Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
resah
Pada istirahat pertama, Elara dan Nayomi berjalan menyusuri koridor lantai dua sekolah. Tangan mereka masing-masing memegang tumpukan buku yang cukup tebal—buku-buku milik guru Bahasa Indonesia yang tadi meminta bantuan karena rak di ruang guru sedang dibereskan. Keduanya melangkah berdampingan, langkah Nayomi santai sementara Elara terlihat sedikit melamun.
Koridor cukup ramai. Beberapa siswa duduk di pinggir jendela, ada yang bersandar di loker, ada pula yang asyik menunduk menatap layar ponsel. Di antara keramaian itu, Elara tanpa sengaja menangkap potongan percakapan dari sekelompok siswa yang berdiri tak jauh dari mereka.
“Eh, katanya besok bakal ada murid baru ya kelas dua belas,” ucap seorang siswa sambil scroll ponselnya.
“Hah? Yang bener lo? Kelas dua belas kan udah mau ulangan semester satu. Lagian udah kelas akhir, mana mungkin,” sahut siswa lain dengan nada tidak percaya.
“Bisa aja, jaman sekarang apa-apa pake duit,” celetuk siswa ketiga sambil terkekeh.
“Hm, bener juga sih,” balas yang pertama.
Langkah Elara melambat tanpa ia sadari. Tangannya sedikit mengerat pada buku-buku yang dibawanya. Nayomi yang berjalan di sampingnya baru sadar ketika Elara hampir saja menabrak seorang siswa yang berpapasan.
“El, lo kenapa sih?” tanya Nayomi sambil melirik heran.
Elara tersentak, lalu menoleh. “Hah? Kenapa?”
“Dari tadi lo bengong,” kata Nayomi curiga.
Elara menghela napas pelan. “Lo denger gak, Nay? Katanya bakal ada murid baru cewek.”
Nayomi mengangkat alis. “Ya terus kenapa?”
“Gak tau…” Elara terdiam sejenak, mencari kata yang pas. “Perasaan gue tuh… gak enak.”
Nayomi berhenti berjalan, menatap Elara dari samping. “Gak enak gimana?”
“Kayak…” Elara menelan ludah. “Kayak mau ada kehilangan.”
Nayomi tertawa kecil, lalu menggeleng. “Lo kebanyakan mikir. Paling juga lo lapar.”
“Ini serius, Nay,” ucap Elara pelan, kali ini nada suaranya lebih jujur.
Nayomi menepuk bahu Elara lembut. “Udahlah, jangan terlalu dipikirin. Rumor doang. Mending kita ke kantin, pasti mereka udah pada nunggu.”
Elara ragu sejenak, lalu mengangguk. “Yaudah.”
Mereka pun melanjutkan langkah menuju kantin. Begitu sampai, pemandangan meja panjang yang penuh dengan makanan langsung menyambut mereka. Ada sosis, cimol, gorengan, minuman dingin—terlihat seperti hasil serbuan satu geng penuh.
“Wahhh,” mata Nayomi berbinar. “Siapa yang mesen makanan sebanyak ini?”
“Gue, kenapa emang?” jawab Leo dengan nada sok bangga sambil bersandar di kursi.
“Mau dong,” kata Nayomi tanpa ragu.
Leo menyeringai. “Boleh. Tapi satu tusuk dua puluh ribu.”
“ANJIRR,” Nayomi melotot. “Di warung depan sekolah itu cimol dua puluh ribu dapet satu kantong, ini satu tusuk!”
Leo tertawa. “Bercanda kali. Ambil aja.”
Nayomi langsung mengambil cimol itu dengan senyum puas. Mereka semua mulai makan, suasana meja kembali ramai. Kaizen yang duduk di samping Nayomi tanpa sadar menyuapkan satu potong sosis ke mulut Nayomi. Nayomi refleks menerimanya.
Detik berikutnya, meja itu mendadak sunyi.
“Hehhh,” Ezra memicingkan mata. “Ini ada hubungan apa nih kalian? Romantis banget.”
“Pac—” Kaizen hampir saja bicara, tapi terhenti ketika Nayomi cepat-cepat berkata,
“Kan kita cuma temen dekat,” ucap Nayomi sambil tersenyum tipis.
“Iya,” sahut Kaizen singkat, terdengar pasrah.
“Tapi gak biasanya,” celetuk Kairo sambil nyengir.
“Udah, diem,” Nayomi mendengus. “Gue pengen menikmati makanan.”
Tawa kecil pecah, tapi Elara tetap diam. Ia duduk di sana, memegang cimol tanpa benar-benar memakannya. Pikirannya masih melayang pada bisikan di koridor tadi.
Arsen yang duduk berhadapan dengannya memperhatikan sejak tadi. “Kenapa, El?” bisiknya pelan.
Elara tersentak. “Hah? Gak papa.”
“Dari tadi lo gak makan,” kata Arsen, nadanya penuh heran.
“Lagi mikirin tugas,” jawab Elara canggung, lalu asal mengambil cimol dari tangan Nayomi.
“Eh! Itu punya gue!” protes Nayomi.
“Minta. Ini kan punya si Leo juga,” balas Elara cepat.
“Ya ampun El, pengen rasanya gue remuk-remuk muka lo,” gerutu Nayomi, tapi senyum tetap terukir di wajahnya.
Elara ikut tersenyum kecil, tapi jauh di dalam hatinya, ada rasa gelisah yang belum juga pergi.
Entah kenapa, rumor tentang murid baru itu terasa berbeda.
Seolah bukan sekadar cerita kosong.
Seolah… akan membawa sesuatu yang mengubah semuanya.
★★★
Setelah candaan kecil itu, meja mereka kembali dipenuhi suara tawa dan bunyi tusuk cimol yang saling beradu. Namun, Elara tetap diam. Tatapannya kosong, jarinya memainkan ujung seragam, seolah pikirannya tertinggal jauh dari keramaian di depannya.
Arsen memperhatikan itu sejak tadi. Dari cara Elara tersenyum yang dipaksakan, dari caranya menunduk setiap kali ada yang bicara soal murid baru. Itu bukan Elara yang biasanya—yang cerewet, spontan, dan selalu ikut nimbrung.
“Nanti abis jam terakhir, kalian ada acara gak?” tanya Arsen tiba-tiba, memecah suasana.
Semua menoleh padanya.
“Kenapa?” tanya Ezra sambil menyeruput minuman.
“Ke Timezone, yuk,” ucap Arsen santai. “Buat ngilangin penat.”
“Buset, tiba-tiba banget,” komentar Leo.
“Gue traktir,” sambung Arsen cepat.
Kaizen mengangkat alis. “Serius?”
Arsen mengangguk. “Anggap aja… refreshing.”
Nayomi langsung tersenyum. “Wah, kalo gratis mah gas.”
Elara akhirnya menoleh ke Arsen. “kamu beneran, Nio?”
Arsen menatap Elara sekilas, lalu tersenyum kecil. “beneran."
Jam pelajaran terakhir terasa lebih cepat dari biasanya. Entah karena antusiasme atau sekadar ingin segera keluar dari ruang kelas yang penuh bisikan soal murid baru. Begitu bel pulang berbunyi, mereka langsung bergegas.
Mall tak jauh dari sekolah itu ramai seperti biasa. Lampu-lampu Timezone menyala terang, suara mesin permainan bercampur dengan tawa pengunjung. Begitu masuk, suasana berubah. Hiruk-pikuk sekolah seolah tertinggal di luar.
“Okay, bebas,” ucap Arsen sambil menyerahkan kartu permainan. “Main sepuasnya.”
“Gila, sultan,” komentar Leo kagum.
Nayomi langsung menarik Kaizen ke arah mesin basket. “Ayo, siapa kalah traktir minum.”
“ayo” balas Kaizen.
Ezra dan Kairo memilih mesin balap, saling menantang dengan teriakan berisik. Suasana perlahan menjadi lebih hidup.
Elara berdiri agak ke belakang, memperhatikan mereka semua. Untuk sesaat, pikirannya benar-benar kosong. Tidak ada rumor, tidak ada firasat aneh—hanya suara permainan dan tawa teman-temannya.
“Main itu,” ucap Arsen sambil menunjuk mesin capit boneka.
“Hah? Aku gak jago,” jawab Elara.
“Coba aja.”
Elara menurut. Ia memasukkan koin, fokus menatap boneka kecil berwarna cokelat di dalam mesin. Capit itu turun… meleset.
“Elah,” gumam Elara kesal.
Arsen tertawa kecil. “Ulang.”
Kali kedua, masih gagal. Kali ketiga, boneka itu akhirnya terangkat dan jatuh ke lubang pengambilan.
Elara membelalak. “Eh?! Dapet?!”
Arsen mengambil boneka itu dan menyerahkannya. “Nih.”
“Makasih,” ucap Elara, kali ini senyumnya benar-benar tulus.
Mereka lalu berpindah ke mesin dance. Elara tertawa saat Arsen salah langkah, sementara Arsen sengaja mengacak-acak gerakan Elara hingga mereka sama-sama kalah.
Tanpa sadar, waktu berjalan cepat. Elara merasa dadanya jauh lebih ringan. Beban yang sejak tadi menekan perasaannya perlahan mengendur.
“kamu keliatan lebih mending sekarang," ucap Arsen tiba-tiba saat mereka duduk di bangku istirahat.
Elara terdiam sebentar. “Iya… makasih ya.”
Arsen tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya mengangguk, seolah paham bahwa terkadang, yang dibutuhkan bukan pertanyaan—tapi kehadiran.
Dari kejauhan, Nayomi melambai sambil tertawa karena Kaizen kalah telak di mesin basket. Ezra dan Leo ribut soal skor balapan. Semuanya terlihat… normal.
Namun, saat Elara menggenggam boneka kecil di tangannya, firasat itu kembali menyentil. Halus, tapi nyata. Seolah semua ini adalah ketenangan sebelum sesuatu berubah.
Elara menatap lampu-lampu Timezone yang berkilauan. Di balik tawa dan permainan, hatinya berbisik pelan—
besok, segalanya tidak akan sesederhana hari ini.
Dan entah kenapa, ia merasa… murid baru itu akan mengubah banyak hal.
★★★
Di kamarnya, Elara segera berganti pakaian dan mandi. Air hangat mengalir di tubuhnya, seolah meluruhkan sisa kelelahan dan tawa yang tadi mengisi sore mereka di Timezone. Setelah selesai, ia mengenakan piyama tipis dan mengeringkan rambutnya asal-asalan.
Elara melangkah ke balkon kamar dan mendorong pintu kacanya perlahan. Angin malam menyapa wajahnya, membawa aroma tanah dan suara jangkrik yang samar. Lampu-lampu rumah tetangga tampak berkelip dari kejauhan.
Ia bersandar di pagar balkon, menatap langit gelap tanpa bintang.
“Mungkin iya… itu cuma perasaan aneh aja,” gumam Elara pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Namun bayangan rumor murid baru itu kembali muncul di kepalanya. Entah kenapa, dadanya terasa tidak nyaman.
“Tapi kalo murid baru itu macem-macem sama sahabat gue,” ucapnya tegas, sorot matanya mengeras, “gue gak bakal diem aja.”
Angin berhembus lebih kencang, seolah mengamini tekadnya. Elara memejamkan mata sejenak, tak tahu bahwa firasatnya malam ini bukan sekadar perasaan kosong—melainkan awal dari sesuatu yang akan benar-benar menguji persahabatan mereka.