 Puncak).
SPARK (Percikan): Fokus pada pengumpulan energi di otot dan tulang. Kaelan saat ini berada di Spark Tahap 6 (Iron Bone Marrow), sebuah anomali bagi manusia yang biasanya hanya mentok di tahap 3.
IGNITION (Penyulutan): Pembentukan jalur sirkulasi energi yang stabil. Aura mulai terlihat di permukaan kulit.
BLAZE (Kobaran): Aura energi meluap dan bisa digunakan untuk serangan jarak jauh. Pangeran Alaric berada di Blaze Tahap 9.
COMMANDER (Komandan): Manifestasi energi menjadi senjata atau zirah fisik yang sangat keras.
SOVEREIGN (Penguasa): Pembentukan Domain atau wilayah kekuasaan yang bisa memanipulasi hukum alam (High Lord Valerius berada di sini).
TRUE HUMAN / ANCESTRAL ELF: Tahap keabadian dan penyatuan roh dengan semesta.
LATAR DUNIA & WILAYAH Dunia terbagi secara vertikal yang mencerminkan kasta sosial:
Benua Langit (Aethelgard): Domain ras Elf. Kota kristal Solaria yang melayang, Akademi Aetheria, dan Kebun Azure milik keluarga Elviana. Wilayah dengan mana melimpah.
Benua Rendah (Terra): Domain ras manusia (budak). Wilayah gersang, penuh debu kristal, dan kekurangan energi alam. Lokasi penting: Ash-Valley (asal Kaelan), Bastion (benteng manusia), dan Altar Tertinggi (pusat kontrol Council di Terra).
Garis Merah (The Red Line): Zona perang tak bertuan antara Terra dan Celah Void.
Celah Void (Abyss of Void): Retakan dimensi di dasar dunia, tempat bersemayamnya makhluk bayangan dan energi negatif yang mematikan.