Jaka, adalah seorang yang biasa saja, tapi menjalani hidup yang tak biasa.
Banyak hal yang harus dia lalui.
Masalah yang datang silih berganti, terkadang membuatnya putus asa.
Apalagi ketika Jaka memergoki istrinya selingkuh, pertengkaran tak terelakkan, dan semua itu mengantarnya pada sebuah kecelakaan yang semakin mengacaukan hidupnya,
mampukah Jaka bertahan?
mampukah Jaka menjemput " bahagia " dan memilikinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sicuit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keluar Sekarang Juga!
Jaka langsung menengadahkan kepala ketika seseorang memasuki teras rumahnya.
Jantungnya berdegub kencang. Dia tak mengira akan secepat ini, Cang Yayat datang.
"Permisi ... Bu ...," panggil Cang Yayat.
Jaka yang masih duduk di kursi panjang, berdiri dan membukakan pintu.
"Oh, Cang Yayat, mari Cang, silakan masuk," kata Jaka, mempersilakan Cang Yayat untuk duduk di tempatnya.
Cang Yayat duduk. Dia memandangi seisi rumah.
Di belakang, Ibu mendengar suara orang bercakap - cakap. Dia meletakkan kerjaannya dan berjalan ke depan.
Jantungnya seakan berhenti berdetak, kakinya goyah. Tak tahu harus bagaimana menghadapi Cang Yayat.
"Piye, apa sudah disiapkan uangnya?" tanya Cang Yayat, langsung pada pokok bahasan.
"Maaf, Cang. Ini masih kami usahakan, Jaka barusan sembuh, baru dapat kerja juga, tolong diberi sedikit waktu lagi," jawab Jaka.
"Terus piye, yang enam bulan kemaren masih dibayar setengah, terus sekarang sek minta waktu lagi, ki karepe gimana se, te ngentengno aku po piye? kata Cang Yayat dengan sedikit emosi.
Jaka dan Ibu saling berpandangan,
"Bukannya enam bulan kemaren sudah lunas terbayar, kenapa Cang bilang masih dibayar setengah? kata mereka dalam hati masing - masing.
"Maaf Cang, seingat kami, sudah saya bayar lunas untuk enam bulan yang lalu, kenapa Cang bilang baru dibayar setengah, maaf, apa Cang bisa jelaskan?" tanya Jaka memberanikan diri.
Cang Yayat langsung menatap Jaka dengan tatapan yang tajam.
Jaka tertunduk.
"Oooh ... jadi kalian menganggap aku ini sudah pikun, atau menganggap aku ini gila, uang sudah dibayar lunas, aku bilang masih dibayar setengah!" bentak Cang Yayat dengan segenap emosi.
Jaka dan Ibu sampai mengkeret, tak berani bersuara.
Bukan hanya itu, Cang Yayat membanting buku catatannya di meja.
Braaakk!!
"Lihat sendiri, jangan asal njeplak kalo bicara!" bentaknya lagi.
Dengan tangan sedikit gemetar, Jaka mengambil buku itu dan membukanya.
Dari catatan yang dia lihat, memang masih setengah terbayar. Jaka diam, tak mampu berkata apa - apa.
"Sudah! Sudah kau lihat, yang gila siapa sekarang, atau kau mau buat - buat omong, membodohiku dengan mengatakan sudah lunas!" katanya penuh emosi.
"Maaf, Cang. Sebenarnya memang saya kurang mengerti, karena waktu itu, Yunis yang membayarkan pada Cang," Jaka berusaha membela diri.
"Ooo ... jadi sekarang kau mau bilang kalo keponakanku itu gak nggenah gitu, bilang kalo dia makan uangmu gitu!" bentak Cang Yayat semakin menjadi.
Jaka diam, dia merasa serba salah. Bilang salah, tidak bilang pun salah.
"Sekarang saja, kemana keponakanku itu, mana Yunis, mana!" teriaknya.
Sekali lagi, Jaka hanya bisa diam. Ibu pun tak bisa bicara apa - apa.
"Jangan kalian kira aku ini ndak tahu, kemana keponakanku itu, dia sudah memberitahu aku, kalo dia sudah pergi dari rumah ini, sudah dapet jodoh yang lebih baik dari kamu," jelasnya pula.
Jaka dan Ibu, masih diam, seakan ini pengadilan bagi mereka. Meskipun mereka tahu, hanya dakwaan tak punya uang, yang jadi kesalahan mereka.
"Wes, aku ndak banyak omong, kesel aku, kalo kalian bayar saat ini juga, kalian boleh tetap tinggal di sini, tapi kalo kalian ndak bayar, kalian harus keluar sekarang juga dari rumah ini, SEKARANG JUGAAA, MENGERTI!" bentaknya.
Jaka dan Ibu terkejut mendengar bentakan Cang Yayat. Terutama pada kalimat terakhir.
"Maaf, Cang. Apa bisa beri sedikit waktu lagi, masih kami usahakan," suara Ibu bergetar, memohon pengertian dari Cang Yayat.
"Owalahhh ... opo kowe ki ndak mengerti omonganku ta, kalo kowe bayar sekarang, monggo ... silakan tinggal di sini, kalo ndak bayar sekarang, iya monggo ... keluar dari rumah ini, sekarang, piye ... sek kurang jelas ta?" kata Cang Yayat merendahkan suaranya, mendengar suara Ibu yang bergetar.
Jaka mengepalkan tangannya. Keringat dingin mulai membasahi wajah dan badannya. Sesak di dada semakin menyesakkan.
"Baik, Cang, kami akan keluar, karena memang masih tak ada uang untuk bayar," kata Jaka, suaranya tersendat.
Cang Yayat manggut - manggut.
"Iyo ... gitu lebih baik, dan lagi ... untuk kekurangan yang setengah itu, bisa kamu bayarkan dengan barang - barang yang ada di sini," katanya tanpa perasaan sedikit pun.
"Kalo dirombeng ... lumayanlah, meski ga semua terbayar, tapi aku sek dapet uang. Hehehe ... Oh iya ...jangan sentuh barang keponakanku juga," katanya lagi.
Jaka dan Ibu diam, mereka benar - benar sudah tak memiliki kesempatan lagi.
"Iyo wes, aku pamit, sing penting, sampe siang ini, rumah sudah kosong, kunci rumah, kamu antarkan ke tempat Cang, ya," kata Cang pada Jaka.
"Iya, Cang," jawab Jaka lesu.
Cang Yayat berdiri, keluar, dan meninggalkan rumah itu tanpa beban, tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Ibu menghampiri Jaka yang berdiri di depan pintu. Dibelainya punggung Jaka.
Jaka berbalik, menutup pintu, dan menggenggam tangan Ibu, yang dirasa dingin.
"Bu, kita pasti bisa melalui semua ini ya, kalau dulu bisa, sekarang pun bisa," ucap Jaka dengan suara bergetar.
Ibu hanya mengangguk, tak bersuara, dan tak bisa menyembunyikan lagi air matanya.
Mereka berpelukan, saling menguatkan.
Tak lama kemudian, Ibu, dan Jaka, mereka merapikan apa saja yang akan mereka bawa.
Mereka memasukkan semua pakaian dalam tas butut. Satu - satunya tas yang mereka punya.
Tas itu tak terlalu besar, tapi muat untuk baju Ibu dan Jaka, karena hanya beberapa potong saja.
Semua sudah rapi. Tapi mereka belum juga keluar. Jaka berjalan ke belakang, melihat kembali kenangannya di sana, bersama Yunis.
Dihapusnya air yang menggenang di pelupuk matanya. Dikuatkan hatinya untuk tidak menyerah pada syaraf yang lemah.
Setelah puas Jaka mengelilingi rumah itu, menyimpan kenangannya jauh di lubuk hati yang paling dalam. Dia berjalan keluar.
Dilihatnya Ibu duduk di kursi, wajahnya sayu, jelas terlihat, betapa duka merongrong hidup hari tuanya.
"Bu, tunggu sebentar ya, aku mau kembalikan kunci dulu sama Cang Yayat.
Ibu tunggu di teras ya" kata Jaka.
Ibu berdiri, berjalan keluar, dan duduk di teras. Jaka mengunci pintu dan berjalan keluar bersama kruknya.
Memanggil tukang ojek, Jaka ke rumah Cang Yayat.
Tak lama kemudian , Jaka sudah kembali. Tapi mereka masih duduk di depan rumah hingga beberapa saat, tak tahu harus kemana.
"Ini ada sedikit tambahan dari Pak Yusup,Bu. Tadi Jaka sekalian mampir kesana, pamit," kata Jaka sambil menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu.
Ibu menerima uang itu dan dijadikan satu dengan sisa uang yang dirampas oleh Yunis,
beberapa waktu lalu. Dan menyimpannya dalam tas kecil miliknya.
"Le, kira - kira kita mau kemana, apa kamu masih ingin tinggal di daerah ini kah?" tanya Ibu sambil memandang Jaka.
"Jaka ikut kemana Ibu pergi, di sini sudah terlalu menyakitkan buat Jaka."
"Kalau kita pulang ke desa gimana, apa kamu mau?"
Jaka diam sejenak, di sana pun bukan tempat yang menyenangkan buatnya. Tapi kalau tak kesana mau kemana lagi, dengan uang yang sangat terbatas, dengan waktu yang mendadak pula.
"Iya, tak apa, Bu," kata Jaka setelah menimbang masalahnya.
Siang terik yang panas, Jaka, dan Ibu, naik angkot menuju ke terminal, dari sana, mereka naik bis untuk sampai ke desa.