NovelToon NovelToon
Hanasta

Hanasta

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Romantis / Psikopat itu cintaku / Mafia
Popularitas:12
Nilai: 5
Nama Author: Elara21

Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.

sanggupkah ia lepas dari suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hanasta 17

Langkah kaki Lima dan Tujuh menggema memasuki terminal.

Mereka tidak berlari, tidak berteriak—

justru berjalan santai, seakan punya seluruh waktu di dunia.

Tapi mata mereka…

Mencari.

Menilai.

Menghitung.

James tahu:

kalau mereka menemukan Raina sekarang, semuanya selesai.

Bukan hanya bagi Raina—

tapi bagi kebenaran tentang kematian ibunya.

Ia menoleh sekilas ke Raina.

“Bangun.”

suara James rendah, cepat.

Raina berdiri dengan lutut gemetar.

“Ja-James… mereka lihat aku… aku tidak bisa—”

“Hentikan.”

James memegang tangannya,

“Dengarkan aku.

Kau akan ikut aku. Sekarang.”

Raina ingin menolak, tapi mulutnya tak bisa bergerak.

James menariknya ke samping,

memotong jalur kerumunan,

menggunakan tubuhnya untuk menghalangi pandangan orang.

Di belakang, Lima menoleh ke arah kiri terminal…

Dan mata mereka nyaris bertemu.

James menarik Raina lebih cepat.

“Jangan menoleh,”

bisiknya tegas.

Raina meremas tangannya, napas tersengal.

“Ja—James… aku takut…”

“Aku tahu,”

James menariknya memasuki lorong belakang terminal,

“tapi aku tidak akan biarkan mereka menyentuhmu.”

Mereka melewati pintu samping yang jarang dipakai.

Lonceng kecil berdering saat pintu terbuka.

Di luar hanya ada area parkir kosong.

Angin kering berhembus.

James menyeret Raina ke belakang deretan bus mati.

“Lewat sini,” katanya.

Tapi saat mereka baru melewati dua bus—

BRRAK!

Pintu samping terminal terbanting terbuka.

Tujuh keluar, melihat ke arah mereka.

“HEI!”

James tidak ragu.

“LARI!”

Dia menarik Raina dan berlari secepat mungkin.

Raina hampir jatuh tapi James memegangnya erat, memastikan ia tidak tertinggal.

Tujuh mengejar dari belakang.

Lima keluar dari arah lain.

Mereka hampir terkepung.

Raina menjerit kecil.

“James… James, mereka mau ambil aku! Aku—”

“Diam!”

James menggertak tanpa marah,

“Hanya fokus berlari!”

Ia memutar arah ke gang kecil di belakang terminal.

Tempat sempit, gelap, penuh kabel dan sampah.

Sangat mudah tersesat.

Tapi itu yang James mau.

“Kiri!”

James menarik Raina.

“Kanan! Ikuti aku!”

Tujuh sudah dekat.

Napasnya terdengar.

James mendorong tong sampah besar ke belakang.

TUBRAAAKKK!

Tong sampah tumbang, menghambat Tujuh.

Raina berlari hampir tanpa sadar.

James menariknya lagi.

Mereka masuk ke lorong yang lebih sempit, berbelok ke kiri, kanan, kiri lagi…

Hingga akhirnya…

Sunyi.

Tidak ada langkah.

Tidak ada bayangan.

Hanya napas mereka berdua yang terengah-engah.

Raina bersandar ke dinding, tubuhnya meluncur turun perlahan.

Ia menangis—

tapi kali ini bukan hanya takut.

Ini kelelahan.

Keterkejutan.

Dan kebenaran yang sudah terlalu lama ia pendam.

James jongkok di depannya, menahan bahu Raina agar tidak roboh.

“Kau tidak apa-apa?”

Raina menggeleng cepat, menangis semakin keras.

“Ja-James… mereka akan bunuh aku…”

“Aku lihat sesuatu yang aku seharusnya tidak lihat…”

“Aku seharusnya diam… tapi aku… aku takut…”

James memegang wajahnya dengan kedua tangan, memaksa Raina menatapnya.

“Hei. Lihat aku.”

Raina mengangkat wajah, air mata membasahi pipi.

James menatapnya laman.

“Aku di sini. Mereka tidak akan menyentuhmu sepanjang aku masih hidup.”

Raina menutup mulut, terisak.

James melanjutkan pelan:

“Aku butuh kau jujur padaku.

Sekarang.”

Raina menunduk.

“Siapa yang kau lihat malam itu?”

Raina menggenggam tangannya erat-erat, tubuhnya gemetar.

“Aku… aku tidak tahu siapa dia…”

suara Raina pecah.

“Tapi aku ingat… aku ingat semuanya…”

James menahan napas.

Raina mengusap air mata dengan gemetar.

“Malam itu…

aku pulang dari latihan sekolah.”

“Hujan deras… aku berhenti di bawah tiang listrik…”

“Lalu aku lihat seorang wanita berlari…

itu ibumu…”

James memejamkan mata sejenak.

Raina melanjutkan dengan suara patah-patah:

“Ib—ibumu panik…

seperti dikejar…”

James menunduk, menahan emosi.

“Dikejar siapa?”

Suara Raina turun menjadi bisikan sangat lemah.

“Ada seseorang…

berjalan di belakangnya…”

James membeku.

Raina menarik napas panjang, lalu mengeluarkan kata yang selama dua tahun ia simpan dalam ketakutan:

“Dia… bukan gadis yang berlutut waktu itu.”

“Bukan Hana.”

James menatapnya tajam.

Raina menatap lurus ke matanya, air mata mengalir deras.

“Aku lihat… seorang pria.”

“Pria tinggi… memakai jas gelap… berjalan pelan di belakang ibumu…”

James perlahan bangkit berdiri, tubuhnya menegang seperti batu.

Raina berbisik:

“…seolah sedang mengikutinya.”

“…seolah mendorongnya ke jalan yang salah…”

James merasakan dingin merayap dari ujung tulang belakang.

Lalu Raina mengucapkan kalimat yang menghancurkan dunia James dalam hitungan detik:

“Dan saat wanita itu jatuh…”

“…aku lihat wajah pria itu sebentar…”

James menahan napas, jantungnya hampir berhenti.

“Raina,” katanya lirih,

“katakan padaku.”

Raina menangis, wajahnya pucat.

Pria itu—

Pria yang ada di belakang ibunya—

Pria yang menghantui mimpi buruk Hana—

Pria yang mengancam Raina hari ini—

Pria yang mengirim Lima dan Tujuh—

semua itu mengarah pada satu nama.

Raina menutup wajahnya.

“…itu ayahmu.”

James berdiri membatu.

Tubuhnya tak bergerak.

Wajahnya seperti kehilangan warna.

Hanya matanya—

yang berubah perlahan…

dari keterkejutan…

menjadi kehancuran.

Raina masih menangis, tapi James tidak mendengar apa pun lagi.

Dunia seolah memantul jauh.

Suara angin menghilang.

Keramaian di terminal tak terdengar.

Napasnya sendiri pun nyaris tak disadari.

Yang tersisa hanya satu kalimat:

“…itu ayahmu.”

James menutup matanya.

Memaksa napas masuk ke paru-paru yang terasa mengencang.

“Raina…”

suara James pecah pelan,

“…ulangi.”

Raina menatap James dengan mata sembab, ketakutan, namun tegas.

“Aku lihat… pria itu…

waktu ibumu jatuh…”

James membuka mata.

Kosong.

Bergetar.

“Wajahnya…

samar… tapi aku ingat.

Dia tinggi… berjas…

dan saat petir menyambar… aku lihat siluet wajahnya.”

Raina mengusap air matanya, menahan napas sebelum mengatakan kebenaran terakhir:

“Dan aku…

melihat wajah yang sama…

di berita waktu pernikahannya dengan Hana.”

James merasakan dadanya seperti diremas.

“Ayahmu…”

Raina menunduk.

“…Soni Arther.”

Sunyi.

Tidak ada yang berbicara.

James memutar tubuh, menatap dinding gang, menekan kedua tangannya ke permukaan bata.

Bahunya tegang.

Dada naik-turun cepat.

Emosi membanjir:

• marah

• muak

• dikhianati

• bingung

• hancur

• tidak percaya

• dan… sakit

Sakit yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Ibunya—

wanita paling lembut dalam hidupnya—

mungkinkan…

diburu…

oleh suaminya sendiri?

James menutup wajahnya dengan kedua tangan.

“Tidak…”

suara James serak.

“Tidak mungkin dia…”

Tapi potongan-potongan kecil mulai jatuh di kepalanya:

• Soni menghapus semua berkas.

• Soni tidak mau bicara tentang malam itu.

• Soni menikah terlalu cepat.

• Soni berbohong bahwa tidak ada saksi.

• Soni selalu mengawasi James.

• Soni mengurung Hana.

• Soni melindungi kebenaran dengan kekerasan.

Semua menyatu…

seperti puzzle yang akhirnya menemukan bentuknya.

James menurunkan tangannya perlahan.

Wajahnya bukan lagi shock.

Wajah itu sekarang…

gelap.

“Ternyata begitu…”

James menoleh pada Raina.

Mata James yang biasanya hangat, kini tajam seperti pecahan kaca.

“Ayahku…”

James berkata dengan suara yang sangat pelan namun menusuk,

“…yang memburu ibuku malam itu?”

Raina mengangguk pelan.

“Aku… aku tidak tahu kenapa…

tapi dia…

dia mengikuti ibumu… bukan Hana…”

James menggertakkan gigi.

Rasa ingin muntah naik ke tenggorokan.

Ia ingin berteriak.

Melempar sesuatu.

Menghancurkan sesuatu.

Tapi ia menahan semuanya.

Justru sebaliknya—

James menjadi sangat tenang.

Ketika ia berbicara lagi, suaranya rendah dan bergetar:

“Kalau itu benar…

ayahku bukan hanya menyembunyikan sesuatu…”

James menatap lurus ke tanah.

“Dia membunuh ibuku.”

Raina menutup mulut, menangis.

“Maaf… maaf… aku takut… aku tidak tahu harus bicara ke siapa…”

James mengangkat wajah, memberi tatapan pertama yang bukan marah—

tapi terima kasih.

“Kau sudah lakukan hal yang tepat.”

suara James lebih lembut.

“Aku tahu kau takut. Tapi kau cerita juga.”

Raina menunduk, bahunya bergetar.

James menepuk pundaknya hati-hati.

“Kau tidak sendiri sekarang.”

Namun sebelum ia bisa berkata lebih banyak—

James merasakan sesuatu aneh di tubuhnya.

Seperti ada aliran panas dingin di tulang punggung.

Ia berdiri cepat.

Memandang sekeliling.

Hening.

“James?”

Raina memegangi tangannya.

“Kenapa?”

James tidak menjawab.

Ia menoleh ke lorong gelap…

ke arah terminal…

ke arah atap…

“Raina,” katanya pelan,

“kau merasa… kita sedang diawasi?”

Raina pucat seketika.

“…mereka mengikuti kita?”

James menggeleng.

“Tidak.

Ini bukan Lima atau Tujuh.”

James menarik napas.

“Ini… seseorang lain.”

DI MANSION — WAKTU SAMA

Hana tiba-tiba merasa tubuhnya dingin.

Ia memegang dadanya.

“Kenapa…

kenapa dadaku sakit begini…”

ufuk suaranya kecil.

Ia duduk di lantai, punggung bersandar ke pintu, meremas kausnya.

Air mata tanpa sebab mengalir.

“Ada sesuatu…

ada sesuatu yang buruk dengan James…”

Ia menggeleng, mencoba mengabaikan firasat itu.

“Tolong… jangan… jangan ada yang terjadi…”

Namun semakin ia mencoba menenangkan diri,

semakin perasaannya berkata:

Soni menemukan sesuatu.

James menemukan sesuatu.

Dan sesuatu buruk…

sedang mendekat di antara keduanya.

Hana memeluk dirinya sendiri.

“James…

tolong… jangan sendirian…”

Ia tidak sadar—

di ujung ruangan, di bayangan tirai…

Soni berdiri.

Diam.

Mengamati.

Mendengar setiap kata.

Wajahnya tidak menunjukkan apa pun.

Tidak tanda marah.

Tidak tanda terkejut.

Hanya tatapan dingin seorang pria yang akhirnya tahu:

James sudah bertemu saksi itu.

Dan Hana—

tanpa sadar—

baru saja memberikan bukti terakhir tentang kepanikan hatinya.

Soni tersenyum tipis.

“Jadi semuanya mulai jatuh pada tempatnya…”

18-11-2025

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!