Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak takdir Calista
"Selamat pagi, cucu Oma." ucap Oma Saras sambil tersenyum hangat melihat Xavier keluar dari lift dengan seragam sekolah rapi.
"Pagi, Oma...Opa," jawab Xavier dengan wajah datarnya yang khas.
Opa Arya hanya mengangguk kecil sambil melipat koran di tangannya.
"Sini sayang, kita sarapan dulu," ajak Oma Saras penuh kelembutan.
Xavier mengangguk singkat lalu berjalan menuju meja makan, aroma roti panggang dan teh hangat langsung menyambutnya.
Pagi itu meja makan dipenuhi suasana hangat. Cahaya matahari menembus tirai, jatuh lembut di atas taplak bermotif sederhana. Aroma teh hangat dan roti panggang menenangkan suasana.
Opa Arya duduk dengan tenang sambil membuka koran, sesekali menyesap tehnya. Di sampingnya, Oma Saras dengan sabar menyiapkan piring untuk Xavier.
"Xavier, makan yang banyak ya. Kamu butuh tenaga buat sekolah," ujar Oma Saras dengan senyum tipis.
"Iya, Oma," jawab Xavier singkat, tapi sorot matanya lembut.
Opa Arya menutup korannya sejenak, menatap cucunya dengan penuh kebapakan. "Belajar yang rajin, Nak. Jangan lupa jaga kesehatan."
Xavier hanya mengangguk kecil, merasa diperhatikan, lalu menyantap sarapannya dengan lebih tenang.
Pagi itu, meja makan mereka dipenuhi kehangatan sederhana yang membuat hati terasa damai.
Setelah menghabiskan sarapan, Xavier bangkit dari duduknya lalu menyalami Oma Saras dan Opa Arya dengan sopan.
"Pulang sekolah langsung balik, ya. Hari ini Opa sudah siap memberitahukan sesuatu padamu," ucap Opa Arya sambil menepuk pelan bahu cucunya.
Xavier menatap wajah sang kakek dengan ekspresi datarnya. "Apa Opa yakin?"
Opa Arya mengangguk mantap. "Iya, Opa sudah yakin. Kali ini tidak akan menunda lagi."
"Hm..." gumam Xavier singkat.
Setelah berpamitan, Xavier melangkah keluar dan menyalakan motornya. Angin pagi menyambut perjalanan menuju sekolah. Meski wajahnya tetap datar, dalam hati tersimpan rasa penasaran yang semakin kuat—apa sebenarnya yang akan disampaikan Opa Arya padanya?
Beberapa saat kemudian, Xavier tiba di sekolah. Seperti biasa, para fans fanatiknya langsung menatap dengan tatapan penuh kagum dan menggoda. Namun, apakah ia peduli? Tentu saja tidak. Dengan wajah datar, ia melangkah acuh menuju kelas.
"Pagi, bro..." sapa Alvaro sambil merangkul bahu Xavier.
"Hm." Xavier hanya membalas dengan deheman singkat.
"Malam ini ada job, lo mau ikut gak?" bisik Alvaro pelan sambil melirik sekeliling.
Xavier terdiam sejenak. Job yang dimaksud Alvaro tentu saja balap liar. Biasanya, ia tak akan menolak—selain demi adrenalin, uang yang didapat juga lumayan. Baginya, itu lebih baik daripada harus bergantung pada uang sang Daddy. Lagi pula, kartunya sudah diblokir, meski itu bukan masalah besar.
Xavier memang sudah menduga hal itu akan terjadi.
Namun kali ini berbeda. Ujian sudah di depan mata, dan entah kenapa bayangan wajah Calista terlintas begitu jelas di kepalanya. Tatapan serius gadis itu saat menjelaskan materi semalam masih melekat, membuat Xavier bimbang untuk meninggalkan tanggung jawabnya.
"Gak, gue gak bisa," jawab Xavier akhirnya.
"Kenapa, bro? Hadiahnya gede, 100 juta, lho!" bujuk Alvaro.
Xavier menoleh sambil tersenyum miring. "Lo pikir gue miskin? Sekarang gue udah tinggal sama Opa gue. Lo tau kan siapa Opa gue?"
Mata Alvaro membesar. "Serius? Jadi lo benar pindah?"
Xavier mengangguk tipis. "Hmm. Bajingan itu ngusir gue."
"Selamat, bro. Lo akhirnya keluar dari neraka itu." Nada Alvaro penuh lega. Ia tahu betul bagaimana hidup Xavier sejak Ibunya pergi dan Ayahnya menikah lagi. "Sekarang lo gak bakal kekurangan apa-apa. Opa lo lebih kaya dari Daddy lo itu.
Xavier hanya mengulas senyum miring dan mengangguk pelan. Ucapan Alvaro memang benar—perusahaan ayahnya terkenal, tapi tetap tak ada apa-apanya dibanding perusahaan milik Opa Arya. Bedanya, sang Opa tak pernah mengumbar hal itu ke orang luar, hanya keluarga yang tahu.
Mereka berdua masuk kelas dan duduk di bangku masing-masing. Xavier melirik ke arah bangku Calista. Masih kosong. Jam masuk hampir tiba, tapi tak biasanya gadis itu terlambat.
Tiba-tiba ingatannya melayang pada percakapan semalam. "Kamu akan tahu jawabannya besok." Kalimat Calista itu terus terngiang. Ada rasa tak enak yang menyelinap di dadanya. Apa terjadi sesuatu padanya?
Ia buru-buru merogoh ponsel, mencoba menghubungi Calista.
"Dia gak angkat..." gumam Xavier, menatap layar yang menunjukkan panggilan tak dijawab.
Tak lama, Ibu Mawar masuk ke kelas. Calista juga masih belum datang. Rasa bingung sekaligus cemas mulai merayapi hati Xavier.
•●•
Di rumah sakit, Calista terbaring lemah dengan selang infus menempel di tangannya. Matanya kosong menatap keluar jendela, membiarkan cahaya matahari pagi masuk dan menghangatkan wajahnya yang pucat. Sesekali napasnya terdengar berat, tapi bibirnya masih berusaha tersenyum tipis.
Klik! Suara pintu terbuka pelan. Vero masuk dengan wajah cemas, diikuti Nathan yang juga menahan rasa khawatirnya.
"Sayang..." panggil Vero lembut, langkahnya segera menghampiri putri tercintanya.
Calista tersenyum samar, lalu mencoba bangun dengan susah payah. Nathan cepat-cepat membantu, menopang punggungnya hingga ia bisa sedikit bersandar lebih nyaman.
"Bagaimana keadaan kamu sekarang, Nak?" tanya Nathan, jemarinya mengelus lembut rambut Calista sebelum mengecup keningnya dengan penuh kasih.
"Aku sudah mendingan, Pah. Maaf ya... sudah bikin kalian repot lagi," ucap Calista pelan sambil menunduk, suaranya terdengar serak.
Nathan langsung menggeleng, senyum hangat terukir meski matanya berkaca-kaca. "Sayang, jangan bicara seperti itu. Kamu nggak pernah merepotkan Mama dan Papa."
"Iya, benar. Jangan pernah merasa begitu, Nak," sambung Vero dengan suara bergetar. Air matanya mulai menetes, meski ia paksa tersenyum di hadapan Calista. "Kalau ada yang harus minta maaf, itu kami... bukan kamu. Karena ulah kami, kamu jadi sakit seperti ini."
Calista menggeleng lemah, sorot matanya penuh ketulusan. "Kalian nggak salah. Ini memang takdir Calista..." bisiknya lirih, membuat hati keduanya semakin teriris.
Mereka bertiga saling merangkul erat. Dalam pelukan itu, mereka berusaha saling menguatkan, seakan ingin menegaskan bahwa seberat apapun cobaan yang datang, keluarga tetaplah tempat pulang yang tak tergantikan.
Pelukan hangat itu terlepas perlahan ketika suara ketukan pintu terdengar. Seorang perawat masuk, membawa catatan medis di tangannya.
"Permisi, saya hanya ingin memeriksa kondisi pasien sebentar," ujarnya sopan.
Nathan dan Vero bergeser memberi ruang. Calista hanya tersenyum kecil, berusaha tampak kuat meski tangannya masih gemetar.
Perawat mengecek tensi dan catatan, lalu menatap Calista dengan ramah. "Kondisi sudah lebih stabil, tapi kamu tetap harus banyak istirahat ya, jangan memaksakan diri."
"Iya, Kak," jawab Calista pelan.
Setelah perawat keluar, suasana kamar kembali hening. Vero duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan putrinya erat. "Sayang, Mama janji... apapun yang terjadi nanti, kamu nggak akan sendirian. Mama dan Papa akan selalu ada."
Calista menatap Ibunya, matanya sedikit berkaca-kaca, sebelum mengangguk pelan.
Tiba-tiba, layar ponsel Nathan yang tergeletak di meja samping berbunyi. Ia meraihnya, membaca sekilas pesan yang masuk. Dahi, pria itu langsung berkerut, ekspresinya berubah serius.
"Ada apa, Pah?" tanya Calista menyadari perubahan sikap ayahnya.
Nathan tidak langsung menjawab, hanya menoleh sebentar pada Vero lalu menatap kembali putrinya. "Nggak apa-apa, Nak. Kamu istirahat saja dulu."
Namun Calista bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa penasaran.
Dalam hati, ia tahu... sakit yang ia derita mungkin bukan hanya soal tubuhnya, tapi ada sesuatu lebih besar yang belum terungkap.