Suatu hari, Rian, seorang pengantar pizza, melakukan pengantaran di siang hari yang terik.
Namun entah kenapa, ada perasaan aneh yang membuat langkahnya terasa berat saat menuju tujuan terakhirnya.
Begitu sampai di depan pintu apartemen lokasi pengantaran itu, suara tangis pelan terdengar dari dalam di ikuti suara kursi terguling.
Tanpa berpikir panjang, Rian mendobrak pintu dan menyelamatkan seorang gadis berseragam SMA di detik terakhir.
Ia tidak tahu, tindakan nurani itu akan menjadi titik balik dalam hidupnya.
Sistem memberi imbalan besar atas pencapaiannya.
Namun seiring waktu, Rian mulai menyadari
semakin besar sesuatu yang ia terima, semakin besar pula harga yang harus dibayar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quesi_Nue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 - Percobaan
"Begitu pintu berhasil didorong terbuka, mata Rian langsung membelalak.
“ASTAGA…!”
Suara itu tercekat di tenggorokannya.
Di depan sana, seorang gadis berseragam SMA terlihat dalam posisi tergantung.
Kita kembali pada satu jam sebelumnya, sebelum Rian pada posisinya saat ini.
"Hei, Rian! Ada pesanan, sudah di bayar orang!" ucap Nafi, kawan akrab Rian di restoran cepat saji sambil berbicara dengan Rian.
"Siapp," ucap Rian sambil mengambil kotak pesanan berisi pizza yang sudah dibayar.
Ia lalu menaiki motor restoran yang tersedia khusus untuk pengantaran.
"Kok dingin ya?" pikir Rian dengan heran.
Udara siang ini terasa sangat aneh, sedikit dingin, tetapi juga panas banget.
Angin yang berembus membuat kulitnya merinding, sementara keringat terus bercucuran di pelipisnya.
Panasnya menembus jaket tipis yang ia kenakan, tapi entah kenapa, hawa sekitarnya justru terasa beku dan menekan.
Rian pun menghiraukan perasaan itu dan terus melaju ke arah pelanggan yang memesan.
Broom...
Suara motor meluncur membelah jalanan kota, meninggalkan hawa aneh yang masih menggantung di belakangnya.
Matanya fokus pada nota pengantaran yang bertuliskan alamat penerima.
“Jalan Burung Gagak No. 10, apartemen lantai 3, kamar 30,” gumamnya pelan.
"Jauh juga ya.." lanjutnya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, ia berhenti di depan apartemen berlantai sepuluh yang tampak sepi di kawasan parkirnya.
Tak ada satu pun tukang parkir yang berjaga. Tempat itu terasa terlalu tenang untuk ukuran siang hari.
“Ih... tempat apaan nih, sepi amat. Udah dingin pula perasaan ini,” gumam Rian sambil mematikan mesin motor.
Ia melangkah masuk ke dalam gedung apartemen dengan langkah sedikit ragu.
Begitu pintu geser tua itu terbuka, hawa dingin langsung menyergap.
Lorong lobi remang, hanya satu lampu neon di sudut yang masih menyala, berkelap-kelip seperti mau mati.
Cat dinding mengelupas parah, menampakkan batu bata kusam di beberapa sisi. Bau lembap dan debu bercampur jadi satu.
“Serius ini apartemen? Kok kayak gedung udah ditinggalin...” Rian melirik sekeliling, menelan ludah.
Ia menatap papan lift yang tak lagi berfungsi,
"Lift Rusak"
"Huh..." rian refleks menghela napas pendek.
“...Jangan-jangan aku disuruh nganter pizza ke hantu...”
Rian tetap melangkah menuju tangga, suara langkahnya menggema setiap kali ia melangkah di lantai yang berdebu.
Udara makin dingin, tapi keringat malah menetes di pelipis nya.
“Uh... akhirnya sampai juga di kamar 30. Semoga aja yang kutakutkan nggak beneran kejadian,” gumam Rian, mencoba menenangkan diri nya sendiri.
Ia mengetuk pelan pintu itu.
Tok.. tok.. tok...
“Permisi... pizza.. Pizza delivery...” serunya.
Tak ada jawaban dari dalam ruangan.
Suara dari dalam hanya sunyi.
Tapi setelah beberapa detik, telinganya menangkap sesuatu ada suara tangisan pelan, nyaris tak terdengar.
Rian menelan ludah, bulu kuduknya berdiri.
“Jangan bilang... ini beneran ada hantunya,” gumamnya lirih sambil mendekatkan telinga ke daun pintu.
Tiba-tiba, bruk!
Ada suara kursi jatuh dari dalam kamar.
Refleks, Rian mundur setapak, jantungnya berdebar kencang.
Namun pikirannya langsung teringat pada berita-berita yang sering muncul pada berita panas saat ini,
“Pemuda 22 Tahun Ditemukan Tak Bernyawa di Apartemen, Polisi Selidiki Dugaan Bun*h Diri”
KOTA ZUANA – Tetangga menyebut korban sering mengurung diri dan jarang berinteraksi. Polisi tidak menemukan tanda kekerasan dari pihak ketiga.
“Kasus Dugaan Bun*h Diri Kembali Muncul, Karyawan Ritel Ditemukan Tak Bernyawa di Gudang Terbengkalai”
KOTA NAUNA – Rekan kerja mengungkapkan korban mengalami tekanan finansial dan emosional selama beberapa bulan terakhir.
“Mahasiswi 20 Tahun Dilaporkan Meninggal Dunia, Indikasi Awal Mengarah ke Dugaan Bun*h Diri”
KOTA UTARA – Pihak kampus menolak berkomentar. Teman-teman dekat menyebut ia sedang menghadapi tekanan akademik dan biaya kuliah yang menumpuk.
“Pria Paruh Baya Ditemukan Tewas di Halte Bus, Otoritas Sebut ‘Indikasi Bun*h Diri Sangat Kuat’ ”
KAWASAN TIMUR, KOTA BAGHA – Saksi mata menyebut korban sering terlihat duduk sendirian berjam-jam di halte tersebut sebelum kejadian.
“Kasus Bun*h Diri di Kota - Kota Besar Tercatat Meningkat dalam Satu Bulan Terakhir”
LAPORAN KHUSUS – Data sementara kepolisian menunjukkan lonjakan kasus kematian terkait tekanan ekonomi, masalah pekerjaan, dan isolasi sosial sudah berjumlah lebih dari 5.
---
“Jangan-jangan...”
Tanpa berpikir panjang, Rian langsung menghantam pintu itu dengan bahunya.
BRAK!
Pintu terbuka keras, menyingkap pemandangan yang membuat darahnya seketika berdesir.
"ASTAGA…!” Suara itu tercekat di tenggorokannya.
Hal yang di takutkan nya memanglah terjadi di depan matanya.
Seorang gadis berseragam SMA tergantung di tengah kamar, tali menjerat lehernya.
Rian tak sempat berpikir lebih lama.
Ia berlari dan langsung memeluk tubuh gadis itu, mengangkatnya sekuat tenaga untuk melepaskan dari jeratan tali yang semakin menegang.
Namun kakinya terpeleset oleh sesuatu yang licin di lantai, mungkin bingkai foto yang pecah.
“—Aduh!”
Tubuh mereka kehilangan keseimbangan dan terhempas ke belakang.
DUAK!
Mereka jatuh keras ke atas kasur usang di sudut kamar.
Gadis itu menimpa Rian, tubuhnya lemas dan dingin, napasnya tersengal seperti baru ditarik kembali dari ambang.
Bekas merah jeratan di lehernya masih terlihat jelas.
Rian lbangkit setengah duduk, panik namun fokus.
Tangannya bergerak cepat memegang pergelangan tangan gadis itu, mencari denyut nadi.
Beberapa detik terpanjang dalam hidupnya berlalu…
“uhh…” Rian mengembuskan napas lega.
“Masih ada… untung belum telat…”
Ia menatap gadis muda yang kini terbaring di pangkuan nya.
Wajahnya pucat, matanya setengah tertutup, bibirnya bergetar kecil seolah mencoba bernapas.
Rian menepuk pipinya pelan.
“Hey… hey… kamu denger aku?” Ucap Rian, suaranya menurun, lembut, tapi penuh kecemasan.
Belum ada respon, Hanya napas tipis yang naik turun perlahan yang terlihat.
Rian akhirnya memilih diam sejenak. Ia menarik napas panjang, menahan getaran di tangannya, lalu membiarkan kepala gadis itu tetap bersandar di pangkuannya.
Sambil duduk begitu, Rian melirik sekeliling ruangan.
Apartemen itu… Sangat memprihatinkan.
Dindingnya yang dulunya mungkin pink muda kini berubah menjadi pink gelap kusam, ditambah cahaya lampu redup yang berkedip pelan di tengah ruangan.
Beberapa bagian dinding ditumbuhi lumut, seolah tempat itu sudah lama tak disentuh manusia.
Di depan sana, sebuah TV 14 inci model lama bertengger di atas meja kayu yang sudah lapuk, layar tabungnya memantulkan bayangan samar-samar tubuh mereka.
Pemandangan itu membuat Rian merasakan sesuatu mendorong dadanya, campuran iba, heran, dan kemarahan yang tak bisa ia jelaskan.
Ia menunduk lagi pada gadis yang terbaring di pangkuannya, rambut hitamnya tergerai kacau.
Perlahan ia mengusap rambut gadis itu, gerakannya hati-hati, sama seperti ia lakukan untuk menenangkan adiknya saat demam atau ketakutan.
“Udah… udah… kamu aman sekarang…” gumamnya, walau gadis itu belum benar-benar sadar.
Gadis itu mengerjap perlahan.
Matanya yang sembab menatap kosong ke arah langit-langit, sebelum tiba-tiba tubuhnya menegang.
KENAPA?! KENAPA AKU GAGAL LAGI?!” teriaknya, kedua tangan kecilnya memukul-mukul kaki Rian tanpa arah.
Rian tersentak, tak sempat berkata sepatah kata pun ketika gadis itu tiba-tiba bangkit setengah sadar dan berputar panik, seperti sedang melawan bayangan yang hanya dia sendiri yang bisa lihat.
Tubuhnya langsung miring dari tepi kasur springbed tipis itu. Rian cepat bergerak, menangkapnya sebelum ia sempat jatuh ke lantai.
“HEY, pelan, pelan…!” ucap Rian sambil menahan badan nya, mencoba menstabilkan tubuhnya.
Namun gadis itu makin histeris.
“AKU MAU MATI!! AKU MAU MATI!! AKU MAU MATI!!! AKU MAU IKUT MEREKA!!!” jeritnya, suara pecah hingga menggema di kamar redup itu.
Tanpa peringatan.
"KREK.."
Terdengar suara tangan.
Gadis itu langsung menggigit tangan kanan Rian yang berada di dekat wajahnya.
“Aw....!” Teriak Rian.