Doni, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef bagi Naira Adani aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21. LUKA YANG TERSEMBUNYI
..."Di antara aroma roti panggang dan luka yang belum sembuh, dua jiwa belajar bahwa kadang, cara paling lembut untuk mencintai adalah dengan berani membuka luka, bukan untuk diingat, tapi untuk akhirnya disembuhkan bersama."...
...---•---...
Tiga hari setelah kunjungan Rendra, kehidupan di rumah besar di Dago Pakar berubah dengan cara yang halus tapi mendalam. Tidak ada pengumuman dramatis, tidak ada pengakuan cinta yang berapi-api. Hanya pergeseran kecil: cara Naira tersenyum saat melihat Doni di pagi hari, cara tangan mereka berlama-lama ketika menyerahkan piring, cara mata bertemu dan berbicara tanpa suara.
Mereka hati-hati. Sangat hati-hati. Di depan Ratna dan Tuti, mereka tetap menjaga jarak profesional. Tidak ada sentuhan yang tidak perlu, tidak ada percakapan yang terlalu pribadi, tidak ada tatapan yang terlalu lama. Tapi saat rumah sepi, ketika hanya ada mereka berdua di dapur pada jam-jam awal pagi atau larut malam, dunia seperti jadi milik mereka.
Pagi ini, Doni bangun lebih awal dari biasanya. Pukul tiga dini hari, terlalu pagi bahkan untuk seorang koki. Dia terbangun dari mimpi yang sama seperti sebulan terakhir: api. Api merah yang panas dan melahap segalanya. Suara Sari yang berteriak dari dalam gedung yang terbakar, dan dia di luar, tidak bisa masuk, tidak bisa menyelamatkan.
Dia terbangun dengan keringat dingin.
Duduk di tepi tempat tidur, kaosnya basah, napas tersengal. Tangannya gemetar saat menyalakan lampu. Lima tahun sudah berlalu, tapi mimpi buruk itu tidak pernah benar-benar hilang. Hanya tertidur, menunggu momen lemah untuk kembali muncul.
Dia tidak bisa tidur lagi. Tidak setelah mimpi seperti itu. Jadi dia mandi, berganti pakaian, lalu turun ke dapur. Mungkin memasak akan menenangkan. Memasak selalu menenangkan.
Tapi pagi ini, tangannya masih gemetar saat mengupas bawang. Pisau hampir terlepas dua kali. Fokusnya buyar, pikirannya kembali ke malam itu lima tahun lalu.
Dia sedang mencoba menenangkan diri ketika mendengar langkah kaki. Naira turun lebih awal dari biasanya, memakai kardigan krem kebesaran dan legging hitam, rambutnya diikat asal dengan messy bun. Matanya masih sembap, tapi wajahnya khawatir.
"Tidak bisa tidur juga?" tanyanya sambil berjalan masuk. Lalu dia melihat ekspresi Doni, cara tangannya mencengkeram meja dapur. "Doni? Ada apa?"
"Tidak apa-apa. Cuma mimpi buruk." Doni mencoba tersenyum, tapi gagal.
Naira berjalan mendekat, matanya meneliti dengan lembut. "Tentang Sari?"
Doni mengangguk, tidak percaya diri untuk bicara. Suaranya pasti akan pecah.
"Duduk," ucap Naira, menarik kursi di meja dapur. "Aku yang masak pagi ini."
"Kamu tidak perlu..."
"Doni, kamu sudah masak buatku setiap hari selama ini. Sekali ini biar aku gantian, ya?" Naira sudah mengambil celemek dan memakainya dengan gerakan yang kini mulai terbiasa. "Lagi pula, kamu sudah cukup banyak mengajariku. Aku bisa urus sarapan sederhana."
Doni terlalu lelah untuk membantah. Dia duduk dan memperhatikan Naira bergerak di dapur dengan percaya diri yang dulu belum pernah ada. Dia mengambil telur dari kulkas, roti, mentega, lalu melirik bahan lain yang tersedia.
"French toast?" Dia menoleh ke Doni. "Kamu pernah bilang itu comfort food kamu."
"Kamu ingat?"
"Aku ingat semua yang kamu ceritakan." Naira mulai mengocok telur dalam mangkuk, menambahkan susu, vanila, dan sedikit kayu manis. Gerakannya belum seluwes Doni, tapi ada kehati-hatian dan ketulusan di sana. "Ceritakan ke aku. Tentang mimpi buruk itu."
Doni terdiam sejenak, menimbang apakah dia siap membuka luka yang selama ini disembunyikan. Tapi melihat Naira yang sudah berani membuka lukanya sendiri, rasanya tidak adil kalau dia tetap diam.
"Malam itu," suaranya pelan, "kami lagi persiapan tengah malam di restoran pertama kami. Restoran kecil di kawasan Riau, sewa tempat murah karena cuma itu yang kami sanggupi. Bangunan tua, instalasi listriknya juga... ya, seadanya."
Naira mencelupkan roti ke campuran telur sambil memanaskan pan dan menambahkan mentega. Dia fokus, tapi tetap mendengarkan.
"Sari lagi di ruang penyimpanan di belakang, ambil stok bumbu. Aku di dapur depan, lagi persiapan untuk besok. Lalu aku dengar suara kayak ledakan kecil. Listriknya korslet di ruang penyimpanan. Api langsung menjalar, cepat sekali. Bangunannya tua, banyak kayu, bahan-bahan gampang terbakar."
Suara mendesis dari pan berisi roti menyelip di antara keheningan. Naira membalik roti itu perlahan, lembut, tidak ditekan.
"Aku teriak manggil Sari, lari ke belakang. Tapi apinya sudah terlalu besar. Asap hitam tebal, tidak bisa lihat apa-apa. Aku coba masuk, tapi api menutup jalan. Aku dengar dia teriak minta tolong, tapi aku tidak bisa sampai ke sana." Suara Doni mulai bergetar. "Orang-orang narik aku keluar, bilang terlalu bahaya. Pemadam datang sepuluh menit kemudian, tapi sudah terlambat. Waktu mereka menemukan Sari, dia sudah..."
Dia tidak sanggup melanjutkan. Air mata jatuh tanpa permisi, hal yang jarang terjadi. Doni selalu jadi yang kuat, yang tenang. Tapi pagi ini, pertahanannya runtuh.
Naira mematikan kompor, meletakkan spatula, kemudian berjalan ke arah Doni. Tanpa kata, dia memeluk dari belakang. Lengannya melingkar di leher Doni, dagunya bertumpu di bahunya. Hangatnya tubuh Naira terasa menenangkan, aroma sampo lavendernya samar.
"Itu bukan salahmu," bisiknya. "Kamu tidak bisa tahu listrik bakal korslet. Kamu tidak bisa kendalikan api. Kamu tidak bisa masuk ke neraka api itu dan tetap hidup."
"Tapi aku yang selamat. Kenapa aku, bukan dia?" Doni menutup mata, menikmati hangatnya pelukan Naira walaupun dadanya masih sesak. "Dia koki yang lebih baik. Orang yang lebih baik. Kenapa dunia memilihku, bukan dia?"
"Karena dunia tidak bekerja seperti itu. Tidak ada yang pantas atau tidak pantas. Tragedi terjadi, acak, tanpa alasan." Naira mengeratkan pelukannya. "Dan kamu selamat bukan buat menyiksa diri dengan rasa bersalah. Kamu selamat buat meneruskan apa yang kalian mulai. Buat menghormati memorinya dengan terus hidup."
"Aku tidak tahu gimana caranya hidup tanpa rasa bersalah."
"Dengan mengizinkan diri kamu bahagia lagi. Dengan percaya kalau maju bukan berarti mengkhianati." Naira melepas pelukan, berjalan ke depan Doni, lalu berlutut agar mata mereka sejajar. "Doni, boleh aku lihat luka di punggungmu?"
Doni membeku. Luka bakar di punggungnya adalah rahasia yang selalu dia simpan. Dia selalu mengenakan kemeja panjang, bahkan di dapur yang panas. Tidak ada yang pernah melihatnya kecuali dokter dan Sari dulu.
"Kenapa?"
"Karena aku mau tahu. Karena luka itu bagian dari ceritamu, dan aku mau tahu semua ceritamu." Tatapan Naira lembut tapi tegas. "Kamu sudah lihat lukaku. Yang dari Rendra. Sekarang adil kalau aku lihat lukamu."
Doni ragu, tapi ada sesuatu di mata Naira yang membuatnya merasa aman. Perlahan, dia berdiri, melepas kemejanya. Kaos putih di bawahnya dia lepaskan juga, lalu berbalik membelakangi Naira.
Dia mendengar Naira menarik napas pelan.
...---•---...
...Bersambung...