"Aku emang cinta sama kamu. Tapi, maaf ... kamu enggak ada di rencana masa depanku."
Tanganku gemetar memegang alat tes kehamilan yang bergaris dua. Tak bisa kupercaya! Setelah tiga bulan hubunganku dengannya berakhir menyakitkan dengan goresan luka yang ia tinggalkan, aku malah mengandung darah dagingnya.
Saat itu juga, aku merasakan duniaku berotasi tidak normal. Aku terisak di sudut ruangan yang temaram. Menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi. Namun, satu yang aku yakini, hidup itu ... bukan pelarian, melainkan harus dihadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 : Tatap Aku!
Apa? Apa yang baru saja dia katakan? Sederet kalimat pendek yang baru saja keluar dari mulutnya membuat aku kembali memandangi punggungnya. Dari belakang, aku bisa melihat kepalanya yang sempat tertunduk, kini tegak lurus searah jendela yang terbuka.
"Apa yang barusan Kak Evan bilang?" tanyaku sambil menyempurnakan pakaian yang kukenakan. Raut wajahku masih biasa saja. Aku tak terlalu fokus dengan ucapannya karena belum sepenuhnya bugar.
"Aku ... pengen ... hubungan kita ... berakhir hari ini!" ucapnya lambat-lambat.
Beberapa detik yang berlalu begitu saja kugunakan untuk mencerna kalimatnya.
"Berakhir?" ulangku pelan.
Dia mengangguk. "Aku pengen kita putus."
"Kenapa?" tanyaku dengan suara kecil.
Bercanda! Aku menanti kata itu terlontar dari mulutnya saat ini juga.
Ayo katakan sekarang juga, Sayang .... Katakan kalau kau cuma bercanda. Aku tak akan mempermasalahkan lelucon garingmu. Ayo katakan!
Sayangnya, setelah beberapa detik berlalu, tak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulutnya. Bahkan dia tak berbalik untuk memandangku yang mendadak mematung bodoh.
"Astaga! Aku lupa masak sarapan! Kak Evan pasti dah lapar." Aku mencoba mengalihkan suasana yang tak mengenakkan ini. Namun, baru selangkah kakiku turun dari ranjang, dia kembali mengeluarkan kalimat dingin.
"Aku udah mikir matang-matang. Ke depannya hubungan kita bakal sulit lanjut. Jadi, sebaiknya kita akhiri saja."
Kepalaku kembali memutar ke arahnya, memandangnya dengan tak percaya. Untuk sesaat, aku buntu dan bisu. Kurasakan mataku mulai bertelaga. Namun, Aku masih mengelak. Ia pasti tak serius dengan ucapannya. Aku pun beringsut perlahan ke arahnya dengan kedua lututku lalu menyandarkan kepalaku ke punggungnya.
"Jangan ngomong kayak gitu. Aku gak mau pisah sama Kak Evan. Aku janji bakal lebih pengertian dengan kesibukanmu," ucapku lirih sambil melingkarkan lenganku di pinggangnya.
Dengan perlahan, dia menyingkirkan tanganku dari pinggangnya. "Maaf, tapi aku beneran pengen putus."
Aku tergugu sesaat. Sambil memandang punggungnya, aku berkata, "Katakan saja apa kekurangan aku selama ini. Apa yang enggak Kak Evan sukai dari sikap aku atau ... apa yang harus aku ubah dari penampilanku."
Sebutkan saja, pada bagian mana kekuranganku yang tidak kau sukai? Tak usah sungkan, aku siap mengoreksi diriku.
Kata-kata itu melewati bibirku dengan berhamburan. Cukup memalukan seorang perempuan memelas seperti ini. Namun, aku rela melakukannya demi mempertahankan hubungan ini. Hubungan yang sudah terjalin selama empat tahun.
"Gak ada yang perlu kamu ubah. Karena sebenarnya ... akulah yang mulai berubah. Aku gak bisa kayak dulu lagi. Aku yakin, kamu sebenarnya sadar kalo aku berubah, kan?"
Aku meneguk ludah sesaat. Dengan susah payah, aku berkata putus-putus, "lalu ... kenapa ... kak Evan masih mau ngerayain anniversary kita dan ngajak aku ke sini?" Suaraku semakin kecil di pangkal kalimat. Nyaris tak terdengar.
"Aku ajak kamu ke sini ... sebagai hadiah terakhir yang bisa aku kasih ke kamu. Karena ke depannya ... kita udah gak bisa lagi. Anggap aja yang udah kita lakukan semalam itu salam perpisahan dari aku. Jadi, aku harap setelah ini kita tidak perlu saling berhubungan."
Air mataku mulai luruh dari persembunyian. Puluhan bulan sudah kami lewati bersama dan dia ingin mengakhirinya begitu saja?
"Jahat!" Satu kepalan tinju mungilku mendarat di lengannya. "Jahat! Jahat! Jahat!" teriakku dengan suara serak bercampur tangisan. Pukulan dan tamparan dariku terus mendarat di tubuhnya.
Dia bergeming. Tubuhnya membatu dengan pandangan yang tegak lurus. Tidak memandangku. Tidak menyela ucapanku. Tidak menangkis tanganku. Tidak juga menyuruhku diam atau sekadar menenangkan aku. Hanya terus membisu. Seolah bersedia menampung segala amukan, kekesalan dan kekecewaan dariku. Bahkan, di saat kedua tanganku semakin tak punya kekuatan untuk memukulnya, dia tetap mematung seperti itu.
Tatap aku, Sayang! Aku gadis yang dulunya malu-malu menampakkan diri di hadapanmu dan selalu bersembunyi hanya untuk melihat punggungmu. Sekarang, bahkan gadis pemalu ini telah menampakkan keseluruhan dari wujud dirinya di hadapanmu. Tolong, tatap aku sebentar saja! Pastikan sekali lagi kalau kau benar-benar ingin menyudahi hubungan ini.
"Aku pikir selama ini kamu emang benar-benar cinta sama aku! Kamu jahat!" Setiap kata yang keluar dari mulutku beriringan dengan air mata.
Dia menoleh ke arahku seraya menatap dalam-dalam bola wajahku. Wajah teduh yang berhias senyum menawan itu kini begitu dingin memandangku.
"Aku emang cinta sama kamu, tapi maaf ... kamu enggak ada di rencana masa depanku."
Pada saat itu juga, tubuhku mendadak membeku. Sesuai keinginanku, dia benar-benar menatapku, tapi hanya untuk melontarkan kalimat yang tajam. Ucapannya tak hanya melukai pendengaranku, tapi juga hati ini. Bukan hanya mematahkan anganku, tapi juga membantai perasaanku.
Aku tidak ada di rencana masa depannya? Apakah aku hanya mainannya selama ini? Hiburan? Pengisi kekosongan?
Aku tidak bisa terima! Bagaimana bisa kata-kata jahat itu terlontar dari bibirnya yang selalu mencumbuiku? Bagaimana bisa dia ingin menyudahi hubungan ini di saat sisa-sisa peluhnya semalam, masih menempel di tubuhku? Bagaimana bisa dia melupakan empat tahun yang sudah kami ukir bersama?
Aku memberinya seratus persen cinta dan perhatianku. Kupersembahkan hatiku secara utuh tanpa terbagi dengan yang lain. Bahkan menyerahkan hal yang paling berharga di tubuhku sebagai pengikat agar dia tak berpaling dariku. Sekarang, kenapa segampang itu dia ingin mengakhiri semuanya.
"Packing barang-barang kamu dan jangan lupa sarapan. Aku tunggu di mobil." Dia memakai kausnya, kemudian bersiap beranjak pergi dari kamar.
Aku membuka cincin kopel pemberiannya dan langsung kulemparkan ke arahnya. Langkahnya sempat terhenti di ambang pintu saat cincin itu mengenai punggungnya.
Di waktu yang sama, tangisku semakin pecah berhamburan. Bagai daun yang gugur, begitulah tubuhku merosot ke lantai. Terduduk tak berdaya sambil menangis. Kutenggelamkan wajahku di antara lutut. Berenang dengan air mataku sendiri.
Entah sudah berapa lama aku terkapar di lantai yang dingin. Suasana kamar cukup gelap, hanya dibantu cahaya dari luar jendela. Mendadak, terdengar suara rengekan pintu. Bersamaan dengan itu, penglihatanku yang gamang menatap sepasang kaki yang berjalan ke arahku. Dalam hitungan detik, tubuhku yang lemah terangkat. Aku dibawa pergi dari kamar itu menuju luar villa.
"Bodoh! Jangan nyiksa diri kamu kayak gini karena itu gak bakal mengubah apa pun," ucapnya sambil terus membawaku menuju mobilnya.
Aku sudah bodoh sejak awal mengenalmu. Dengan segala kelebihan yang kau punya, merupakan kebodohanku memercayai pria seperti dirimu benar-benar mencintaiku.
Ia mendudukkan aku di jok depan samping pengemudi. Aku langsung melengos ke jendela mobil saat ia hendak memakaikan sabuk pengaman di badanku. Kugigit bibirku kuat-kuat agar tak meneteskan air mata lagi. Mobil pun melaju membawa kami pulang ke tempat masing-masing. Sepanjang jalan kami tak saling bicara.
Dua orang yang tadinya sedekat nadi, kini tiba-tiba menjadi asing satu sama lain. Dia yang dulunya membawaku terbang di awan kesenangan, sekarang memberi luka yang tak terperikan. Bodohnya, hingga detik ini aku masih sangat berharap dia akan meralat ucapannya pagi tadi, sehingga kami akan baik-baik saja keesokan harinya. Akankah?
.
.
.
rekomendasiin lagu yang cocok untuk Ita dong