Subgenre: Wanita Kuat · Second Chance · Love Healing
Tagline pendek: Kisah tentang aktris yang hidup lagi — dan menemukan cinta manis dengan CEO muda, si sponsor utama dalam karirnya
Sinopsis:
Cassia adalah aktris A-class yang hidupnya terlihat sempurna — sampai semuanya runtuh di puncak kariernya.
Cinta yang disembunyikan, jadwal padat tanpa jeda, dan skandal yang merenggut segalanya.
Namun ketika takdir memberinya kesempatan untuk hidup lagi, Cassia hanya ingin satu hal: menjauhi orang-orang toxic di sekitarnya dan pensiun jadi artis.
Ia ingin menebus hidup yang dulu tak sempat ia nikmati — dengan caranya sendiri.
Tapi siapa sangka, hidup tenang yang ia impikan justru membuka pintu ke masa lalu yang belum sepenuhnya selesai… dan pada satu sosok CEO muda yang selalu mendukungnya selama ini dan diam-diam menunggu untuk menyembuhkannya.
💫 Ayo klik dan baca sekarang — ikuti Cassia mengubah takdirnya dan menemukan cinta yang benar-benar menenangk
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 🌻Shin Himawari 🌻, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 - Kedatangan Yang Mengganggu
Kembali lagi di jalan. Mobil Felix melaju kencang menembus hujan deras menuju apartement Cassia.
BRAK!
Bunyi hantaman itu menggema di tengah hujan deras. Felix terpaku di kursinya. Napasnya tersengal, matanya panas.
“Sialan! Di saat seperti ini?!”
Felix mencondongkan tubuh, berusaha melihat lewat kaca depan yang dibanjiri air. Wiper bergerak cepat, tapi hujan terlalu deras, semuanya tetap buram.
Dengan gerakan kasar, ia membuka sabuk pengamannya dan keluar dari mobil.
Seketika, hujan segera membasahi seluruh tubuhnya. Felix berjalan ke depan mobil—dan di sana, seekor kucing kecil tergeletak di aspal basah. Tubuh mungilnya gemetar nyaris tak bergerak hampir sekarat.
Suara kucing itu mengeong dengan lemah, seakan memohon untuk di selamatkan.
Felix menatapnya sekilas. Satu langkah ia maju, tapi berhenti. Tangannya mengepal tanda kalau dia sedang mempertimbangkan sesuatu.
Bingung, antara ingin menolong atau pura-pura tidak melihat, atau seperti biasanya, Felix memilih jalan paling mudah, mengabaikannya dan membiarkan kucing itu sekarat dibawah derasnya hujan
Logikanya bilang untuk masuk lagi ke mobil. Tapi ada sesuatu di dadanya yang menahan langkah itu.
“Cuma kucing.... Aku nggak punya waktu untuk ini. Aku harus segera bertemu Cassia,” gumamnya pelan.
Lalu Felix berbalik cepat, masuk kembali ke mobil. Suara pintu mobil membanting menenggelamkan suara hujan, tapi bayangan kecil di jalan itu masih membekas di matanya. Entah kenapa terasa seperti firasat buruk.
...🌻🌻🌻...
Klik.
Di sisi lain, masih di malam berujan ini, Cassia baru saja menutup pintu apartementnya
Begitu sampai di apartemen, Cassia langsung menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Gaun dan heelsnya masih belum juga dilepas, rambutnya pun sudah lepek berantakan karena udara yang lembab dan terkena sedikit hujan di luar.
“Capek banget…” desah Cassia pelan.
Suara hujan di luar terdengar menenangkan, tapi kepalanya masih penuh dengan segala hal.
Tentang Felix, tentang percakapannya dengan Silvia, tentang Max. Dan, tentang rencana barunya, yang baru akan dimulai agar Cassia bisa pensiun dari kegiatan keartisannya di kehidupan kali ini.
Ponselnya tiba tiba bergetar di meja. Sebuah pesan dari Selina muncul dengan emoji kacamata dan hati.
From Selina: "Kamu harus liat video ini, Sia. Maaf aku videoin diem diem tapi sumpah gemas banget ngeliat kalian! Kalian beneran belum pacaran nih?"
Cassia mengerutkan alis dan penasaran. "Video apa?" Cassia pun duduk dan mulai melihat isi videonya.
Ia tekan video itu, dan layar langsung menampilkan suasana perlelangan tadi malam. Video yang diambil pribadi oleh Selina untuk Cassia.
Seketika terlihat ruang megah, cahaya hangat, kamera menyorot dirinya dan Max duduk bersebelahan di kursi barisan depan saat pelelangan ballroom tadi.
Cassia menahan napas.
Dari video itu, suara mereka memang tidak akan terdengar, tapi bahasa tubuhnya seakan dapat mewakili apa yang terjadi.
Max menatapnya dengan sorot mata yang lembut, nyaris berbahaya. Tubuhnya sedikit condong ke depan, satu tangan menopang kepala di atas meja, mendengarkan Cassia yang terlihat sedang bercerita.
Seolah setiap ucapan dan gerakan Cassia, setiap senyum kecilnya —ditangkap sempurna oleh tatapan Max yang fokus hanya padanya. Tatapan yang menggambarkan bahwa Max terlihat tidak peduli dengan apapun, selain Cassia yang ada di sampingnya.
Wajahnya pelan-pelan memanas, “Pria ini...Kenapa ekspresinya kayak gitu sih…” gumamnya lirih, jantungnya berdetak lebih cepat.
Sesaat video itu terbuka, Selina mulai mengetik pesan lagi. Tak lupa dengan emoji love.
From Selina: “Kalo tatapan cowok udah gitu, percaya deh pak Max tuh tertarik banget ama kamu Sia! Tanda tanda cowok bucin tuh."
Belum sempat Cassia membalas pesan sebelumnya, pesan baru Selina sudah masuk lagi.
From Selina: “Sumpah ya, chemistry kalian tuh meledak banget. Aku aja nontonnya senyum senyum. Bisa kali nih jadi inspirasi lagu cinta buat album baruku, haha~.”
Cassia menutup video itu cepat-cepat. Ponselnya nyaris terlepas karena gugup. Aneh, padahal hanya satu video dan pesan Selina saja bisa membuat Cassia, sang aktris yang jago akting, bisa salah tingkah seperti ini.
"Duh, Selina ini iseng banget deh." gumam Cassia, tapi sudut bibirnya malah sedikit terangkat.
Setelah membalas singkat pesan itu dengan pipi yang sudah merah sendiri, senyum malu menempel di wajahnya.
From Cassia: "Apaan sih Sel. Kami belum pacaran. Kamu kayanya salah paham, deh."
Ia menggigit bibir, berusaha menenangkan debar jantungnya yang makin tak karuan.
“Ah kenapa juga aku senyum senyum sendiri kaya orang gila gini… mandi aja deh biar nggak kepikiran aneh-aneh.” Cassia menepuk pipinya yang sudah memerah sempurna.
Cassia meletakkan ponsel di meja, lalu beranjak ke kamar mandi. Suara air mulai mengalir, menenggelamkan sisa pikirannya.
Tapi saat Cassia sedang mandi layar ponsel itu kembali menyala di meja.
Satu pesan baru muncul —nama pengirimnya membuat udara malam seketika menegang.
From Felix: “Tunggu aku di apartement, sayang.”
...🌻🌻🌻...
Cassia terdiam di depan meja rias, handuk masih di pundak, pengering rambut di tangan, saat melihat layar ponselnya tiba tiba menyala —menampilkan pesan itu.
From Felix: “Tunggu aku di apartemen, sayang.”
Jantungnya mencelos.
Ia menatap pesan itu lama, lalu mencoba menertawakan betapa absurdnya Felix, pria yang sudah menghancurkannya tapi masih bisa memanggilnya ‘sayang’.
Cassia mematikan layar, menarik napas panjang.
“Tenang, Cassia,” gumamnya pada diri sendiri. “Dia nggak akan datang. Dia cuma… cari perhatian lagi.”
Tapi hujan mulai turun lebih deras.
Petir menyambar di kejauhan.
Dan di antara suara hujan yang menampar kaca, terdengar bel pintu berdentang keras. Cassia membeku.
Sekali. Dua kali. Tiga kali.
Bel itu terus berbunyi.
Cassia berjalan perlahan ke pintu dengan hati hati. Setengah hantinya ragu, setengah berharap itu bukan siapa yang ia pikir. Namun dari bel yang berdenting tidak sabaran, sepertinya Cassia sudah bisa menebak siapa orang yang datang itu.
Cassia melipat tangan di dadanya terlihat jengah, karena pria yang tampil di layar intercome bell depan apartementnya, adalah Felix.
Kedatangan yang mengganggu Cassia di tengah malam buta seperti ini.
“Dia benar benar datang. Pria gila.” Cassia memandang penampilan Felix yang kacau, masih dari layar intercome apartementnya
Di depan pintu Apartement Felix, pria itu masih berdiri basah kuyup dari ujung rambut sampai sepatu. Wajahnya pucat, mata merah, napas memburu. Tapi bukan karena dingin — melainkan dari amarah dan sesuatu yang nyaris seperti penyesalan.
“Apa Cassia sudah tidur? Atau… jangan-jangan dia tidak pulang malam ini? Dengan Maximillan sialan itu?” pikiran konyol terbesit, langsung menyulut emosi Felix.
Cassia yang daritadi masih diam di depan pintu dari dalam apartement, bisa mendengarnya dari dalam. Ia tersenyum sinis.
Masih saja sama. Menyalahkan semua orang kecuali diri sendiri. Cassia mencibir dari dalam hatinya.
Sekarang, ketukan pintu dari Felix semakin keras dan mendesak. Lalu bertubi-tubi, seperti amarah yang meledak.
Tok. Tok. Tok.
Sekali lagi. Sedikit lebih keras.
Dua kali hingga akhirnya berkali-kali dengan marah.
“Cassia?! Buka pintunya! Ini aku... sayang, tolong!” Suaranya serak, hampir pecah, menggema di lorong yang sepi. Tetap saja, tidak ada jawaban dari Cassia.
“Katakan kamu ada di dalam kan??!” Suara teriakan Felix semakin keras menandakan keputusasaan pria itu.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka sedikit—Cassia muncul dengan wajah datar mengenakan piyama dan sweaternya. Memandang wajah Felix dari atas hingga bawah, dan di mata Cassia hanya ada ketidaksukaan.
“Felix… kamu ini. Sudah tahu jam berapa sekarang? Aku tidak mau dengar komplain dari tetangga karena teriakanmu. Pulanglah. Aku sudah bilang, kita bicara besok saja.” ucap Cassia, lewat celah pintu yang sempit.
“Aku cuma mau bicara,” potongnya cepat. Suaranya serak tapi tajam. “Tolong, Cassia. Ayo kita masuk dan bicara di dalam.”
Cassia menatapnya lama, lalu ekspresinya datar saat berkata, “Aku tidak mau. Besok saja.” Sesaat Cassia akan menutup pintu, Felix menahannya dengan kuat lalu berkata lagi, “Jangan lakuin ini ke aku, Sia. Kasih aku kesempatan menjelaskan dengan benar. Sepuluh… tidak, lima menit saja.”
Cassia menatapnya lama. Ekspresinya datar, tanpa amarah—hanya lelah dan muak.
"Masuklah, bicaralah hanya 10 menit.”
Bersambung
ih nusuk juga