novel fiksi yang menceritakan kehidupan air dan api yang tidak pernah bersatu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Syihab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Denyut di Dalam Retakan
Ledakan terakhir meruntuhkan sebagian kubah air, membuat pusaran besar mengamuk dan mengisap apa pun yang tak berpegangan kuat. Cai dan Sena terombang-ambing oleh tekanan arus yang tak lagi mengikuti hukum air biasa. Getaran dari retakan dimensi terasa seperti detak jantung raksasa yang menggema ke seluruh ruang, menggetarkan tulang-tulang mereka.
Cai meraih tangan Sena dan menariknya ke posisi yang lebih aman. “Kau bisa berdiri?”
Sena mengatupkan rahang meski wajahnya menegang menahan sakit dari luka di bahunya. “Bisa… tapi jangan terlalu jauh dariku.”
Sena memang terluka parah, tetapi tatapannya masih penuh tekad. Luka itu membuat tubuhnya lebih rapuh di tempat yang sudah melemahkan api, tetapi ia tetap menahan diri untuk tidak tumbang.
Laksana mendekat dengan langkah tertatih-tatih. “Cai, resonansimu bekerja. Retakan itu merespons. Tapi selagi Ratu Biru mengalirkan energi primordial, retakan tidak akan bisa ditutup sepenuhnya.”
Cai menatap retakan itu. Cahaya dari dalam semakin kuat. Dan mata tanpa iris di balik retakan kini bergerak lebih aktif, seolah menyadari bahwa dunia di luar sedang terancam memeliharanya.
“Kita harus menghentikan Ratu Biru…” bisik Cai.
Lyra mengangguk. “Tapi bagaimana? Dia menyatu dengan arus tempat ini. Kekuatan kita semua terkuras.”
Sena melangkah ke depan. “Aku akan mengalihkan perhatiannya. Kalian fokus pada retakannya.”
Cai langsung menariknya kembali. “Tidak! Kau sedang terluka.”
Sena menatapnya dengan mata penuh api, tapi bukan api kekuatan api tekad. “Justru karena terluka, aku tidak punya waktu untuk berhenti. Jika retakan itu terbuka lebih jauh, tidak ada luka, tidak ada obat, tidak ada dunia yang akan tersisa.”
Cai terdiam.
Keheningan beberapa detik di antara mereka berbicara lebih banyak dari kata-kata.
Laksana menepuk bahu Cai. “Biarkan dia. Ini pertarungan yang membutuhkan keberanian dari dua dimensi, bukan hanya satu.”
Ratu Biru mengangkat kedua tangannya ke udara dan badai air di sekelilingnya terbelah. Lautan itu seperti membungkuk pada kehendaknya. “Kalian masih mencoba menutup retakan ini? Kalian tidak tahu apa yang sedang kalian lawan!”
Sena melangkah maju, meski tubuhnya miring sedikit karena tekanan.
“Kau juga tidak tahu apa yang kau buka!” teriak Sena. “Kekuatan itu bukan untuk siapapun!”
Ratu Biru menatap Sena dengan mata dingin yang seperti memotong. “Kekuatan tidak peduli siapa pemiliknya. Ia tunduk pada siapa yang berani meraihnya.”
Sena meremas tangannya, mencoba memanggil api. Ada sedikit percikan sangat kecil tapi cukup membuat Cai melihat bahwa api Sena tidak mati sepenuhnya. Itu cukup untuk memberi Cai harapan.
Ratu Biru kembali menyalurkan energi ke retakan. Cahaya biru gelap yang menyelimuti tubuhnya berubah menjadi spiral simbol-simbol tua yang tak pernah dilihat siapapun. Bahkan Laksana, yang mengenal sejarah jauh dimensi air, tampak tidak mengenali bentuk simbol itu.
Lyra berbisik, “Itu… bukan tulisan dari dunia manapun.”
Laksana menjawab lirih, “Itu bahasa unsur sebelum dimensi. Tidak ada yang seharusnya bisa mengucapkannya.”
Cai menarik napas dalam-dalam. “Kalau begitu kita harus menghentikannya sekarang.”
Tanpa menunggu lagi, Cai meraih tangan Sena. “Kita melakukannya bersama.”
Sena tersenyum samar, meski wajahnya pucat. “Selalu.”
Mereka maju.
Ratu Biru melambaikan tangan dan seketika air di depan mereka berubah menjadi puluhan tombak cair. Tombak-tombak itu melesat seperti panah.
Lyra melompat maju, menciptakan pusaran angin yang meski lemah cukup untuk membelokkan arah tombak-tombak itu. Namun beberapa masih lolos.
Cai mengangkat tangan, menciptakan perisai air kecil dengan resonansi yang baru ia kuasai. Tombak-tombak itu menghantam perisai, retakannya menyebar di permukaan perisai seperti kaca ditekan.
“Cai! Fokus pada inti resonansi itu!” Laksana meneriakkan instruksi meski suaranya hampir tenggelam oleh suara badai. “Jangan hanya menahan serangan! Kendalikan tekanannya!”
Cai memejamkan mata.
Ia merasakan air di sekelilingnya—air yang menolak, air yang ingin menyerap, air yang kehilangan arah. Ia merasakan ketakutan Sena, hembusan napas Lyra, tekanan retakan, dan di balik semua itu… sesuatu lainnya.
Arus yang lebih besar.
Arus yang memanggilnya.
Cai membuka mata, dan cahaya biru lembut memancar dari tubuhnya.
Senas mengambil napas pendek. “Kau… bersinar.”
“Ini bukan cahaya,” jawab Cai, suaranya dalam. “Ini arus hidup. Aku hanya membiarkannya keluar.”
Dengan satu gerakan tangan, Cai memutar arus kecil ke arah tombak-tombak yang tersisa. Arus itu membungkuk dan melilit tombak-tombak air, menguraikannya kembali menjadi air biasa.
Lyra terpaku. “Dia benar-benar mengendalikan inti lautan ini…”
Ratu Biru menyipitkan mata. “Menarik. Tapi itu tidak cukup untuk menghentikanku.”
Ia menjentikkan jarinya.
Retakan meledak dengan cahaya yang lebih besar—dan mata yang ada di dalam retakan itu kini membuka lebih lebar, membuat air bergetar dengan nada rendah. Suara itu tidak terdengar oleh telinga, tetapi terasa oleh tulang.
Cai menggigit bibir. “Sena, kita harus menahan retakan itu, atau dunia akan… pecah.”
Sena mengangguk. “Aku ikut bersamamu.”
Mereka maju bersama.
Ratu Biru mengangkat tangan sekali lagi, memanggil bulatan besar air hitam pekat yang berputar seperti tinta hidup. Bulatan itu melesat ke arah mereka berdua.
Sena melompat ke depan, tubuhnya menyala dengan api yang meski kecil, cukup untuk menguapkan sebagian dari bulatan itu. Benturan energi menciptakan ledakan uap yang memaksa mereka mundur.
“Sena!” teriak Cai.
“Aku baik!” Sena berdiri meski goyah. “Lanjutkan!”
Cai menembus sisa pusaran itu dan mengarahkan kedua tangannya pada retakan. Resonansi biru dari tubuhnya mengalir ke celah garis cahaya itu.
Retakan bergetar keras.
Suara dari dalamnya mengerang bukan suara makhluk, tetapi suara perpecahan alam.
Ratu Biru mengertakkan gigi. “Tidak! Kau tidak akan menutupnya!”
Ia mengeluarkan seluruh energi primordialnya. Lautan di sekitar mereka menjadi hitam.
Lyra jatuh berlutut. “Energinya… terlalu besar…”
Laksana mencoba mempertahankan perlindungan kecilnya, tetapi tongkatnya sudah retak-retak. “Cai… Sena… cepat!”
Air dan cahaya saling bertabrakan. Ruang itu bergetar seolah seluruh dimensi sedang diremas.
Cai terus menahan, meski tubuhnya mulai bergetar keras. Sena melindungi punggungnya, menghadang serangan Ratu Biru dengan tubuhnya sendiri ketika api tak lagi bisa dipanggil.
“Kau tidak bisa sendiri!” teriak Sena.
“Dan aku tidak sendirian!” jawab Cai keras.
Cai memfokuskan seluruh arus jiwanya.
Dalam sekejap, resonansi itu menyebar. Cahaya biru putih menyelubungi tubuhnya dan Sena. Gelombang energi itu menembus retakan, menekan kekuatannya.
Ratu Biru menjerit marah campuran kemarahan dan ketakutan.
“Berhenti! Itu kekuatan yang tidak bisa kau kendalikan!”
Cai menatapnya tanpa gentar. “Kau benar. Ini kekuatan yang tidak bisa dikendalikan oleh siapa pun yang tidak memiliki hati yang stabil. Itulah yang membedakan kita.”
Getaran semakin kuat.
Retakan mulai menutup perlahan.
Mata di balik retakan itu bergerak panik. Cahaya memudar.
Ratu Biru melemparkan serangan terakhir—tombak air hitam yang mematikan.
Sena memeluk Cai dari belakang.
“Aku peganganmu… jangan lepaskan.”
Cai menggenggam tangan Sena. “Tidak akan.”
Cahaya biru dari resonansi meluas, menciptakan perisai bulat yang menghancurkan tombak itu sebelum menyentuh mereka.
Dalam ledakan terakhir, retakan itu mengerut, menyusut, dan…
Menutup sepenuhnya.
Suara bergema hilang seketika.
Ketenangan kembali.
Ratu Biru terhuyung. Jubahnya meredup. Matanya melebar tak percaya.
“T-tidak… bagaimana bisa…?”
Cai berdiri tegap meski lelah. “Kau tidak mengerti apa itu resonansi. Itu bukan kekuatan. Itu hubungan.”
Sena menepuk bahu Cai dari belakang, meski ia sendiri hampir pingsan. “Dan hubungan lebih kuat dari ambisi siapapun.”
Air hitam yang mengelilingi Ratu Biru berubah menjadi biasa. Energinya runtuh.
Namun tiba-tiba…
Dari tempat retakan itu, muncul denyut kecil seperti napas terakhir.
Semua menoleh.
Lyra menarik napas tajam. “Apa itu…?”
Cai dan Sena menegang.
Laksana menggeleng pelan, wajahnya pucat sepenuhnya.
“Retakan… mungkin sudah tertutup.”
Ia menatap denyut itu dengan ketakutan.
“Tapi sesuatu… berhasil keluar sebelum tertutup.”