“Setiap mata menyimpan kisah…
tapi matanya menyimpan jeritan yang tak pernah terdengar.”
Yang Xia memiliki anugerah sekaligus kutukan, ia bisa melihat masa lalu seseorang hanya dengan menatap mata mereka.
Namun kemampuan itu tak pernah memberinya kebahagiaan, hanya luka, ketakutan, dan rahasia yang tak bisa ia bagi pada siapa pun.
Hingga suatu hari, ia bertemu Yu Liang, aktor terkenal yang dicintai jutaan penggemar.
Namun di balik senyum hangat dan sorot matanya yang menenangkan, Yang Xia melihat dunia kelam yang berdarah. Dunia penuh pengkhianatan, pelecehan, dan permainan kotor yang dijaga ketat oleh para elite.
Tapi semakin ia mencoba menyembuhkan masa lalu Yu Liang, semakin banyak rahasia gelap yang bangkit dan mengancam mereka berdua.
Karena ada hal-hal yang seharusnya tidak pernah terlihat, dan Yang Xia baru menyadari, mata bisa menyelamatkan, tapi juga membunuh.
Karena terkadang mata bukan hanya jendela jiwa... tapi penjara dari rahasia yang tak boleh diketahui siapapun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilla_Matcha23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 - KENAPA AKU MELAKUKAN INI
Pintu apartemen tertutup perlahan.
Suara langkah kaki teman-temannya memudar di koridor, meninggalkan keheningan yang kembali merayap masuk ke dalam ruangan.
Yu Liang berdiri diam beberapa saat, menatap pintu itu tanpa ekspresi. Lalu, perlahan, ia menghela napas panjang dan kembali ke meja. Teh di cangkirnya telah dingin, permukaannya memantulkan wajahnya sendiri lelah, pucat, dan asing.
Ia duduk.
Tangannya terulur, menarik salah satu kardus di bawah meja. Di dalamnya, ada beberapa tumpukan foto, tiket konser, dan segenggam kenangan yang sudah mulai menguning di tepiannya.
Satu per satu ia lihat, wajahnya tersenyum di atas panggung, lampu sorot menyinari matanya yang dulu penuh kehidupan.
Ia tertawa kecil, samar, nyaris tanpa suara.
“Lucu ya…” gumamnya, “orang-orang mengira aku bahagia waktu itu.”
Jarinya berhenti di salah satu foto lama, ia dan teman-temannya yang tadi berkunjung tersenyum di belakang panggung. Semua terlihat muda, bersemangat, seolah dunia benar-benar milik mereka.
Kini, hanya kenangan yang tersisa.
Ia meletakkan foto itu, lalu mengambil ponselnya.
Layar menyala, memperlihatkan deretan pesan kerja yang belum dibuka. Jadwal wawancara, tawaran iklan, dan permintaan manajemen yang terus menuntut.
Semua terasa hampa.
Dengan gerakan pelan, ia mematikan layar, lalu bersandar di kursinya.
Cahaya sore menembus jendela, menyentuh wajahnya yang tenang tapi sepi.
“Kadang,” bisiknya nyaris tak terdengar, “aku hanya ingin hidup tanpa harus dilihat.”
Di luar, suara kendaraan lewat di jalan besar.
Di dalam, hanya suara detak jam yang kembali terdengar, berdetak pelan, mengiringi seorang lelaki yang pernah bersinar, kini berjuang untuk sekadar merasa hidup.
Xia terbangun dengan napas tersengal.
Keringat dingin membasahi pelipisnya, meski udara kamar pagi itu masih dingin. Ia menatap langit-langit, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Bayangan wajah itu… Yu Liang.
Dia melihatnya lagi. Bukan di layar, bukan di ingatan, tapi di dalam mimpi yang terasa terlalu nyata untuk sekadar bunga tidur.
Dalam mimpinya, ia melihat apartemen sederhana, tumpukan kardus, dan senyum lelah yang tetap hangat.
Senyum yang anehnya, membuat dadanya terasa sesak. Xia bangkit dari ranjang, duduk sejenak sambil memegangi kepala.
“Kenapa aku bisa melihat semua itu…” gumamnya pelan, nyaris seperti bicara pada diri sendiri.
Ia tidak tahu apakah itu masa lalu, masa depan, atau sesuatu yang seharusnya tidak pernah ia lihat.
Tangannya gemetar saat mengambil ponsel di meja samping.
Beberapa detik kemudian, ia menekan nomor yang sudah dihafalnya di luar kepala. Suara di ujung sana menjawab cepat.
“Nona Xia?”
“Feng Xuan,” ucapnya cepat, nada suaranya tegas tapi terdengar cemas. “Bagaimana? Kau sudah tahu di mana keberadaannya?”
Ada jeda sesaat di seberang.
“Ya. Kami baru mendapat kabar pagi ini. Dia… saat ini berada di rumah sakit.” Xia terdiam.
Matanya menatap kosong ke arah jendela yang tertutup tirai.
Rumah sakit.
Suara jantungnya berdetak lebih cepat.
“Rumah sakit mana?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik.
“Hanazawa Medical Center. Unit perawatan umum. Tapi kami belum tahu alasan pastinya dia dirawat.”
Xia menggenggam ponselnya erat.
Untuk alasan yang bahkan tidak ia mengerti, dadanya terasa hangat dan nyeri bersamaan.
“Siapkan mobil,” katanya akhirnya. “Kita berangkat sekarang.”
Tanpa sadar, kilasan terakhir dari mimpinya kembali muncul, senyum lelah Yu Liang, dan kalimat samar yang terucap di dalam mimpi itu.
“Kadang… aku hanya ingin hidup tanpa harus dilihat.”
Kata-kata itu menggema di pikirannya, tak mau pergi.
..
Langit di luar sudah mulai berwarna kelabu ketika mobil berhenti di depan Hanazawa Medical Center.
Xia turun perlahan, langkahnya mantap, meski jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Angin sore membawa aroma antiseptik samar dari arah pintu masuk.
Feng Xuan berjalan di belakangnya, membawa berkas kecil di tangannya.
“Dia ada di lantai tiga, ruang perawatan umum, nomor 307,” katanya pelan.
Xia hanya mengangguk, tanpa berkata apa-apa.
Setiap langkahnya terasa berat, seolah lantai koridor rumah sakit itu menahan waktu agar tidak bergerak terlalu cepat.
Lampu-lampu putih di langit-langit menyinari wajahnya yang dingin namun tegang. Hari itu, ia tidak datang sebagai siapa-siapa. Hanya sebagai seseorang yang… ingin memastikan bahwa sosok yang muncul dalam mimpinya benar-benar ada.
Langkahnya berhenti di depan pintu bertanda 307.
Dari balik kaca buram, ia melihat siluet tubuh seorang pria yang tengah berbaring.
Sunyi.
Hanya terdengar suara mesin monitor yang berdetak lembut.
Feng Xuan berdiri di belakangnya, menatap dengan ragu.
“Apakah Anda ingin saya—”
“Tidak perlu,” potong Xia cepat.
Ia menatap lama ke arah kaca itu, matanya perlahan melembut. Rambut hitam berantakan, kulit pucat, wajah yang tirus tapi tenang… meski tak sepenuhnya terlihat jelas, ia tahu itu dia.
Yu Liang.
Sosok yang semalam muncul di dalam mimpinya, kini benar-benar ada di hadapannya.
Xia menahan napas.
Ada sesuatu yang aneh mengalir di dadanya, seperti rasa kehilangan yang baru saja diingat kembali.
Ia tidak masuk. Hanya berdiri di sana, diam, menatap dari balik kaca.
Di dalam ruangan, Yu Liang tampak terlelap.
Tangan kirinya diinfus.
..
Feng Xuan menatap layar yang berisi data rumah sakit itu dengan ekspresi bingung. “Nona Xia... Anda benar ingin nekerja disini? Dan anda ingin saya mengurus izin kerja atas nama lain?”
Xia menatapnya tajam, namun nada suaranya tetap tenang. “Ya. Gunakan identitas ‘Dokter Yang’. Jangan sampai siapa pun tahu. Termasuk direktur rumah sakit itu.”
“Dan Anda sendiri yang akan menjadi penanggung jawab pasien itu? Yu Liang?”
“Benar.” Xia menghela napas pelan, menatap jendela yang diterpa sinar pagi.
“Pastikan semua administrasinya bersih. Tidak ada yang bisa menelusuri kalau aku yang melakukannya.”
Feng Xuan menunduk, berusaha menutupi keraguannya. “Boleh saya bertanya dengan jujur, Nona?”
Xia menatapnya datar. “Katakan.”
“Kenapa... Anda sampai sejauh ini? Hanazawa Medical Center bukan rumah sakit kecil. Anda bisa saja mengirim dokter terbaik dari tim kita. Tapi Anda memilih turun tangan sendiri. Padahal, hubungan Anda dengan Yu Liang—”
“Tidak ada hubungan apa-apa,” potong Xia cepat, meski nada suaranya terdengar seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
“Aku hanya... ingin memastikan sesuatu.”
“Memastikan sesuatu?”
“Dia pernah... menjadi pasienku di Tiansheng,” ujarnya pelan. “Dan entah kenapa, kali ini aku tidak bisa diam.”
Feng Xuan menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk. “Baik, Nona. Saya akan urus semuanya.”
Setelah pintu menutup, Xia bersandar di kursinya. Ia menatap langit-langit, merasa jantungnya berdegup tak beraturan.
“Kenapa aku melakukan ini...?” bisiknya nyaris tak terdengar.
Ia sendiri tidak tahu.
Apakah karena rasa iba?
Dia memerintahkan Feng Xuan untuk mengurus segalanya. Mendaftarkan dirinya sebagai salah satu dokter di rumah sakit itu, namun dengan identitas lain.
Bukan sebagai dokter Xia, melainkan sebagai dokter Yang. Dialah yang akan merawat Yu Liang secara langsung.
Meski dalam hatinya sendiri, dia tak mengerti alasan di balik keputusan itu. Mereka jarang berbicara, bahkan ketika dulu Xia menjadi dokter penanggung jawab Yu Liang di Tiansheng Hospitals.
Namun kini, tanpa ragu sedikit pun, dia rela bekerja di Hanazawa Medical Center, semata-mata karena pria itu.
Apa mereka benar-benar sedekat itu?
Atau justru ada sesuatu yang tak dia sadari… sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kedekatan?