Alya, gadis kelas 12 yang hidup sederhana, terkejut saat mengetahui ayahnya terlilit hutang besar pada Arka Darendra — CEO muda paling berpengaruh di kota itu.
Saat debt collector hampir menyeret ayahnya ke polisi, Arka datang dengan satu kalimat dingin:
“Aku lunasi semuanya. Dengan satu syarat. Putrimu menjadi istriku.”
Alya menolak, menangis, berteriak—tapi ayahnya memaksa demi keselamatan mereka.
Alya akhirnya menikah secara diam-diam, tanpa pesta, tanpa cinta.
Arka menganggapnya “milik” sekaligus “pembayaran”.
Di sekolah, Alya menyembunyikan status istri CEO dari teman-temannya.
Di rumah, Arka perlahan menunjukkan sisi lain: posesif, protektif, dan… berbahaya.
Mereka tinggal seatap, tidur sekamar, dan gairah perlahan muncul—walau dibangun oleh luka.
Konflik berubah ketika masa lalu Arka muncul: mantan tunangan, dunia bisnis yang penuh ancaman, dan rahasia gelap kenapa ia sangat tertarik pada Alya sejak awal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Hari Ketika Alya Jatuh Sakit
Meskipun Alya telah diisolasi dari kehidupan sekolah, ia diizinkan untuk menghadiri acara-acara penting yang bersifat non-sosial, seperti ujian akhir semester atau upacara kelulusan, asalkan ia ditemani oleh setidaknya dua pengawal dan tentu saja, Jeevan. Ini adalah kebijakan yang ditetapkan Arka, memastikan Alya tetap mendapatkan gelarnya sambil mempertahankan kontrol mutlak.
Hari itu, suasana di luar sangat buruk. Badai petir yang hebat telah melanda kota sejak dini hari. Alya, yang tidurnya terganggu oleh gejolak emosi dan ancaman yang mengintai di luar, merasa sangat lelah. Di dalam villa, suhu AC terlalu dingin, dan Alya lupa mengenakan pakaian yang cukup hangat setelah Arka memaksanya bangun pagi-pagi sekali.
Saat Arka pergi ke kantor, ia mencium kening Alya, yang terasa sedikit hangat.
“Kau demam?” tanya Arka, nadanya mengandung perintah, bukan kekhawatiran.
“Tidak, Tuan Arka. Mungkin hanya lelah. Saya sudah belajar terlalu keras,” jawab Alya, menjaga nadanya patuh. Dia tidak ingin sakitnya menjadi alasan Arka untuk semakin mengurungnya.
Arka menyipitkan mata, tetapi dia sedang terburu-buru. “Jika kau merasa sakit di kantor, segera beritahu Jeevan. Aku tidak mengizinkanmu sakit, Alya.”
Di tengah hari, Alya harus menghadiri ujian praktik bahasa Inggris di sekolah lama. Arka tidak bisa menemaninya, tetapi dua pengawal baru (yang Arka sewa setelah ancaman Tanaya) dan Jeevan ada di sana.
Saat Alya sedang berjalan di koridor sekolah menuju ruang ujian, rasa pusing yang hebat melandanya. Rasa sakit di kepalanya, ditambah dengan stres yang menumpuk selama dua minggu terakhir, akhirnya menuntut bayarannya. Dunia di sekelilingnya mulai berputar.
Alya mencoba berpegangan pada dinding, tetapi tubuhnya tidak merespons. Dia oleng.
Jeevan, yang biasanya cepat bereaksi, saat itu sedang berbicara di telepon dengan Arka di ujung koridor. Kedua pengawal itu berdiri agak jauh, berusaha tidak menarik perhatian.
Tiba-tiba, Deo muncul dari sudut. Ia masih marah pada Alya, tetapi instingnya melihat Alya dalam bahaya.
Deo berlari dan menangkap Alya tepat sebelum dia jatuh ke lantai. Deo memeluk Alya, tubuh Alya lemas di lengannya.
“Alya! Ada apa? Kau baik-baik saja?” panik Deo, memeluk Alya erat untuk menahan berat badannya.
Saat itulah, Jeevan menyelesaikan panggilan teleponnya dan melihat pemandangan itu. Jeevan bergegas, tetapi sudah terlambat.
Alya, setengah sadar, bergumam. “Dingin… Arka…”
Deo, yang mengira Alya kedinginan, segera membuka jaket sekolahnya dan menyampirkannya ke bahu Alya, memeluknya lebih erat lagi.
Jeevan mendekat dan segera melaporkan apa yang terjadi kepada Arka melalui earpiece miliknya.
“Tuan, Nyonya Darendra pingsan, tetapi dia baik-baik saja. Seorang siswa, Tuan Deo, menahannya. Dia sedang… memeluk Nyonya.”
Di kantor pusat Darendra Group, Arka sedang dalam pertemuan penting dengan Dewan Direksi. Mendengar kata-kata 'pingsan' dan 'memeluk' dalam satu kalimat, darah Arka seolah mendidih. Dia menggebrak meja, membuat semua direktur terdiam.
“Batalkan semua. Segera siapkan mobilku. Aku harus pergi,” perintah Arka, suaranya tajam dan berbahaya.
Adegan Kecemburuan Berat
Arka tiba di sekolah sepuluh menit kemudian. Dia melanggar semua batas kecepatan, mengabaikan polisi lalu lintas, dan mobilnya melaju langsung ke gerbang sekolah.
Ketika Arka masuk ke koridor, dia melihat pemandangan yang paling ia benci: Alya bersandar tak berdaya di bahu Deo, jaket Deo membalut bahu Alya. Deo sedang menyentuh wajah Alya dengan lembut.
Arka tidak bisa mengendalikan amarahnya. Dia tidak melihat kelelahan Alya; dia hanya melihat Deo menyentuh miliknya.
Arka berjalan seperti badai. Dia meraih kerah jaket Deo dengan satu tangan, menarik Deo menjauh dari Alya dengan kekuatan yang mengejutkan, dan membenturkan Deo ke dinding koridor.
“Siapa yang memberimu izin untuk menyentuh istriku, bocah sialan?” desis Arka, matanya gelap karena cemburu dan marah.
Deo terkejut dan kesakitan. “Dia sakit! Dia pingsan! Saya hanya membantunya!”
“Membantu?” Arka mencibir. “Aku tidak butuh bantuanmu! Aku adalah suaminya, dan aku yang bertanggung jawab atas keselamatannya! Kau melanggar peringatanku!”
Jeevan dan kedua pengawal segera melerai, tetapi Arka menolak melepaskan Deo.
“Tuan Arka, dia adalah istri Anda. Anda harus mengurus Nyonya Alya dulu,” bisik Jeevan, berusaha menenangkan bosnya.
Arka melepaskan Deo, mendorongnya hingga terjatuh. Deo menatap Arka dengan kebencian dan rasa takut.
Arka beralih ke Alya, mengangkat Alya ke pelukannya. Alya membuka mata sedikit dan melihat wajah Arka yang penuh amarah.
“Kau sengaja memancingnya, Alya? Kau ingin aku menghancurkan hidupnya?” Arka membisikkan ancaman itu di telinga Alya, sebelum berbalik dan membawa Alya keluar dari sekolah, meninggalkan Deo dan kerumunan siswa yang ketakutan.
Kedekatan Emosional yang Meningkat
Setibanya di villa, Arka membawa Alya ke ranjang. Dia memanggil dokter pribadi keluarga Darendra. Setelah diperiksa, Alya didiagnosis menderita demam tinggi dan kelelahan akut—kombinasi stres dan kurang tidur.
Setelah dokter pergi, dan Alya sudah tertidur di bawah selimut tebal, Arka duduk di samping tempat tidur.
Arka menatap wajah Alya yang pucat. Semua amarah dan kecemburuannya mereda, digantikan oleh ketakutan yang dingin. Dia menyadari, obsesinya terhadap kepemilikan telah membuatnya mengabaikan kesehatan Alya.
Arka menyentuh kening Alya yang terasa panas. Rasa bersalah yang asing menyelimutinya.
Dia kemudian melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan. Dia menyuruh semua staf keluar dan mengambil kompres dingin. Dengan tangannya sendiri, Arka mulai merawat Alya.
Dia mengganti kompres di kening Alya secara teratur. Dia menyendokkan bubur hangat ke mulut Alya yang setengah sadar. Dia memastikan selimutnya tidak terlalu tebal atau terlalu tipis.
Saat malam semakin larut, Alya sedikit sadar. Dia membuka mata dan melihat Arka duduk di kursi samping, dengan setelan jasnya yang mahal kini sedikit kusut, membaca buku sambil mengawasi Alya.
“Tuan Arka?” panggil Alya, suaranya lemah.
Arka segera mendekat. “Kau butuh sesuatu? Minum?”
“Mengapa Anda tidak tidur?”
“Aku tidak bisa tidur, Alya. Aku tidak bisa tidur saat aset terpentingku dalam bahaya,” jawab Arka, nadanya kembali ke logikanya yang dingin, tetapi ada kelembutan yang tidak bisa ia sembunyikan.
“Saya bukan aset, Tuan Arka,” balas Alya, dengan sedikit keberanian.
Arka tersenyum kecil. “Ya, kau bukan. Kau adalah duniaku. Dan aku tidak mengizinkan duniaku sakit. Maafkan aku, Alya. Aku terlalu fokus pada… hal lain. Aku mengabaikanmu.”
Ini adalah pengakuan kerentanan Arka yang paling jujur. Dia tidak meminta maaf karena marah pada Deo, tetapi dia meminta maaf karena mengabaikan Alya.
Arka membelai pipi Alya. Sentuhannya kali ini tidak menuntut atau posesif. Itu murni kelembutan.
“Tidurlah, Istriku. Aku di sini. Aku akan menjagamu sepanjang malam. Jangan takut,” bisik Arka.
Alya menutup matanya. Ia merasakan tangan Arka menggenggam tangannya yang lemah. Genggaman itu kini terasa berbeda. Itu masih kuat, tetapi kini terasa seperti jangkar, bukan rantai.
Kedekatan emosional antara mereka meningkat secara tak terduga. Alya membenci Arka, tetapi di tengah kelemahannya, sentuhan dan perhatian Arka terasa seperti surga, kehangatan yang ia butuhkan setelah lama hidup dalam ketakutan.
Malam itu, Arka Darendra si CEO dingin, merawat Alya seperti harta karun paling berharga yang ia miliki, dan Alya membiarkan dirinya bergantung padanya, bahkan untuk sesaat melupakan bahwa ia adalah tawanannya.