NovelToon NovelToon
Tuan Muda Kami, Damien Ace

Tuan Muda Kami, Damien Ace

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Romansa / Persaingan Mafia
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.

Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.

Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.

Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.

Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.

Kunci aku dalam labirin.

Kurung aku di dalam sangkar.

Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!

Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.

Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.

- Damien Ace -

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 Terlambat

Daisy menolak dirawat. Dengan mata merah dan tubuh gemetar, ia bersikeras turun dari tempat tidur, yakin bahwa dirinya baik-baik saja dan ingin menunggu Ayahnya.

Begitu melihat Edgar dan Pak Frans berdiri di depan ruang operasi, ia langsung berlari ke arah Edgar dan memeluk kakinya dengan erat.

Edgar mengangkatnya ke pelukannya, menggendong Daisy sambil lembut mengusap punggungnya. “Ayahmu pasti akan baik-baik saja,” ujarnya menenangkan.

“Aku … aku yang salah. Kalau aku tidak lari, Ayah tidak akan mengejarku ….” Suara Daisy gemetar, penuh rasa bersalah.

“Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi, dan setiap orang punya cara mereka sendiri melampiaskan kemarahan,” jawab Edgar, menatap mata anak itu dengan lembut. “Tapi lain kali, jangan lari ke jalan seperti itu, oke? Itu sangat berbahaya.”

Daisy hanya bisa mengangguk, tapi tangisnya belum berhenti.

“Ed,” panggil Rayyan dari sisi lain. Edgar menoleh, hanya menganggukkan kepala sebagai isyarat. Mereka berdua tahu, sampai Nic datang ke rumah di jam seperti ini, sudah pasti mereka bisa menebak apa yang terjadi di Regalsen.

“Damien sudah meninggalkanku … aku tidak mau kehilangan Ayah ….” Kata-kata Daisy menusuk hati Edgar, membuat dada pria itu sesak.

“Nyonya juga mengalami keguguran,” tambah Rayyan, suaranya berat. “Ed, aku tidak bisa membiarkannya di sana seorang diri.”

Edgar menatap serius. “Ya, Pak. Saya bisa di sini menjaga Tuan. Anda segeralah pergi ke Regalsen.”

Rayyan menoleh ke Daisy, menawarkan pilihan lembut. “Daisy, kau bisa ikut denganku atau tetap di sini.”

Daisy menegakkan kepalanya, mengusap pipi basahnya, matanya tertuju pada pintu ruang operasi. “Aku … aku akan menunggu Ayah. Ayah terluka karena menyelamatkanku, aku tidak bisa meninggalkannya.”

Meski begitu, dalam hatinya juga ada keinginan untuk melihat Damien dan Ibunya. Tapi rasa bersalah karena kata-kata kerasnya kepada Ayah membuatnya takut, seolah kecelakaan Ayahnya adalah akibat dari kemarahannya.

“Kau yakin?” Rayyan bertanya sekali lagi.

Daisy mengangguk mantap. “Aku akan menunggu Ayah … dan pergi bersamanya nanti.”

 Rayyan pun bergegas, ditemani Manda. Dini hari itu mereka terbang ke Regalsen dengan helikopter perusahaan, meninggalkan Daisy yang tetap berada di sisi Alex, bersama Edgar.

Sementara itu di rumah sakit, Nic masih berjuang menyelamatkan nyawa Alex. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Setelah berjam-jam yang menegangkan, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Wajah Nic tampak pucat dan lelah, seragamnya berlumuran keringat dan noda darah.

“Di mana Rayyan?” tanyanya segera, menatap Edgar yang berdiri di luar ruang operasi.

“Setelah mendengar kabar itu, dia langsung pergi ke Regalsen,” jawab Edgar cepat. “Bagaimana keadaan Tuan?”

Nic menarik napas dalam, menunduk sebentar, lalu berkata dengan suara berat, “Operasinya berhasil … tapi dia masih kritis. Kita belum bisa terlalu lega.”

Daisy yang sejak tadi menunggu di sudut ruangan mendongak pelan. Wajahnya sembab, matanya merah, rambutnya berantakan. Suaranya bergetar saat bertanya, “Apa aku bisa melihat Ayah?”

Nic menatapnya penuh iba. Gadis itu sudah kehilangan kekuatan, hanya air mata yang tersisa.

“Tunggu sebentar lagi, ya. Ayahmu masih harus dipantau ketat. Belum bisa dijenguk sekarang.”

“Tapi aku ingin bertemu dengannya … aku ingin meminta maaf,” lirih Daisy, suaranya hampir tenggelam oleh isakan yang ia tahan.

Nic menepuk bahunya dengan lembut. “Aku tahu. Beri Ayahmu waktu sedikit lagi, Daisy. Aku janji, kalau sudah memungkinkan, aku sendiri yang akan membawamu menemuinya.”

Daisy mengangguk lemah. Ia akhirnya terkulai di sofa, menggenggam erat ponsel Edgar—ponsel yang tadi ia gunakan untuk meninggalkan pesan pada Rayyan.

Kelopak matanya berat, napasnya teratur, dan dalam kelelahan yang panjang, ia tertidur tanpa sadar.

Tak lama kemudian, Nic masuk kembali ke ruang kerjanya. Edgar masih di sana, menatap Daisy yang terlelap.

“Kau sudah menyelidiki mobil yang menabrak Alex?” Nic bertanya pelan, menurunkan masker yang masih menggantung di wajahnya.

“Kepolisian sudah menghubungiku,” jawab Edgar. “Pengendaranya mabuk. Mereka sudah mengambil alih kasus itu.”

Nic mengangguk lemah. “Bagus kalau begitu. Aku belum sempat mengecek ponsel sama sekali.” Ia duduk, mengusap wajahnya yang tampak sangat letih. “Keadaan Alex … aku bahkan tidak sanggup menjelaskannya. Aku hanya bisa berharap dia bertahan.”

“Pak Rayyan akan memberi kabar tentang Regalsen,” ujar Edgar. “Fokus saja dulu pada Tuan.”

Nic mengangguk pelan. “Nelly akan datang ke sini. Kalau Daisy bangun, biarkan dia pulang dan beristirahat. Aku tak tega melihat anak sekecil itu menunggu dalam keadaan begini.”

Setelah itu, Nic kembali ke ruang perawatan Alex.

Beberapa waktu kemudian, Nelly datang. Ia duduk di samping sofa dan menatap Daisy yang baru terbangun dengan mata bengkak.

“Daisy, kau seharusnya pulang dan beristirahat di rumah,” bujuk Nelly lembut.

“Aku tidak mau. Aku ingin menunggu sampai Ayah bangun,” jawab Daisy pelan, tapi tegas.

“Tidak apa-apa kalau kau tetap di sini, tapi setidaknya makanlah sedikit. Kau belum menyentuh apa pun sejak pagi.”

“Aku tidak lapar,” desis Daisy.

Nelly hanya bisa menghela napas. Gadis itu keras kepala, tapi siapa pun yang melihat matanya akan tahu: ia sudah kehilangan seluruh tenaga.

“Tidak apa-apa kalau kau tetap di sini,” kata Nelly lembut. “Tapi setidaknya kau juga harus makan. Kau belum sarapan sejak tadi.”

“Aku tidak lapar,” sahut Daisy pelan, pandangannya kosong menatap ponsel di tangannya.

“Daisy, kau tidak bisa terus seperti ini. Tubuhmu perlu tenaga,” bujuk Nelly lagi.

Namun Daisy tetap menggeleng. Ia tak sanggup menelan apa pun. Seluruh pikirannya hanya dipenuhi rasa bersalah dan kecemasan. Kedua tangannya tak lepas dari ponsel Edgar—menunggu panggilan dari Rayyan yang tak kunjung datang.

Seharusnya mereka sudah tiba … kenapa belum juga menghubungi?

Di Regalsen …..

Helikopter mendarat di rooftop rumah sakit dengan hentakan keras. Rayyan segera turun, diikuti Manda yang masih menahan rasa khawatir. Begitu menginjakkan kaki, ia langsung mencari Elly.

“Elly! Di mana Nyonya?”

Elly yang menunggu di depan ruang perawatan berdiri tergesa. “Beliau belum sadarkan diri sejak tadi, Pak.”

Manda memegang lengan suaminya, mencoba menenangkan. “Aku akan di sini, kau pergilah melihat Damien.”

Rayyan mengangguk singkat dan bergegas pergi, sementara Manda menuntun Elly ke sofa. “Ceritakan semuanya dari awal, Bi. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?”

Elly menelan ludah, suaranya bergetar ketika mulai menjelaskan. “Saya sendiri bingung. Kemarin sore Nyonya datang dengan wajah pucat dan tampak sangat lelah. Saya sempat membuatkan bubur, lalu beliau tertidur di sofa.”

Ia berhenti sebentar, menunduk sebelum melanjutkan, “Sekitar tengah malam, Tuan menelepon saya, meminta saya menjaga Nyonya dengan baik. Beberapa jam setelah itu, Nyonya mendapat telepon dari rumah sakit. Sopir Tuan datang menjemput, dan kami segera berangkat. Tapi saat tiba, Nyonya langsung berlari masuk, saya tidak bisa mengejarnya.”

Manda memegang tangannya. “Lalu apa yang terjadi di rumah sakit?”

“Perawat mengatakan.” Suara Elly semakin gemetar. “Saat mereka hendak mengurus jenazah Tuan Muda Damien … ada seorang wanita datang dengan menyamar sebagai perawat. Ia membawa senjata tajam.”

Manda membeku, menatapnya tak percaya.

“Wanita itu hampir berhasil mengambil tubuh Tuan Muda, tapi untungnya ketahuan lebih dulu. Sayangnya, perawat yang berjaga saat itu … meninggal dunia karena beberapa luka tusuk,” ucap Elly lirih, matanya mulai berkaca-kaca.

“Ya Tuhan ….” Manda menutup mulutnya, bulu halus di tengkuknya meremang.

“Ketika wanita itu melarikan diri, Nyonya baru keluar dari lift. Entah bagaimana, wanita itu berhasil menahannya di dalam lift. Saat kami menemukannya kemudian … Nyonya sudah tak sadarkan diri dan mengalami pendarahan hebat.”

Wanita itu pasti Laura.

Kata-kata itu meluncur pelan dari benak Manda, tapi gaungnya terasa berat. Hening panjang menyusul setelahnya.

Manda menunduk, mengusap wajahnya yang dipenuhi kebingungan dan rasa ngeri. Semuanya terasa terlalu beruntun, terlalu rapi — seolah ada tangan tak terlihat yang sudah menyiapkan setiap langkah tragedi ini jauh sebelumnya.

Dan kalau benar Laura dalangnya, maka dia tidak mungkin bekerja seorang diri.

“Lalu bagaimana dengan wanita itu?” tanya Manda akhirnya, suaranya tegang. “Apa mereka sudah menangkapnya?”

Elly menggeleng lemah. “Belum. Dia menghilang entah ke mana. Mereka sudah menutup semua akses keluar dan memeriksa setiap pintu masuk rumah sakit, tapi tak ada seorang pun yang cocok dengan ciri-cirinya.”

“Artinya dia masih di rumah sakit ini?”

“Saya tidak tahu. Rumah sakit ini terlalu besar, terlalu ramai. Siapa pun bisa bersembunyi di sini.”

Tentu saja — ini Regalsen Medical Center, pusat medis terbesar dengan arus manusia yang tak pernah berhenti.

Dan Laura … dia bukan orang baru dalam hal seperti ini.

“Jadi … kematian Damien juga karena dia?” Manda menatap Elly tajam.

Elly menggeleng lagi, cepat. “Tidak. Mereka bilang Tuan Muda meninggal sebelum wanita itu muncul. Jantungnya berhenti berdetak begitu saja.”

“Manda! Manda!”

Suara panik memecah ruangan. Rayyan masuk tergesa dengan wajah pucat. Manda tak pernah melihat pria itu setegang ini.

“Ada apa, Ray?”

“Damien ….” Napas Rayyan tersengal. “Damien sudah dikremasi.”

“A—apa?” Mata Manda membulat. Ia sontak berdiri dari kursinya. “Bagaimana bisa?”

“Mereka bilang mendapat perintah langsung dari Alex.”

“Tidak mungkin! Bagaimana mereka bisa melakukannya sementara ibunya bahkan belum sadar?”

“Aku juga tidak tahu.” Rayyan menatapnya, suaranya gemetar. “Mereka sudah menyimpan abunya. Katanya, menunggu Alex mengambilnya sendiri.”

Elly menatap keduanya dengan mata melebar, suaranya nyaris terputus, “Pak … saya benar-benar tidak tahu soal ini. Mereka bilang akan ‘mengurus jenazah Tuan Muda’ sampai Tuan datang. Saya kira maksudnya hanya menyiapkan ruang persemayaman, bukan sampai … sampai sejauh itu. Demi Tuhan, Pak, kalau saya tahu, saya pasti akan menahannya sampai Nyonya sadar.”

Manda hendak menjawab, tapi suara lirih membuat mereka semua menoleh.

“... Damien ….”

Eve mengigau. Bibirnya bergetar, wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya.

“Eve?” Manda segera menghampiri, menggenggam tangan sahabatnya erat. “Eve, kau mendengarku? Ini aku, Manda.”

Kelopak mata Eve bergerak, perlahan membuka. Pandangannya kabur, namun wajah Manda segera ia kenali. Potongan kejadian semalam berkelebat di kepalanya seperti kilatan petir.

“Manda … di mana Damien?” Suaranya parau, tubuhnya berusaha bangkit, tapi ia langsung meringis kesakitan.

“Jangan bergerak dulu, Eve. Tenangkan dirimu—”

Eve menatap perutnya dengan gemetar. “Anakku … apa calon bayiku selamat?”

Elly menunduk. Tak ada jawaban, hanya keheningan yang memecah hati. Air mata mulai menetes di pipi Eve.

“Manda ….” Suaranya pecah. “Tolong bawa aku ke Damien. Aku ingin melihatnya.”

Manda menggigit bibirnya, suaranya nyaris tak keluar. “Eve … aku minta maaf. Kami terlambat datang. Mereka—mereka sudah mengkremasi Damien.”

“Apa?”

Wajah Eve memucat seketika. Napasnya tertahan, dan untuk sesaat dunia di sekitarnya seolah berhenti.

“Tidak, itu tidak mungkin ….” Suaranya bergetar, hampir tidak terdengar. “Di mana Alex? Aku harus menemuinya.”

“Tuan ….” Rayyan menunduk. “Dia mengalami kecelakaan sebelum sempat ke sini. Saat saya tinggalkan, dia masih di ruang operasi. Kami belum tahu bagaimana keadaannya.”

Eve menatap mereka dengan pandangan kosong. Dalam sekejap, seluruh warna di wajahnya lenyap. Sesuatu di dadanya seperti remuk.

Sakit. Sangat sakit.

Ia menggenggam dada kirinya, berusaha menarik napas, tapi udara terasa berat dan jauh.

“Eve! Eve!” Manda berteriak panik. “Ray! Panggil dokter, cepat!”

***

1
Dheta Berna Dheta Dheta
😭😭😭😭
Idatul_munar
Gimana ayah nya tu..
Arbaati
hadir Thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!