Sepuluh tahun lalu, Sekar kenanga atmaja dan Alex Mahendra prakasa terlibat dalam sebuah perjodohan dingin tanpa cinta. Di usianya yang masih belia, Sekar hanya memusatkan pikirannya pada impian yang ingi diraihnya. Dengan segala cara dia ingin membatalkan perjodohan itu. Namun sebuah tradisi dalam keluarganya sulit sekali untuk dilanggar. Pendapatnya sama sekali tidak di dengar oleh keluarganya. Sampai pada hari pertunangannya dengan Alex tiba. Sekar dengan berani menolak putra dari keluarga Prakasa tersebut. Gadis 18 tahun itu pergi meninggalkan acara dan Alex dengan luka samar, karena ditolak dengan kasar di hadapan banyak orang.
Kini takdir kembali mempertemukan mereka dalam ikatan bisnis. Sekar yang kini menjadi model terkenal dan di kenal dengan nama 'Skye' akan menjadi wajah utama untuk ATEEA group. Sebuah perusahaan fashion ternama yang ternyata dipimpin oleh Alex Mahendra prakasa, sang mantan calon suaminya.
Akankah bisnis ini batal seperti perjodohan mereka? simak disini ..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 09 #BENSIN HABIS EGO TERSISA
Pinggiran Jakarta, Larut Malam
Sekar memacu SUV mewahnya di jalanan yang basah, meninggalkan kompleks pemakaman dengan kecepatan yang hampir sembrono. Air hujan masih menderu, tetapi kini bercampur dengan kemarahan yang membuncah di dadanya.
"Dasar Alex Mahendra sombong! Pria angkuh yang tidak tahu berterima kasih!" gerutu Sekar keras-keras, memukul setir mobilnya.
Ia sudah berniat baik. Ia sudah cukup merendahkan diri, meninggalkan kemewahan, dan menembus hujan di tengah malam hanya untuk sedikit menebus kesalahannya di masa lalu. Tapi apa balasannya? Dia dimaki-maki, diusir dengan kejam, dan upayanya yang tulus. Payung kecil itu, dibuang begitu saja ke tanah.
Rasa frustrasi itu terasa membakar. Alex telah berhasil membuatnya kembali menjadi Sekar yang emosional dan reaktif.
Kau pikir kau bisa menghancurkanku lagi, Alex? Kau pikir aku akan lari seperti sepuluh tahun lalu?
Ia bertekad. Dendam Alex adalah motivasi barunya. Ia akan bekerja dengan sangat sempurna, memenuhi kontraknya tanpa cacat, dan setelah itu, ia akan memastikan Alex menyesal. Dia akan membuat Alex takluk padanya suatu hari nanti, entah sebagai musuh yang mengakui kehebatannya, atau sebagai pria yang mengakui perasaannya.
Sekar berusaha mengendalikan mood-nya, menarik napas dalam-dalam. "Aku adalah Skye. Aku tidak akan membiarkan emosi menghancurkanku," ia menyemangati diri sendiri. "Fokus pada goal. Sempurna."
Tepat saat ia mulai merasa tenang, lampu indikator di dasbor menyala oranye, lalu berkedip merah.
Tiba-tiba, mesin mobilnya tersentak dan kemudian mati total. Keheningan yang memekakkan telinga segera mengambil alih kabin.
Sekar mencoba menyalakan mesin lagi, tetapi hanya terdengar bunyi ngiiiing yang menyedihkan. Ia menatap panel bensin. Jarumnya menunjuk ke posisi paling bawah.
"Ah, sial! Aku lupa mengisi bensin!" Sekar meratap, rasa frustrasi kembali melonjak.
Ia berada di jalanan pinggiran yang lumayan sepi, gelap, dan ia sama sekali tidak familiar dengan daerah itu. Tidak ada tanda-tanda pom bensin yang dekat, hanya deretan pepohonan dan pagar tinggi di sisi jalan.
Lebih sial lagi, ia merogoh tasnya dan menemukan ponselnya mati. Baterai ponselnya habis karena ia lupa mengisi daya sejak sibuk di studio. Dia tidak bisa meminta bantuan siapapun.
Di luar sangat gelap. Sekar tidak berani untuk keluar mobil. Rasa paranoid sebagai wanita lajang yang terdampar di tengah malam menyerangnya. Ia mengunci pintu mobil dan mengaktifkan semua alarm.
Setelah beberapa waktu menunggu dalam kegelapan dan kebasahan akibat rembesan air hujan, Sekar menyerah pada keputusasaan dan kelelahan. Kepalanya bersandar pada sandaran kursi, dan tak lama kemudian, ia tertidur pulas.
✨✨
Satu jam kemudian.
Alex Mahendra, yang akhirnya memutuskan untuk pergi dari kompleks pemakaman setelah hujan mereda, melewati jalanan yang sama. Jendela mobilnya terbuka sedikit, membiarkan udara dingin masuk. Pikirannya masih kacau, terganggu oleh Sekar dan percakapan dingin mereka.
Saat mobilnya melaju perlahan, lampu sorotnya menyoroti sebuah SUV mewah hitam yang berhenti di bahu jalan. Sekilas, bentuk mobil itu terasa familiar. Mobil baru yang baru saja dibeli Sekar.
Meskipun baru saja marah besar padanya, dan meskipun ia bertekad untuk membenci wanita itu, Alex Mahendra masih memiliki hati nurani, atau mungkin... masih memiliki sisa-sisa kepedulian.
Alex menarik mobilnya, sebuah sedan premium berwarna gelap, tepat di depan SUV Sekar dan menyalakan lampu hazard. Ia turun dari mobil, mantelnya tersampir di bahu.
Ia berjalan ke arah SUV hitam itu dan mengetuk kaca jendela samping pengemudi.
Tok. Tok.
Sekar tersentak kaget dari tidurnya. Jantungnya berdebar kencang karena terkejut. Ia melihat siluet tinggi berdiri di samping mobilnya, memegang handphone yang menyala.
Dengan ragu, ia menunduk untuk melihat siapa itu. Sekar langsung mengenali jas mahal dan siluet tegas itu. Alex.
Ia menurunkan kaca mobilnya sedikit, wajahnya menampilkan ekspresi waspada.
"Alex? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Sekar, nadanya masih mengandung sisa-sisa kejengkelan.
Alex menyilangkan tangannya, wajahnya tenang, tetapi ada nada lelah dalam suaranya. "Seharusnya aku yang bertanya, Skye. Apa yang dilakukan top model internasional, yang seharusnya beristirahat demi menjaga wajahnya, terdampar di jalanan sepi seperti ini?"
"Itu bukan urusanmu. Aku sedang menikmati kebebasan dan angin malam," balas Sekar, mencoba jual mahal, mengabaikan fakta bahwa ia tadi menangis frustrasi dan tidur karena kelelahan.
Alex mengangkat alisnya. "Angin malam? Mobilmu mogok, kan? Aku melihat lampu hazard-mu."
"Tidak mogok. Aku... sedang istirahat. Aku ingin merasakan sensasi menjadi 'rakyat biasa' yang terdampar, untuk mendapatkan inspirasi artistik," Sekar mengarang alasan yang terdengar bodoh bahkan di telinganya sendiri.
Alex tersenyum sinis, senyum yang tidak sampai ke matanya. "Tentu saja. Dan ponselmu mati. Kau tidak punya bensin, kan?"
Sekar diam. Ia tahu tidak ada gunanya berbohong lagi. Ia menghela napas. "Ya. Bensinnya habis."
Keheningan melingkupi mereka sejenak. Mereka berdua sama-sama basah kuyup, sama-sama kesal satu sama lain, tetapi ada urgensi yang tak terucapkan di antara mereka. Mereka sejenak melupakan pertengkaran sengit beberapa jam lalu.
"Kau tidak bisa tidur di sini. Ini berbahaya," ujar Alex, nadanya kini lebih lembut, terdengar seperti sebuah fakta, bukan kritikan.
"Lalu aku harus bagaimana? Aku tidak punya bensin, Tuan Alex. Aku tidak bisa naik taksi di sini," Sekar menyerah, nada frustrasinya kembali.
Alex bersandar sedikit di mobilnya. "Tunggulah di mobilmu. Aku akan menelepon timku untuk membawakan bensin dan menjemput mobil ini. Kau harus ikut denganku."
Sekar menatapnya, curiga. "Ikut denganmu? Ke mana?"
"Ke mana pun yang bukan di sini," balas Alex. "Kau akan mengganggu istirahat malamku jika terjadi sesuatu padamu di tengah jalan. Aku tidak ingin ada drama yang merusak reputasi ATEEA. Anggap ini sebagai logistik perusahaan."
Alex kembali menyamarkan perhatiannya dengan alasan profesionalisme, dan Sekar mengerti permainan itu. Itu adalah cara Alex menunjukkan kepedulian tanpa harus mengakui perasaannya.
"Baiklah. Demi reputasi ATEEA," kata Sekar, mengambil tas kecilnya dan ponselnya lalu keluar dari mobilnya. "Saya akan ikut dengan mobil Anda. Jangan harap saya akan bercerita tentang 'inspirasi artistik' saya malam ini."
Sekar keluar dari mobilnya, tubuhnya menggigil karena dingin. Alex membuka pintu mobilnya, sebuah isyarat yang tetap ia lakukan meski penuh keengganan. Sekar segera masuk, menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit yang hangat, mencuri pandang ke Alex yang masih di luar, menelepon timnya dengan suara rendah.
Saat Alex masuk ke mobilnya, suasana di antara mereka terasa tebal, dipenuhi sisa-sisa amarah dan rasa bersalah, namun diselubungi oleh sentuhan perhatian yang tak terduga. Mereka sekali lagi, berhadapan langsung.