Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi Mata Mata Amatir
Sore itu, Renjiro Sato merasa seperti orang paling beruntung di dunia.
Pertama, dia berhasil bertahan hidup dari "Bento Balas Dendam" Marika (yang ternyata enak meski bentuknya horor). Kedua, Marika sedang dalam suasana hati yang baik—atau setidaknya, tidak ingin membunuhnya.
"Ingat, Sato-kun," kata Marika saat Ren berpamitan pulang. Dia tidak menatap Ren, tapi ujung bibirnya sedikit naik. "Besok bawa laporan evaluasi fisik arsip. Jangan telat."
"Siap, Ketua," jawab Ren hormat.
Ren berjalan menuju rak sepatu dengan langkah ringan. Dia merasa bebas. Dia merasa aman. Dia merasa hidupnya akhirnya berjalan efisien.
Dia membuka loker sepatunya, mengambil sepatu ketsnya, dan...
BRAK!
Sebuah tangan berkulit tan menghantam loker di samping kepala Ren dengan kekuatan yang membuat debu berjatuhan.
Ren membeku. Dia menoleh perlahan.
Takae Yumi berdiri di sana, melakukan pose kabedon (memojokkan ke tembok) yang sempurna padanya. Wajahnya dekat sekali. Dia menyeringai lebar, menampilkan gigi gingsulnya.
"Halo, Sayang... eh, maksud aku... Ren," sapa Takae, mengoreksi panggilannya dengan kaku.
Ren menelan ludah. Dia melihat sekeliling. Area loker sepi. Sial.
"Ta-Takae-san," kata Ren, memeluk tas sekolahnya sebagai tameng. "Ngapain kabedon di sini? Nanti lokernya penyok, dimarahin Sugawara lho."
"Biarin," kata Takae, mendekatkan wajahnya lagi. "Kenapa chat aku nggak dibales tadi siang? Hah? Kamu sombong ya mentang-mentang udah dikasih makan sama Ibu Ketua?"
Ren berkeringat dingin. Gosip cepat sekali menyebar. "Hp-ku mati. Baterainya bocor. Serius."
Takae menyipitkan matanya, menatap Ren curiga. Lalu dia mendengus dan menarik tangannya kembali.
"Yaudah, aku maafin," katanya. "Sebagai gantinya... kamu harus nemenin aku sekarang."
"Ke mana?" Ren waspada. "Ke GOR lagi? Nggak bisa, aku harus..."
"Bukan," potong Takae. Dia tiba-tiba memasang wajah (yang dia pikir) imut, mengedip-ngedipkan matanya. "Ke... toko olahraga. Di stasiun sebelah. Aku mau beli... pelindung lutut. Sendirian itu... serem."
Pelindung lutut.
Alarm di kepala Ren berbunyi. Kata-kata Marika dewasa terngiang: "Cegah dia. Perhatikan kakinya."
Kalau Takae mau beli pelindung lutut, berarti dia memang merasa sakit tapi menyembunyikannya. Ini kesempatan emas untuk menjalankan misi mata-mata!
"Oke," kata Ren cepat. "Ayo."
Takae melongo. Dia jelas tidak menyangka Ren bakal setuju secepat itu. "Hah? Serius? Gak nolak?"
"Enggak. Ayo buruan sebelum tokonya tutup," kata Ren, malah dia yang menarik lengan jaket Takae.
Takae menatap punggung Ren, wajahnya memerah. "Yes! Rencana 'Pura-pura Lemah' berhasil!" batinnya bersorak.
Perjalanan ke toko olahraga itu adalah bencana komedi.
Takae berusaha keras mempraktikkan tips "Cara Menjadi Cewek Feminin" yang dia baca di majalah shoujo milik temannya, tapi insting atletnya terus mengambil alih.
Insiden 1: Kereta Penuh Di dalam kereta yang padat, Takae berniat pura-pura terdorong agar bisa bersandar di dada Ren. Rencana: "Aduh, Ren, penuh banget~" (Jatuh manja). Realita: Kereta mengerem mendadak. Takae kehilangan keseimbangan. Refleks atletnya bekerja. Dia memasang kuda-kuda defense basket yang kokoh, sikunya menyodok rusuk bapak-bapak di sebelahnya, dan tangannya mencengkeram tiang besi dengan kekuatan penuh sampai bukunya memutih. Ren malah terlempar menabrak punggung Takae yang sekeras batu karang.
"Lo oke, Ren?!" teriak Takae panik (lupa pakai 'aku-kamu'). "Eh, maksud aku... kamu nggak apa-apa?"
Ren memegangi hidungnya yang kepentok tulang belikat Takae. "Aman. Punggung kamu... keras banget ya."
Insiden 2: Eskalator Takae mencoba memegang ujung baju Ren (biar imut). Tapi karena tangannya besar dan cengkeramannya kuat, dia malah menarik tas Ren terlalu keras sampai Ren hampir terjengkang ke belakang di eskalator.
"Sori! Tenaga aku kelebihan dikit!"
Sesampainya di toko olahraga, Ren langsung masuk ke mode serius. Dia membawa Takae ke bagian decker (pelindung) lutut.
"Coba yang ini," kata Ren, mengambil sebuah knee support medis yang tebal.
Takae mengerutkan hidung. "Ih, itu tebel banget. Jelek. Nanti kaki aku kelihatan gede. Yang warna pink tipis itu aja."
"Itu cuma aksesoris fashion, Takae," kata Ren tegas. "Itu nggak nahan ligamen. Kalau kamu mau main minggu depan, pake yang medis ini."
Takae terdiam. Dia menatap Ren. Cowok ini... bawel banget soal kakinya.
"Ren," panggil Takae pelan. "Kenapa sih kamu peduli banget sama lutut aku? Aku cuma pegel dikit doang."
Ren berlutut di depan Takae (untuk memakaikan contoh decker ke kaki Takae yang sedang duduk di bangku fitting).
Wajah Takae langsung merah padam. Posisi ini... berbahaya!
"Karena," kata Ren sambil memasangkan perekat velcro di lutut Takae dengan hati-hati. "Kalau ace tim basket cedera, sekolah kita bakal malu. Ini demi efisiensi prestasi sekolah." (Ren meminjam kata-kata Marika lagi).
"Bohong," bisik Takae. Dia menatap ubun-ubun Ren. Tangannya gatal ingin mengelus rambut Ren.
"Sakit nggak kalau ditekan di sini?" tanya Ren, menekan bagian samping lutut Takae.
"Awh!" Takae meringis refleks.
Ren mendongak, matanya tajam. "Tuh kan. Sakit. Ini bukan 'pegel dikit'. Ini radang."
Ren berdiri, memegang decker medis itu. "Kita beli yang ini. Dan kamu harus pake tiap latihan. Kalau enggak, aku laporin ke pelatih biar kamu dicoret dari line-up."
Takae menatap Ren dengan mulut terbuka. Diancam? Dia, Takae Yumi, diancam oleh sekretaris OSIS kerempeng?
Tapi anehnya... dia suka.
"Iya, iya, bawel," gerutu Takae, berusaha menyembunyikan senyumnya. " Aku beli. Tapi kamu yang bayarin dulu ya? Dompet aku ketinggalan di tas latihan." (Bohong. Dompetnya ada di saku).
"Hah? Mahal ini!" protes Ren melihat label harganya.
"Katanya demi prestasi sekolah!"
"Dasar preman..."
Setelah drama di kasir (di mana Ren menangis dalam hati melihat uang jajannya melayang), mereka keluar dari toko. Takae terlihat sangat puas.
"Haus nih," kata Takae. "Ke Game Center yuk? Ada mesin capit boneka baru."
"Nggak, mau pulang," tolak Ren tegas. "Udah malem. Besok ada ulangan Fisika."
"Yah... bentar aja!" Takae menarik lengan baju Ren (kali ini pelan). " Aku jago main capit boneka. Nanti aku ambilin satu buat kamu."
"Biasanya cowok yang ngambilin buat cewek," komentar Ren.
"Kita kan anti-mainstream," Takae mengedipkan mata.
Saat mereka sedang tarik-menarik di depan stasiun (Ren mau ke kiri, Takae narik ke kanan), sebuah suara memanggil mereka.
"Wah, wah. Pemandangan yang menarik."
Ren dan Takae menoleh bersamaan.
Di sana, berdiri Sugawara (Wakil Ketua OSIS). Dia sedang memegang kantong belanjaan minimarket, kacamatanya berkilau terkena lampu neon papan iklan.
Sugawara menatap tangan Takae yang memegang lengan Ren. Lalu menatap knee support di tangan Ren. Lalu menatap wajah Ren yang panik.
"Sekretaris Sato," kata Sugawara, mengeluarkan buku catatan kecil dari sakunya. "Sedang melakukan 'misi penyamaran' lagi? Atau ini yang disebut 'kegiatan ekstrakurikuler ilegal'?"
Ren melepaskan tangan Takae secepat kilat. "Sugawara-san! Ini... ini nggak seperti yang kau pikirkan! Ini... ini misi kemanusiaan! Bantuan medis!"
"Oh?" Sugawara mencatat sesuatu. "Bantuan medis yang melibatkan pegangan tangan di depan Game Center? Menarik. Ketua Tsukishima pasti akan sangat... tertarik mendengar detail laporan ini besok pagi."
Wajah Ren memucat. Dia membayangkan wajah Marika. Dia membayangkan tumpukan arsip yang akan bertambah dua kali lipat. Dia membayangkan sosis gurita yang berubah jadi sosis racun.
"Jangan!" seru Ren. "Sugawara-san, kita bisa bicarakan ini! Aku... aku traktir es krim? Premium?"
Sugawara membetulkan letak kacamatanya. "Integritas saya tidak bisa dibeli dengan es krim, Sato-kun."
Dia berbalik pergi dengan gaya dramatis. "Selamat malam. Nikmati kencan kalian."
Ren jatuh berlutut di trotoar. "Tamat riwayatku."
Takae, yang tidak terlalu paham betapa seramnya Marika kalau cemburu, malah terkikik.
"Temen kamu itu lebay banget sih," kata Takae, menepuk bahu Ren. "Udahlah, mending kita kabur ke luar negeri aja. Atau ke Game Center."
Ren menatap Takae dengan tatapan kosong.
"Takae," kata Ren lirih.
"Ya?"
"Minggu depan... tolong menang ya. Kalau kamu kalah, pengorbananku hari ini sia-sia."
Takae tersenyum lebar, mengacungkan jempolnya. "Tenang aja, Sayang. Eh, Ren. Demi kamu, aku bakal dunk di kepala lawan."
Ren menghela napas panjang. Dia berhasil menjalankan misi Marika dewasa (menjaga lutut Takae), tapi dia baru saja memicu bom waktu Marika muda.
Efisiensi hidupnya hari ini: Minus 100%.