“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”
Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.
Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.
Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.
Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Sembilan
Kevin memutar gagang pintu perlahan. Suara engsel berderit kecil. Udara dari dalam kamar terasa lebih dingin, namun entah kenapa membuat dada Kevin semakin panas.
Langkahnya terhenti di ambang pintu.
Cahaya lampu malam kecil di meja samping ranjang memantulkan siluet tubuh Davina yang tengah tidur pulas, selimut menutupi sebagian wajahnya.
Kevin berdiri diam cukup lama. Wajahnya menegang, matanya redup, napasnya tak teratur. Dalam benaknya berkecamuk antara akal sehat dan sesuatu yang lain.
Ia ingin berbalik, tapi kakinya seperti tertanam di lantai. Ingin bicara, tapi suaranya lenyap.
Tangannya terulur perlahan, lalu berhenti di udara. Satu detik. Dua detik. Lima.
Kevin memejamkan mata, menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Tapi rasa aneh di tubuhnya makin menjadi. Ia merasa tak bisa berpikir jernih.
“Kenapa aku ke sini. Aku tak boleh melakukan ini," gumam Kevin pelan, hampir seperti orang bicara pada diri sendiri.
Angin malam yang masuk lewat jendela menyingkap sedikit tirai, menyorot wajah Davina yang tidur dengan tenang. Sekali lagi, Kevin terpaku. Ada sesuatu di dada yang meledak, antara rasa sayang, lelah, dan kehilangan arah. Dia begitu menginginkan adik tirinya.
Ia memejamkan mata, lalu menarik napas dalam. Langkah kecil ia ambil, mendekat satu langkah.
Dan tepat saat jaraknya tinggal beberapa langkah dari ranjang itu. “Abang?” Suara lembut itu membuatnya tersentak.
Davina, setengah terbangun, menatap samar ke arah pintu. Matanya masih buram, tapi cukup untuk mengenali sosok yang berdiri di sana.
Kevin tak menjawab. Hanya berdiri diam.
Pandangan mereka bertemu di antara gelap dan cahaya kecil dari lampu meja. Waktu seakan berhenti.
Davina menegakkan tubuh, bingung. “Bang … Abang kenapa? Abang baru pulang?”
Kevin menelan ludah, ingin menjawab tapi tak bisa. Suaranya hilang entah ke mana.
Tangannya menggenggam gagang pintu erat-erat. Jari-jarinya memutih.
Sampai akhirnya ia hanya bisa berbisik pelan, nyaris tak terdengar.
“Tidurlah, Vin .…”
Lalu ia menutup pintu perlahan. Cahaya dari dalam kamar perlahan menghilang di sela-sela celah pintu yang menutup rapat. Di luar, Kevin berdiri mematung di koridor gelap, kepalanya tertunduk, dadanya bergemuruh oleh sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Kevin menyadari ada yang mengerjainya tadi. Dia harus bisa menahan, dan kuat untuk melawan gejolak aneh dalam tubuhnya. Dia ingin memaki dirinya sendiri, kenapa bisa terjebak dengan minuman yang pasti telah di beri sesuatu.
"Siapa yang berani melakukan ini padaku!" seru Kevin pada dirinya sendiri.
Kevin berjalan menuju kamarnya. Dia membaringkan tubuhnya mencoba untuk menghilangkan perasaan dalam dirinya.
Sakit kepala yang dia rasakan begitu kuat sehingga Kevin menarik rambutnya dengan keras. Dia mencoba memejamkan mata, tapi tak juga bisa.
Kevin membuka bajunya, dia lalu kembali berbaring dan mencoba memejamkan mata.
"Bang, kamu sakit?" tanya Davina.
Mendengar suara adiknya, Kevin membuka mata. Dia terkejut melihat Davina telah duduk di tepi ranjang. Tangan lembutnya memegang dahi pria itu.
"Badanmu sangat panas. Kenapa kamu tak bilang kalau sakit," ucap Davina.
"Sejak kapan kamu masuk?" tanya Kevin.
"Aku mengikuti Abang. Aku lihat Abang kurang enak badan," jawab Davina.
Kevin lalu bangun dan duduk dengan bersandar ke kepala ranjang. Dia menatap tajam ke arah adik tirinya itu.
"Keluarlah ...! Aku bisa mengatasinya sendiri!" usir Kevin. Dia takut pertahanannya goyah dan memakan adiknya lagi.
"Aku ambil air hangat dulu. Kamu harus dikompres," ucap Davina tak menghiraukan usiran dari sang abang.
Davina keluar sebentar, lalu kembali dengan baskom kecil berisi air hangat dan handuk. Langkahnya pelan, seolah takut menimbulkan suara. “Aku cuma mau bantu, Bang,” katanya lembut, menaruh baskom di meja samping ranjang.
Kevin menatapnya dari tempat tidur. Napasnya berat, wajahnya memerah, bukan hanya karena demam, tapi juga karena pertarungan batin yang belum usai.
“Davina, keluar,” ucap Kevin dengan suaranya yang dalam, berat, menahan banyak hal.
“Tapi Abang ....”
“Keluar, aku bilang!”
Nada suaranya meninggi. Tapi Davina tetap berdiri di tempatnya, matanya memancarkan kekhawatiran tulus.
“Abang kenapa bersikap begini? Aku cuma mau bantu. Lihat tubuhmu, panas sekali.”
Kevin tiba-tiba bangkit, menahan kepala yang masih berdenyut, lalu menatap Davina tajam.
“Kau tak tahu apa yang sedang terjadi padaku!” katanya serak. “Kalau kau tetap di sini, aku bisa kehilangan kendali.”
Davina terdiam. Suaranya terdengar seperti seseorang yang berperang dengan dirinya sendiri. Ada rasa takut di sana, bukan pada Kevin, tapi pada dirinya sendiri.
“Bang …,” bisik Davina lirih. “Aku tahu Abang sedang tidak baik-baik saja. Tapi aku nggak akan pergi sebelum Abang tenang.”
Ucapan itu membuat dada Kevin semakin sesak. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, menarik napas dalam, menahan dorongan yang mulai muncul lagi entah dari mana.
“Vin, tolong … pergi,” ucap Kevin hampir memohon.
Davina menggeleng. Dia tak mungkin meninggalkan orang yang selalu membantunya selama delapan belas tahun ini. Dia melihat keadaan Kevin tidak sedang baik-baik saja.
"Jangan salahkan aku, Davina. Aku telah meminta kamu pergi!" seru Kevin.
Kevin lalu menarik tangan Davina cukup keras hingga tubuh gadis itu terjatuh ke dalam pelukan abangnya. Dia berada tepat di atas tubuh pria yang sangat dicintainya.
Kevin lalu membalikan tubuhnya, sehingga kini Davina yang berada di bawah. Dia lalu mengecup bibir adiknya. Ciuman yang awalnya hanya lembut, akhirnya menuntut.
Dengan sekali tarikan baju tidur yang Davina pakai sobek. Kevin tak bisa lagi menahan hasratnya.
"Bang ...," ucap Davina tertahan. Dia baru menyadari kalau abangnya sedang mengalami apa yang pernah dia rasakan di malam itu.
"Aku sudah meminta kamu pergi, jangan salahkan jika aku melakukan ini."
Kevin lalu bangun dan membuka seluruh pakaiannya. Sekarang mereka berdua tanpa sehelai benangpun.
"Bang ...." Suara Davina nyaris tak terdengar. Ia ingin melepaskan diri, tapi dia juga menginginkan abangnya. Dia juga ingin membantu abangnya lepas dari perasaan itu. Akhirnya dia memilih pasrah.
Kevin yang sudah di kuasai napsu, melupakan siapa yang berada di bawah tubuhnya. Dia mengecup leher sang adik dan meninggalkan jejak kepemilikan. Davina tak memberontak, dia seolah menikmati juga hubungan ini.
Entah siapa yang memulai terlebih dahulu. Kini dua tubuh itu telah menyatu dalam kehangatan. Berbagi apa yang seharusnya dibagi oleh dua insan yang telah sah dalam ikatan pernikahan.
Mengalirlah banyak rasa kala tatap mata bertemu ditengah pergulatan mereka. Setelah beberapa saat, Kevin akhirnya menumpahkan sesuatu dzat murni ke dalam rahim sang adik sebagai pelepasan. Menuju puncak paling nikmat yang pria itu rasakan.
kalau sudah salah jangan menambah kesalahan lagi.
berani menghadapi apapun resikonya.
tega niat ibunya Kevin, Davina suruh nanggung sendiri akibatnya
semangatttt kev dg penuh tggjawab, abaikan sementara mamamu itu, yg egois🤭 aslinya ibu tiri sdh Nampak