“Jangan sok suci, Kayuna! Kalau bukan aku yang menikahimu, kau hanya akan menjadi gadis murahan yang berkeliling menjual diri!”
Demi melunasi hutang ayahnya, Kayuna terpaksa menikah dengan Niko — CEO kejam nan tempramental. Ia kerap menerima hinaan dan siksaan fisik dari suaminya.
Setelah kehilangan bayinya dan mengetahui Niko bermain belakang dengan wanita lain. Tak hanya depresi, hidup Kayuna pun hancur sepenuhnya.
Namun, di titik terendahnya, muncul Shadow Cure — geng misterius yang membantunya bangkit. Dari gadis lemah, Kayuna berubah menjadi sosok yang siap membalas dendam terhadap orang-orang yang menghancurkannya.
Akankah Kayuna mampu menuntaskan dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SooYuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3
“Aku sudah siapkan ruangan praktikmu,” ujar Alif. “Ayo, aku antar ke ruanganmu,” sambungnya, sambil meraih gagang pintu, lalu keluar disusul oleh Adrian.
Kedua dokter muda itu melangkah berdampingan menyusuri koridor rumah sakit. Langkahnya mantap, hingga akhirnya mereka tiba di Unit Rehabilitasi Psikiatri.
“Tempat ini baru direnovasi dua bulan lalu. Dibuat khusus untuk pasien dengan gangguan psikis berat dan fase rehabilitasi jangka panjang, sesuai permintaanmu,” jelas Alif sambil menoleh.
Adrian mengangguk, matanya menelusuri setiap sudut ruangan yang sengaja didesain khusus. Tidak ada aroma obat kuat, semua disiapkan dengan nuansa hangat agar pasien tetap merasa nyaman.
“Kau merubah banyak hal, semuanya … aku suka,” ucap Adrian sambil tersenyum puas.
Alif mendadak berhenti, ia menatap Adrian sebentar, lalu menghela napas panjang. “Ide gilamu ini, hampir memecah belah seisi rumah sakit, banyak petinggi rumah sakit—direktur dan jajarannya, tidak menyetujui dengan adanya ruang rehabilitasi di sini. Mereka bilang, orang gila, kirim saja ke rumah sakit jiwa.”
Adrian menyeringai tipis. “Lalu … kenapa mereka masih di sini? Seharusnya, para petinggi itu sudah lebih dulu dikirim ke rumah sakit jiwa. Mereka jauh lebih gila dari orang-orang yang ada di bangsal ini,” jawabnya sambil mengamati satu pasien yang tengah merenung di atas bangsal. “Lihat … mereka tidak gila. Mereka hanya butuh pendampingan, ruang aman dan pengobatan.”
Alif ikut menatap pasien itu. “Aku setuju denganmu,” sahutnya.
Adrian kemudian melanjutkan langkah, menuju ke ruangan yang telah disiapkan untuk tempatnya bekerja.
***
Sementara itu. Kayuna masih berada di kafe milik kakaknya, ia duduk termenung, menatap kosong ke arah jendela kaca. ‘Aku benar-benar mengenal aroma parfume itu, tapi mustahil juga kalau pria itu Adrian. Tapi suaranya … persis suara Adrian,’ batinnya masih seputar pria misterius yang ia temui tadi.
Tring!
“Astaga!” Kayuna terkejut mendengar dering ponselnya sendiri.
Ia segera merogoh tas kecilnya dan mengeluarkan ponselnya, nama Niko terpampang jelas di layar. Kayuna menghela napas, enggan menjawab. Tetapi juga tak berani untuk menolak. Akhirnya ia menekan tombol dan mengangkat telepon dari suaminya.
“Kamu dari kantor?” tanya Niko dari seberang. Tanpa salam, tanpa basa-basi, pria arogan itu langsung melontarkan pertanyaan dengan suara beratnya.
“Iya, Mas.” Kayuna menjawab singkat.
“Kenapa tidak menelepon?”
“Staf bilang, kamu lagi ada rapat di luar kantor, jadi aku titipkan di lobi dan langsung pergi.”
“Lain kali, telepon dulu kalau mau ke kantor,” titah Niko.
“Kenapa?” sahut Kayuna, alisnya terangkat heran.
“Nggak usah banyak tanya. Turuti saja perintahku,” balas Niko, suaranya terdengar meninggi. “Aku lagi ada kerjaan, udah dulu,” sambungnya, langsung menutup panggilan.
Kayuna mengernyit. “Biasanya juga langsung dateng aja, nggak pake nelpon-nelpon. Kenapa tiba-tiba jadi—”
Kayuna mendadak diam, pikirannya mulai berspekulasi liar.
‘Apa yang dia lakukan akhir-akhir ini? dia … lebih sering mabuk dan bertingkah tak biasa, ada apa?’ batinnya terus menerka.
“Apa jangan-jangan dia—”
“Yuna!” seru Airin, sahabat Kayuna sejak masa SMA. Gadis itu tak sengaja melihat Kayuna saat tengah memesan kopi di kafe. Dengan senyum manisnya, Airin berlari kecil menghampiri sahabatnya.
“Airin?” Kayuna sedikit kaget melihat sahabatnya yang muncul tiba-tiba.
Airin tersenyum tipis, ia segera duduk di samping Kayuna. “Aku kangen sama kamu, tau?!” ucapnya sambil memeluk erat sahabatnya.
“Iyakah? Aku juga kangen,” balas Kayuna, matanya berbinar saat berbicara dengan Airin.
“Kenapa susah banget sih, mau ketemu kamu?” gerutu Airin, bibirnya cemberut saat melanjutkan protesnya. “Ini aja kebetulan banget, nggak sengaja lihat kamu di cafe ini.”
“Kamu lagi ada tugas di luar kantor?” tanya Kayuna.
Airin mengangguk pelan. “Iya, bosku ada rapat. Lalu aku diminta beli kopi,” jelasnya.
Kayuna hanya manggut-manggut, mendadak kehabisan kata saat bicara dengan sahabatnya.
“Reuni kemarin, kenapa kamu nggak dateng? Padahal seru, ketemu teman lama yang lagi pada merantau di kota,” ujar Airin, menuntut kejelasan atas ketidakhadiran Kayuna.
“Maaf, aku sibuk ngurus suami. Ya maklumlah aku udah nggak sendiri lagi,” sanggah Kayuna, berusaha menjelaskan situasi. Namun, sebenarnya itu hanyalah sebuah alibi.
Faktanya, Niko lah yang membatasi—tak mengizinkan Kayuna bertemu dengan sembarang orang, ataupun bergaul dengan teman-temannya.
Airin masih mengerucutkan bibirnya, namun netranya kini menatap lekat Kayuna. “Pak Niko yang ngelarang ya? Dia nggak ngijinin kamu ketemu sama teman-temanmu?” tanyanya.
Kayuna reflek mengangkat alisnya. “Hah?!” celetuknya, sedikit terkejut mendengar pertanyaan Airin yang menohok. “Bukan, suamiku … nggak mungkin ngelarang—”
“Tuh kan,” potong Airin dengan cepat. “Pasti Pak Niko yang melarang, memang ya, bosku itu terkadang nyebelin,” cibirnya, mengatai atasannya sendiri. Padahal, bosnya itu adalah suami Kayuna.
Kayuna terkekeh, lalu membalas dengan suara lembutnya. “Bukan, Airin. Mas Niko nggak kayak gitu,” ujarnya berusaha menyembunyikan sisi buruk suaminya.
“Yang bener?” sahut Airin dengan nada tak yakin.
Kayuna tertegun sebentar. Lalu mendadak menajamkan tatapannya ke Airin. “Rin, apa terjadi sesuatu di kantor akhir-akhir ini?”
Airin mengangkat wajahnya, ia menyipitkan matanya—berusaha mengingat peristiwa di kantornya belakangan ini. “Nggak ada sesuatu yang aneh, cuma ada sedikit kendala internal. Itupun sudah diurus, sekarang aman.”
“Oh …,” gumam Kayuna, wajahnya masih tampak ragu, menerka-nerka tentang suaminya.
“Kenapa?” tanya Airin penasaran.
“Itu … aku ngerasa Mas Niko sedikit aneh belakangan ini. Ada apa dengannya, ya?” jawab Kayuna, sesuatu yang janggal di hatinya membuatnya terus bertanya-tanya.
Airin menelan ludah, matanya mendadak terus mengerjap. “Oh, itu … aku juga kurang tau sih, Yun,” jawabnya lirih, jari-jarinya mengetuk meja tanpa irama, ia tampak gelisah.
“Aku pikir kamu tau sesuatu, kasih tau aku, ya. Kalau menemukan hal yang aneh tentang suamiku. Kamu tau kan maksudku?” pinta Kayuna, memohon pada sahabatnya untuk memata-matai Niko.
Airin tiba-tiba tersedak minumannya. “Apa?! Yuna, kamu ini … jangan bikin aku terhimpit di tengah-tengah, antara bosku dan sahabatku. Aku nggak mau ikut-ikutan.”
“Rin ….” Kayuna terus merayu Airin. “Tolonglah ….”
“Pesanan atas nama Airin!” seru salah satu seorang staf kafe.
“Maaf, Yuna. Pesananku sudah siap,” ujar Airin. “Kita ngobrol lagi lain kali, ya.” Lalu dia pamit dengan tergesa.
“Cepet amat,” gumam Kayuna sedikit kecewa.
Airin tak merespon, ia buru-buru meraih tasnya dan melangkah keluar. “Bye, see you.”
Kayuna menyilangkan tangan di dada, matanya menyipit menatap curiga sahabatnya. “Aku yakin, Airin … tahu sesuatu.”
Hari itu, benak Kayuna dipenuhi oleh kecurigaan tak menentu. Dalam perjalan pulang, ia terus berpikir keras berusaha menebak segala kemungkinan yang membuatnya khawatir.
Tapi, sisi positifnya kembali mendorongnya untuk tetap berpikir logis. Meskipun kasar, Niko tidak mungkin melakukan hal yang akan merugikan dirinya sendiri.
***
Malam itu, langit gelap menggantung di udara. Semilir angin menusuk hening, Kayuna duduk di tepi jendela. Netranya menatap lekat cahaya samar rembulan yang kian tertutup awan gelap.
Pintu kamar terbuka keras. Suara langkah sepatu Niko terdengar berat, tergesa, dan penuh tekanan. Jasnya masih melekat di tubuh, sementara dasinya sudah longgar.
Kayuna yang sedang merenung sontak beranjak dari duduknya.
“Mas, kamu sudah—”
“Dari mana kamu seharian?” potong Niko, wajahnya tampak menegang, tangan kanannya meremas sebuah map coklat.
“A-aku … siang tadi mampir ke kafe Kak Nita,” jawab Kayuna.
Niko menyeringai. “Dengan wajah lebam, kau mendatangi kakakmu? Kau ingin mengadu?”
Kayuna menelan ludah, jemarinya menggenggam erat ujung bajunya. “Mas, bukan seperti itu,” lirihnya.
Niko maju selangkah, rahangnya mengeras, tatapannya menusuk pada istrinya. Ia membuka map coklat tersebut, lalu melemparnya ke arah Kayuna.
Kayuna mengerjap, saat lembaran kertas dari map itu jatuh berhamburan. “Ini …,” gumamnya seolah tak percaya.
“Semua ini milikmu, kan?” desis Niko seraya menajamkan tatapannya. “Kau … ingin bercerai?!”
Kayuna tertegun. Tubuhnya gemetar, jantungnya berdetak tak beraturan.
Manakala Niko mengetahui isi map yang dibawanya, dunia seolah berhenti. Ia segera berjongkok, memungut lembaran surat gugatan perceraian.
“Darimana kamu tahu soal surat ini, Mas?” lirih Kayuna, ia tertunduk tak berani menatap Niko. Rahasia yang selama ini ia sembunyikan, kini terbongkar di depan mata suaminya.
“Tidak penting aku tahu darimana, Kayuna,” desis Niko. “Kau sudah mulai berani? Atas dasar apa kau ingin menggugat, kau sama sekali tak punya hak untuk menceraikanku. Aku tidak akan tinggal diam!”
“Mas!” Suara Kayuna meninggi, ia mengangkat wajahnya perlahan, memberanikan diri—berdiri menatap Niko. “Aku rasa rumah tangga kita sudah tidak bisa dilanjutkan.”
Niko semakin geram, matanya sudah menyala dipenuhi amarah. “Kau siapa berani memutuskan? Diakhiri atau dilanjutkan, hanya aku yang boleh menentukan!”
Kayuna tersentak, suara Niko yang lantang membuatnya semakin terhimpit dalam kecemasan yang belakangan terus menyerangnya.
“M-mas.” Kayuna terbata, gugup serta ketakutan beradu di dadanya.
Niko menghela napas berat. “Kau, harus diberi pelajaran—”
*
*
Bersambung ….