“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24 ~ Mengikuti kata hati
“Denis ingin main pasir, berenang di laut ya, Nak?” Yunus mencium pucuk kepala putranya Arinta.
Batita dalam gendongan Yunus mengangguk antusias. Dia hanya mengerti kata mau berarti mengangguk, begitupun sebaliknya – bila tidak mau, menggeleng.
“Bawa baju ganti Denis lebih dari dua stel, Rin. Siapa tahu dia ketagihan main air laut,” Ambu memperingati putrinya.
“Baik, Ambu.”
“Kau Yunus, jaga baik-baik putri dan cucuku! Pergi dalam keadaan senang, jangan sampai sewaktu mereka kembali kesini berurai air mata!” nadanya sedikit menekan, seolah dia tidak percaya pada pria yang setahun lebih ini sangat menjaga pandangan terhadap lawan jenis termasuk Arinta.
“Saya usahakan, Ambu!” dia enggan mengucap janji, tapi sebisa mungkin menjaga amanah ini.
Abah menghela napas panjang. Sebetulnya dia malu terhadap sikap istrinya – sering ketus, tapi kagum melihat pria yang begitu hebat mengola rasa, tak mudah tersulut emosi, dan sangat penyabar serta bijaksana.
Yunus juga sopan baik dalam tutur kata maupun sikap, tidak pernah kedapatan menggoda Arinta maupun wanita lain yang berpapasan dengannya.
Ayahnya Arinta tidak tahu saja kalau yang baru dia puji dalam hati adalah seorang dokter dan calon psikiater.
Arinta pun masuk ke dalam rumah mau menyiapkan pakaian serta perlengkapan liburan pertama baginya dan Denis hanya bertiga saja dengan Yunus.
.
.
Malam hari, sehabis shalat isya berjamaah di mushola resort. Para anak-anak langsung tertidur. Mereka kelelahan akibat mandi dipantai, berkejar-kejaran, berenang, menggali pasir, mencari Kelomang.
Zain, Kamal, Zeeshan – tidur di ranjang yang sama.
Sabiya pun terlelap bersama ketiga sahabatnya, sedangkan Intan tidur berdua bersama Siron.
Diluar kamar hotel tepatnya balkon yang menghadap laut lepas – Meutia duduk seorang diri sembari melihat gugusan bintang bertaburan dilangit malam. Ada kerinduan pada netranya. Ia memejamkan mata dan memeluk tubuhnya … hatinya berdesir, sosok begitu dicintainya hadir dalam bentuk kenangan masa lalu. ‘Ikram Rasyid, aku rindu padamu.’
Malam ini entah mengapa rasa rindu itu lebih mendominasi, seolah ingin merajai hati Meutia Siddiq. Sedari pagi sewaktu mereka bertolak kemari – perasaannya kian tak menentu. Ada sesuatu sulit dijelaskan oleh kata namun dapat dirasa.
Nyak Zainab yang ingin menemani sang putri, pelan-pelan kembali menggeser pintu agar tertutup. Memberi ruang bagi Meutia melepaskan apa yang dirasakan olehnya.
Kendatipun Tia tak mengatakan apa-apa, sebagai seorang ibu Nyak Zainab bisa melihat besarnya kerinduan pada mata indah putrinya. Sama seperti dirinya di tahun awal kepergian sang suami untuk selamanya.
***
Malam pun telah berlalu, langit mulai terang dan para warga kampung Jamur Luobok sudah selesai melaksanakan shalat subuh. Mereka tidak lagi tidur melainkan jalan-jalan dipinggir pantai, menikmati irama ombak menyapa.
“Nanti siang kalau main ke pantai jangan jauh-jauh! Soalnya ini hari Minggu, dan bertepatan dengan libur sekolah – pasti ramai pengunjung!” juragan Byakta memberikan pengertian pada anak kecil.
“Kalau kalian tak bisa dibilangin, hari ini dilarang mendekati pantai. Main di dalam kamar hotel saja, mau?” Meutia pun ikut memperingatkan, ada kekhawatiran dalam hatinya.
Sabiya dan para sepupunya langsung menggeleng. Mereka memiliki jiwa petualang, mana mungkin betah berdiam diri seharian di dalam kamar.
“Kak Siron, nanti bantu Intan mengumpulkan cangkang kerang ya?”
Siron menutupi mulutnya yang sedang menguap, dia sedikit mengantuk. “Boleh. Siangan dikit ya, jangan pas jam 12 – mataharinya sedang terik.”
Intan mengangguk mengiyakan. Mereka berdua sekarang lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Siron sudah baligh, dan Intan tidak lama lagi menyusul.
Lelah jalan-jalan pagi, para ibu-ibu dan anak kecil masuk ke dalam hotel. Sebentar lagi waktunya sarapan, dan mereka hendak memesan menu yang disukai.
.
.
Deg deg deg ….
Entah sudah berapa kali Meutia memegang dadanya yang berdebar-debar. Dia sampai tidak berani keluar dari kamar, takut pingsan atau apa. ‘Ya Rabb, hamba mohon tolong tenangkan detak jantung ini.’
Sementara kedua putrinya dan para keponakan terlihat berlarian di antara ramainya pengunjung. Mereka dijaga oleh Ayek dan lainnya.
Meutia merasakan pusing, dia cemas. Menutup pintu penghubung balkon dan merebahkan diri di pembaringan.
Gauzan sedang diasuh oleh Dhien, Wahyuni dan Nur Amala. Nyak Zainab pun tengah istirahat dikamar sebelah.
Di pantai yang jaraknya sekitar dua puluh meter dari resort milik Nirma. Intan asik mencari cangkang siput, mau dibawa pulang dan dijadikan kerajinan tangan.
“Intan jangan jauh-jauh. Ingat pesan ayah besar!” Siron menahan tangan sepupunya yang mau melangkah ke pantai sebelah kanan sangat ramai pengunjung.
"Baik, Kak," kata itu cuma kiasan agar sepupunya merasa tenang. Kala Siron lengah, Intan menyelinap disela-sela lautan manusia mendekati ombak datang ke daratan.
Gadis beranjak remaja itu heran pada dirinya sendiri yang seolah kembali ke tahun sebelumnya. Menyukai tantangan, adanya larangan untuk dilanggar.
Langkah kaki Intan mendekati barisan pohon Cemara yang berdiri kokoh. Dia ingin mencari runjung Cemara yang biasanya berjatuhan di atas pasir putih.
Kaki tidak mengenakan alas itu berlari kecil. Dirinya terpekik senang saat menemukan buah mengerucut kering. "Nanti cangkang kerangnya ku rangkai dengan runjung dan bunga ilalang kering, pasti bertambah cantik."
Kantong plastik berisi cangkang kerang, dan runjung Cemara hampir penuh, dia memperhatikan sekeliling. "Ternyata sangat jauh aku berjalan."
Intan bersiap pergi dari sana, sesuatu menghentikan langkahnya.
"Bagi pengunjung pantai, khususnya anak dibawah umur – diharapkan tidak mendekati air. Dikarenakan gelombang ombak sedang tinggi! Teruntuk para orang tua, tolong dijaga buah hatinya!"
Pemberitahuan petugas keamanan pantai, membuat para orang tua memanggil dan menyusul buah hati mereka yang sedang main air.
Ketiga pemuda dan satu remaja, berlari menangkap anak-anak bos mereka. Zeeshan paling sulit ditangkap, dia bak Belut licin. Menyelinap di antara banyaknya pengunjung.
Rizal berhasil meringkus si jahil, dan memanggulnya di pundak lalu dibawa masuk ke dalam hotel.
"Tolong! Anakku terseret ombak!"
Teriakan seorang wanita menarik perhatian Intan Rasyid, dia memutar badan melihat sosok dewasa berlari mendekati ombak lumayan besar. Jaraknya lumayan jauh dari tempatnya berdiri.
Ada satu yang membuat napas Intan sejenak terhenti, lalu debar jantungnya menggila – netranya memicing menatap pria bertopi, celana panjang digulung sampai lutut dan terlihat basah, dia sedang membopong anak kecil yang tubuhnya lemas.
"Tolong beri ruang! Jangan mendekat! Dia butuh area luas agar tak merasa sesak napas!" dia sedang melakukan pertolongan pertama yakni memompa bagian dada (CPR) bertujuan menjaga aliran darah ke otak dan organ lainnya.
Plastik dalam genggaman Intan terjatuh, dia berlari menuju sumber suara yang sangat dikenali olehnya. Nada tegas tapi tak membuat takut, intonasi begitu dirindukannya. 'Ayah!'
Intan kesulitan melangkah maju, para orang dewasa menghalangi. Mereka penasaran ingin menonton anak kecil yang sedang diberikan pertolongan pertama oleh pria asing.
Tangisan ibu si anak kecil itu tidak membuat Intan tuli akan suara paling ditunggunya siang dan malam.
"Minggir! Tolong beri aku jalan!" Tangan kurusnya mendorong bagian pinggang, dia terus berusaha menyeruak diantara banyaknya manusia. Keringat telah membasahi pelipis dan kening, hijabnya sedikit tertarik kebelakang.
"AYAH!!"
.
.
Bersambung.