Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepanjang perjalanan menuju Bandung
Sepanjang perjalanan menuju Kota Kembang, Bandung, Eri begitu menikmati perjalanannya. Sambil melihat ke jendela, Eri berkata pada Pak Dahlan,
"Pak Dahlan, beneran deh, beda banget ya pemandangan di sini sama Jakarta. Lebih hijau, lebih tenang!"
"Iya, Mas. Bandung memang beda sama Jakarta yang sudah penuh gedung," jawab Pak Dahlan.
"Makanya, Pak, aku tuh kadang bosan banget di Jakarta. Pengennya pergi ke tempat yang sejuk kayak gini," keluh Eri.
"Ya, bagus dong, Mas. Sekali-sekali refreshing biar pikiran nggak tegang," sahut Pak Dahlan.
"Iya, Pak. Oh iya, Pak, ini kita masih lama ya sampai Bandung?" tanya Eri.
"Lumayan, Mas. Sekitar tiga jam lagi lah. Kalau Mas Eri mau tidur dulu, nggak apa-apa," tawar Pak Dahlan.
"Nggak ah, Pak. Eri lagi pengen ngobrol aja. Bapak nggak bosan kan dengerin aku ngoceh?"
Pak Dahlan tertawa kecil. "Nggak kok, Mas. Bapak malah seneng ada temen ngobrol. Biasanya kan Bapak cuma diem aja di mobil kalau sama Bu Henny."
"Nah, makanya. Aku juga nggak enak kalau Bapak diem aja. Oh iya, Pak, aku mau nanya kalau boleh," kata Eri.
"Silakan, Mas Eri. Mau nanya apa?"
"Bapak udah lama ya jadi supir keluarga kita?"
"Lumayan, Mas. Bapak mulai jadi sopir Mama itu pas Mas Eri masih kecil. Mungkin sekitar umur lima tahunan lah," jawab Pak Dahlan.
"Wah, udah lama banget ya berarti!" seru Eri.
"Ya, bisa dibilang gitu, Mas. Bapak udah ngerasa nyaman banget kerja sama keluarga Mas Eri," kata Pak Dahlan.
"Eri juga seneng banget punya supir kayak Bapak. Bapak tuh selalu sabar, nggak pernah marah-marah, terus selalu nurutin kemauan aku dan Mama tanpa pernah membantah," puji Eri.
Pak Dahlan tertawa. "Ah, Mas Eri bisa aja. Kan emang udah tugasnya buat nurutin kemauan Mas Eri sama Mama," ujarnya.
"Tapi, Pak, aku tuh kadang ngerasa nggak enak sama Bapak. Soalnya aku sering nyuruh Bapak ini itu," ungkap Eri.
"Nggak apa-apa, Mas. Bapak nggak ngerasa direpotin kok. Bapak malah seneng bisa bantu Mas Eri," balas Pak Dahlan.
"Tapi, Pak..."
"Udah, Mas. Nggak usah dipikirin. Bapak udah biasa kok kayak gini. Lagian, Bapak juga seneng bisa nganterin Mas Eri ke Bandung sekalian jalan-jalan!"
"Beneran?" tanya Eri pada Pak Dahlan disertai tawa.
"Beneran, Mas. Udah, sekarang Mas Eri nikmatin aja perjalanannya. Jangan mikirin Bapak!"
Eri menghela napas panjang kemudian berkata, "Oke deh, Pak. Makasih ya, Pak Dahlan. Bapak memang yang terbaik!" kata Eri sambil mengacungkan jempolnya.
"Sama-sama, Mas!"
"Oh iya, Pak. Bapak sudah sarapan belum tadi?"
"Udah, Mas. Tadi, sebelum berangkat, Bapak sarapan nasi goreng," jawab Pak Dahlan.
"Wah, enak tuh. Aku jadi laper deh. Nanti kita cari makan siang di Bandung ya, Pak!" ajak Eri pada Pak Dahlan.
"Siap, Mas. Nanti kita cari tempat makan yang enak dan murah meriah. Mas Eri mau makan apa?"
"Hmm, aku pengen nyobain makanan khas Bandung deh, Pak. Bapak tahu nggak tempat makan yang enak?"
"Tahu, Mas. Nanti Bapak ajak ke tempat yang jual batagor sama siomay Bandung yang paling enak!"
"Wah, asik! Nggak sabar pengen cepet sampe Bandung!"
Pak Dahlan tertawa. "Sabar ya, Mas. Sebentar lagi juga sampai."
"Oleh-oleh untuk Bude sudah dari Mama udah masuk semua kan, Pak Dahlan?" tanya Eri lagi.
"Sudah siap, Mas. Semuanya sudah saya taruh di bagasi," jawab Pak Dahlan.
"Baguslah kalau begitu!"
Setelah beberapa saat, mereka memasuki jalan tol Cipularang. Pemandangan perbukitan dan lembah yang hijau menemani perjalanan mereka.
"Pemandangannya indah ya, Pak, kalau lewat sini," kata Eri sambil menikmati pemandangan di luar jendela.
"Betul, Mas Eri. Dulu waktu saya masih muda, sering lewat jalan ini ketika Bapak bekerja menjadi supir angkutan umum jurusan Jakarta-Bandung," kenang Pak Dahlan.
"Wah, sudah lama sekali ya, Pak?" tanya Eri.
"Iya, Mas Eri. Dulu jalan tol belum ada, jadi perjalanannya sangat melelahkan," jawab Pak Dahlan.
"Sekarang lebih enak ya, Pak, jalan udah bagus," kata Eri sambil tersenyum.
"Iya, Mas, nggak kayak dulu!" balas Pak Dahlan.
Mereka terus ngobrol sambil melanjutkan perjalanan. Saat capek, mereka berhenti di rest area untuk beristirahat sejenak, mengisi perut, atau sekadar membeli minuman. Eri juga menghubungi Bude Hera untuk mengabarkan bahwa mereka sudah dalam perjalanan.
"Bude sudah menyiapkan banyak makanan kesukaan kita, Pak Dahlan," kata Eri setelah menutup telepon.
"Wah, jadi tidak sabar ingin segera sampai, Mas," kata Pak Dahlan.
Setelah tiga jam perjalanan, mereka akhirnya memasuki Kota Bandung. Pak Dahlan mulai merasakan kepadatan lalu lintas. Ia mengandalkan aplikasi peta di ponselnya untuk mencari rute terbaik menuju rumah Bude Hera.
"Macet, Pak!" kata Eri saat melihat jalanan macet.
"Iya, Mas Eri. Sedikit macet ini," jawab Pak Dahlan berusaha menjalankan mobilnya lebih cepat sedikit.
"Santai saja, Pak Dahlan. Tidak usah terburu-buru," kata Eri.
Setelah beberapa saat berjuang dengan kemacetan, akhirnya mereka tiba di depan rumah Bude Hera. Pintu gerbang terbuka lebar, dan senyum hangat Bude Hera menyambut mereka dengan pelukan penuh kasih.
"Alhamdulillah, Eri, Pak Dahlan, akhirnya sampai juga! Mari masuk, sudah Bude siapkan semuanya," sapa Bude Hera dengan nada senang.
Eri dan Pak Dahlan turun dari mobil dan menyalami Bude Hera. Mereka merasa senang bisa bertemu kembali dengan keluarga tercinta. Perjalanan yang panjang dan melelahkan terasa hilang begitu saja. Bagi Eri, kehadiran Pak Dahlan bukan hanya sebagai sopir, melainkan sebagai bagian dari keluarga yang selalu memberikan dukungan dan kehangatan.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*