NovelToon NovelToon
Suami Setengah Pakai

Suami Setengah Pakai

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aluina_

Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

Perjalanan pulang dari rumah sakit terasa lebih menyesakkan daripada perjalanan pergi. Tidak ada lagi kepanikan, yang tersisa hanyalah keheningan yang berat dan canggung. Aku duduk di kursi belakang, menyandarkan kepala ke jendela yang dingin, menatap lampu-lampu jalanan yang berlalu kabur. Setiap kilatan cahaya terasa seperti kilas balik dari sisa-sisa hidup normalku yang kini telah padam.

Aku adalah seorang terpidana mati yang baru saja menandatangani surat eksekusinya sendiri. Mereka adalah para algojo yang kini merasa lega karena tugas mereka akan segera terlaksana.

"Nanti di rumah kamu langsung istirahat ya, Nak." Suara Ibu memecah kesunyian. Nadanya kini berubah drastis. Tidak ada lagi bentakan atau tuduhan. Yang ada hanyalah nada lembut yang dibuat-buat, seolah ia sedang berbicara pada porselen rapuh yang takut pecah. "Terima kasih ... Ibu tahu ini sangat berat untukmu. Kamu anak yang baik."

Aku tidak menjawab. Pujiannya terasa seperti hinaan. Anak yang baik. Itu kode untuk anak yang penurut. Anak yang rela mengorbankan dirinya di altar keegoisan mereka.

Mas Danu, yang menyetir di depan, melirikku sekilas dari kaca spion. Wajahnya masih tegang, tapi ada gurat kelegaan yang tipis di sana. Kelegaan karena istrinya selamat. Kelegaan karena masalah terbesarnya—masalah yang kini menjadi milikku—telah menemukan "solusi". Aku cepat-cepat membuang muka. Aku tidak sanggup melihat wajah pria itu. Calon suamiku. Calon pemilik masa depanku.

Setibanya di rumah, aku langsung berjalan menuju kamar. Tidak ada yang menahanku. Mereka memberiku ruang, mungkin karena mengira aku butuh waktu untuk meratapi nasib. Atau mungkin, mereka hanya tidak tahu harus berkata apa padaku.

Malam itu aku tidak tidur. Aku hanya duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke dinding. Otakku berhenti bekerja. Hatiku terasa kebas. Aku tidak merasakan marah, sedih, atau takut. Aku tidak merasakan apa-apa. Seolah jiwaku telah tercerabut dari raga, meninggalkan cangkang kosong yang hanya bisa bernapas dan bergerak sesuai perintah. Ini mungkin yang dirasakan oleh boneka maneken di etalase toko. Didandani, dipajang, tapi tidak punya kehendak.

Keesokan harinya, Kak Binar diizinkan pulang. Ia kembali ke rumah dengan kursi roda, sebuah drama tambahan untuk menekankan betapa rapuh kondisinya. Wajahnya masih pucat, tapi matanya... matanya sudah kembali bersinar. Ada binar kemenangan di sana, yang coba ia sembunyikan di balik senyum lemah.

"Arin ... sini, Dek."

Ia menepuk-nepuk sisi ranjangnya, tempat ia dibaringkan oleh Mas Danu. Semua anggota keluarga berkumpul di kamarnya yang luas dan mewah, seolah sedang menyambut seorang ratu yang baru kembali dari medan perang. Aku berjalan mendekat dengan enggan.

Saat aku cukup dekat, ia mengulurkan tangannya yang kurus, meraih tanganku. Genggamannya terasa dingin. "Makasih ...," bisiknya, matanya berkaca-kaca. Akting yang sempurna. "Makasih sudah menyelamatkan Kakak. Menyelamatkan pernikahan Kakak. Kamu ... kamu adalah malaikat penyelamat keluarga kita."

Aku menatapnya tanpa ekspresi. Malaikat? Bukan. Aku adalah tumbal yang kau persembahkan untuk egomu.

"Cepat sembuh, Kak," hanya itu yang keluar dari mulutku. Dingin dan datar.

Senyumnya sedikit goyah mendengar nada bicaraku, tapi ia cepat menguasai diri. "Aku pasti sembuh. Karena sekarang aku punya harapan. Kita semua punya harapan, berkat kamu."

Ia menatap Mas Danu yang berdiri di ujung ranjang, lalu menatap Ayah dan Ibu. Ia sedang membagikan kebahagiaannya, kebahagiaan yang ia rampas dariku.

Aku menarik tanganku pelan. "Aku mau ke kamar dulu. Ada kerjaan." Aku berbohong. Aku hanya butuh melarikan diri dari sandiwara ini.

Tidak ada yang mencegahku. Saat aku berjalan keluar, aku bisa mendengar Ibu berkata, "Biarkan saja. Mungkin dia masih butuh waktu untuk beradaptasi."

Beradaptasi. Kata yang lucu. Mereka tidak memintaku beradaptasi. Mereka memintaku untuk menyerah total.

Dua hari kemudian, "rapat keluarga" itu kembali digelar. Kali ini suasananya berbeda. Tidak ada lagi ketegangan. Yang ada hanyalah aura efisiensi yang mengerikan, seolah kami sedang merencanakan sebuah proyek bisnis.

Kami duduk di ruang keluarga yang sama. Kak Binar sudah duduk di sofa, tidak lagi di kursi roda, dengan selimut menutupi pangkuannya. Ia tampak lebih segar. Warna sudah kembali ke pipinya. Kemenangan memang obat yang paling manjur.

"Jadi, kita semua setuju untuk mempercepat prosesnya," Ayah membuka pembicaraan, menghindari kontak mata denganku. "Semakin cepat, semakin baik. Menghindari fitnah."

"Betul," sahut Ibu dengan antusias. "Ibu sudah bicara dengan Pak Ustadz komplek sebelah. Beliau bersedia menikahkan secara siri terlebih dahulu. Cukup ada wali, saksi, dan mahar. Sah di mata agama. Nanti untuk pencatatan di KUA bisa diurus belakangan, pelan-pelan."

Pelan-pelan. Agar tidak ada yang curiga. Agar tidak ada yang bertanya mengapa Danu Wijoyo yang terhormat tiba-tiba berpoligami dengan adik iparnya sendiri.

"Aku yang akan bantu Arini siapkan semuanya!" seru Kak Binar riang. "Kebaya, riasan ... semua harus sempurna! Walaupun hanya akad nikah sederhana, adikku harus jadi yang paling cantik hari itu."

Ia menatapku dengan senyum lebar. Seolah ia sedang memberiku hadiah paling indah di dunia. Aku ingin muntah.

"Kamu mau kebaya warna apa, Rin?" tanyanya. "Putih gading? Atau champagne? Kayaknya cocok di kulit kamu."

Semua mata kini tertuju padaku, menunggu jawaban. Aku merasa seperti terdakwa di ruang sidang.

"Terserah," jawabku singkat.

Satu kata itu menggantung di udara. "Terserah" menjadi perisai baruku. Sebuah kata yang menunjukkan penyerahan diri total, sekaligus pemberontakan pasif. Aku tidak akan memberi mereka kepuasan dengan ikut berpartisipasi dalam antusiasme palsu ini.

Raut wajah Kak Binar sedikit berubah, tapi ia cepat-cepat menutupinya dengan tawa kecil. "Dasar kamu ini. Selalu bingung kalau soal milih. Ya sudah, biar Kakak saja yang pilihkan, ya? Kakak tahu seleramu."

Tentu saja dia tahu. Dia akan memilihkan sesuatu yang indah, tapi tidak akan pernah lebih indah dari gaun pengantinnya dulu. Dia akan memastikan aku cantik, tapi tidak akan pernah secantik dirinya. Aku akan selalu menjadi yang nomor dua, bahkan di hari "pernikahanku" sendiri.

Rapat berlanjut. Mereka membahas tanggal—akhir pekan depan. Mereka membahas saksi—Ayah dan seorang paman. Mereka membahas mahar.

"Soal mahar, bagaimana, Danu?" tanya Ayah pada calon menantunya yang kedua.

Mas Danu, yang sejak tadi lebih banyak diam, tampak tersentak. "Saya... saya akan serahkan pada Arini. Dia boleh minta apa saja." Ia menatapku, mencoba menawarkan semacam kompensasi.

Aku balas menatapnya, dingin dan kosong. "Saya tidak butuh apa-apa. Seperangkat alat salat saja sudah cukup."

Jawaban itu membuat semua orang terdiam. Dalam tradisi kami, mahar adalah cerminan penghargaan mempelai pria kepada wanita. Dengan meminta yang paling sederhana, aku mengirimkan pesan yang jelas: pernikahan ini tidak ada harganya di mataku. Ini hanyalah sebuah formalitas kosong.

Mas Danu tampak terluka oleh jawabanku, tapi ia tidak bisa membantah.

"Baiklah kalau begitu," kata Ayah, mengakhiri rapat yang menyiksa itu. "Semua sudah diputuskan."

Ya. Semua sudah diputuskan. Tanpa persetujuanku yang tulus. Tanpa mempertimbangkan perasaanku. Hidupku telah diatur dalam sebuah rapat keluarga yang dingin.

Malam sebelum hari pernikahan, Mas Danu menemuiku di taman belakang. Aku sedang duduk di bangku, menatap bulan yang pucat, ketika ia datang dan berdiri beberapa langkah dariku.

"Arini," panggilnya pelan.

"Kalau Mas mau bilang maaf lagi, lebih baik tidak usah," sahutku tanpa menoleh. "Saya sudah bosan mendengarnya."

Dia menghela napas. "Bukan itu. Aku hanya ... aku ingin kamu tahu, aku tidak akan memaksamu melakukan apa pun yang tidak kamu inginkan."

Aku tertawa sinis. "Agak terlambat untuk bilang begitu, kan? Besok pagi, Mas akan mengucapkan ijab kabul dengan menyebut nama saya. Itu sudah lebih dari sekadar paksaan."

"Maksudku ... setelah kita menikah nanti. Soal ... kewajiban sebagai suami-istri. Terutama soal ... program untuk mendapatkan anak. Aku akan memberimu waktu. Sebanyak yang kamu butuhkan untuk siap."

Tawarannya yang terdengar murah hati itu justru membuatku semakin muak.

Aku akhirnya berdiri dan menghadapnya. Di bawah cahaya bulan, aku bisa melihat betapa lelah dan tersiksanya wajah pria ini. Tapi rasa ibaku sudah lama mati.

"Mas Danu, mari kita perjelas satu hal," kataku dengan suara setajam es. "Jangan berpura-pura peduli pada perasaan saya. Ini adalah kesepakatan bisnis, bukan? Saya menjalankan bagian saya untuk mengandung anak Mas, dan sebagai imbalannya, keluarga saya mendapatkan 'kedamaian' dan kakak saya mendapatkan 'kebahagiaannya'. Itu saja."

Aku melangkah lebih dekat, menatap lurus ke matanya. "Jadi, jangan tunda apa pun. Lakukan apa yang harus Mas lakukan sesegera mungkin. Semakin cepat saya hamil, semakin cepat tugas saya selesai. Semakin cepat pula saya bisa berhenti melihat wajah Mas setiap hari. Anggap saja saya ini inkubator sewaan. Jadi, tolong jangan perlakukan saya seolah-olah saya ini istri Mas. Karena saya bukan."

Wajahnya memucat. Kata-kataku jelas menamparnya lebih keras dari tamparan fisik. Ada kilat amarah dan rasa sakit di matanya. Mungkin egonya sebagai laki-laki terluka. Bagus. Setidaknya ada sesuatu yang bisa kurusak dari dirinya, sebagai balas dendam atas hidupku yang telah ia dan istrinya hancurkan.

Tanpa menunggu jawabannya, aku berbalik dan masuk ke dalam rumah. Meninggalkannya termangu sendirian di taman yang gelap.

Besok adalah hari pemakamanku. Dan aku akan memastikannya, semua orang yang hadir tahu bahwa mereka sedang menyaksikan sebuah tragedi, bukan perayaan.

1
Ma Em
Akhirnya Arini sdh bisa menerima Danu dan sekarang sdh bahagia bersama putra putrinya begitu juga dgn Binar sdh menyadari semua kesalahannya dan sdh berbaikan , semoga tdk ada lagi konflik diantara Arini dan Binar dan selalu rukun 🤲🤲.
Ma Em
Arini keluargamu emang sinting tdk ada yg normal otaknya dari ayahmu ibumu juga kakakmu yg merasa paling benar .
Sri Wahyuni Abuzar
ini maksud nya gimana yaa..sebelumnya arini sudah mengelus perutnya yg makin membuncit ketika danu merakit ayunan kayu..kemudian chatingan sm binar di paris (jaga keponakan aku) ... lhaa tetiba baru mau ngabarin ke ortu nya arini bahwa arini hamil...dan janjian ketemu sama binar di cafe buat kasih tau arini hamil..
kan jadi bingung baca nya..
Sri Wahyuni Abuzar
danu yg nyetir mobil ke rumkit..ayah duduk di kursi samping danu..lalu binar dan ibu nya duduk di kursi belakang..pantas kalau arini bilang dia seperti g keliatan karena duduk di depan..di kursi depan bagian mana lagi yaa bingung aku tuuh 🤔
Noivella: makasih kak. astaga aku baru sadar typo maksudnya kursi paling belakang😭😭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!