NovelToon NovelToon
Sebelum Segalanya Berubah

Sebelum Segalanya Berubah

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Dunia Masa Depan / Fantasi / TimeTravel
Popularitas:771
Nilai: 5
Nama Author: SunFlower

Rania menjalani kehidupan yang monoton. Penghianatan keluarga, kekasih dan sahabatnya. Hingga suatu malam, ia bertemu seorang pria misterius yang menawarkan sesuatu yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "Kesempatan untuk melihat masa depan."

Dalam perjalanan menembus waktu itu, Rania menjalani kehidupan yang selalu ia dambakan. Dirinya di masa depan adalah seorang wanita yang sukses, memiliki jabatan dan kekayaan, tapi hidupnya kesepian. Ia berhasil, tapi kehilangan semua yang pernah ia cintai. Di sana ia mulai memahami harga dari setiap pilihan yang dulu ia buat.

Namun ketika waktunya hampir habis, pria itu memberinya dua pilihan: tetap tinggal di masa depan dan melupakan semuanya, atau kembali ke masa lalu untuk memperbaiki apa yang telah ia hancurkan, meski itu berarti mengubah takdir orang-orang yang ia cintai.

Manakah yang akan di pilih oleh Rania?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#17

Happy Reading...

.

.

.

Meeting kali ini terasa begitu panjang bagi Rania, meskipun sebenarnya hanya berlangsung sekitar dua puluh lima menit. Ia duduk di kursinya dengan tatapan kosong, sesekali memijit pelipisnya. Sonya yang berdiri di belakangnya beberapa kali berdehem pelan, mencoba menyadarkan Rania dari lamunan panjangnya.

Di meja rapat, Lima kepala divisi sedang mempresentasikan laporan, tetapi tidak ada satu pun yang benar-benar masuk ke otak Rania.

Sonya akhirnya mendekat sedikit, lalu berbisik pelan. “Apa kita perlu menunda meetingnya, Bu?”

Rania menoleh dengan cepat, membuat Sonya terkejut. “Tidak perlu,” jawab Rania singkat sambil memaksa tersenyum walaupun jelas ia tidak memahami satu pun materi yang dibahas.

Sonya mengangguk, tetapi raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang semakin dalam.

Untungnya, meeting tersebut memang hanya sebentar. Para kepala divisi pamit setelah memberikan laporan ringkas, lalu menunduk sangat dalam sebelum meninggalkan ruangan. Rania menghela napas lega begitu pintu rapat tertutup.

“Bu, apakah Ibu ingin makan siang dulu atau langsung kembali ke ruangan?” tanya Sonya sopan.

“Kita kembali saja,” jawab Rania tanpa pikir panjang. Ia hanya ingin duduk, diam dan bernapas.

Mereka berjalan menuju ruangannya. Setibanya di depan pintu, Sonya mempersilakan Rania masuk lebih dulu. Baru beberapa langkah masuk, ponsel Sonya bergetar keras. Ia menunduk melihat layar, dan jantungnya langsung berdegup kencang melihat nama yang tertera di sana.

Arkana.

Sonya menelan ludah. Setelah mempertimbangkan sejenak, ia memutuskan untuk menjauh beberapa meter dari ruangan tersebut. Barulah ia menjawab panggilan itu dengan hati-hati.

“Halo, selamat siang Pak Arkana,” ucap Sonya pelan.

Tidak ada balasan salam. Suara Arkana masuk langsung, tegas dan tanpa basa-basi. “Di mana Rania? Kenapa dia tidak membalas pesanku ?”

Nada suaranya terdengar frustrasi sekaligus penuh kekhawatiran. Sonya hampir tersentak.

“Maaf, Pak,” jawab Sonya gugup. Ia melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar. “Bu Rania baru saja selesai meeting dan sampai sekarang belum memegang ponselnya.”

Ada jeda hening beberapa detik sebelum Arkana kembali berbicara.

“Apa dia bersikap aneh lagi?”

Kening Sonya langsung berkerut dalam. “Maksud Bapak?” tanyanya jujur, karena ia tidak mengerti arah pembicaraan Arkana.

Arkana mengembuskan napas panjang dari seberang telepon, terdengar jelas melalui speaker. “Apa dia bersikap tidak seperti biasanya?” Arkana memperjelas maksudnya.

Sonya terdiam. Ia memikirkan sejak pagi, tatapan bingung Rania, pertanyaan-pertanyaan anehnya, perilakunya yang jauh lebih ramah dan tidak arogan seperti biasanya.

Keheningan Sonya rupanya sudah cukup sebagai jawaban.

“Sepertinya iya,” gumam Arkana sendiri, suaranya terdengar gelisah.

Sonya menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus merespons apa. Ia sendiri masih bingung dengan semua hal yang terjadi.

“Suruh dia membalas pesanku,” ujar Arkana akhirnya, nada suaranya lebih dingin. Setelah itu, telepon langsung ditutup sebelum Sonya sempat membalas.

Sonya menatap layar ponselnya yang kini kembali gelap. Dadanya naik turun cepat, sementara pikirannya langsung dipenuhi berbagai pertanyaan. Apa yang sebenarnya sedang terjadi pada Bu Rania? Kenapa Pak Arkana terdengar sangat khawatir? Dan kenapa beliau bertanya apakah Bu Rania bersikap tidak seperti biasanya?

Sonya menghela napas panjang. Apakah mungkin Bu Rania mengalami sesuatu kemarin? Kecelakaan? Serangan panik? Atau mungkin..

Sonya mengerjap cepat. Ingatan tentang kejadian kemarin malam perlahan muncul. Bukankah Bu Rania bersikeras datang sendiri ke acara salah satu klien penting? Bahkan menolak ditemani oleh dirinya ataupun staf lain. Setelah itu, ia tidak mendengar kabar apa pun dari Bu Rania hingga pagi ini.

“Mungkinkah… ada sesuatu yang terjadi setelah acara itu?” gumam Sonya pelan, merasakan hawa dingin menjalar ke punggungnya.

Namun ia tidak berani menebak lebih jauh. Dengan napas yang masih belum stabil, Sonya mengetuk pelan pintu ruangan Rania.

“Bu Rania... apakah saya boleh masuk?” tanyanya lembut.

.

.

.

Rania menatap beberapa tumpukan berkas yang berserakan di atas meja kerjanya. Kantor yang biasanya terasa seperti tempatnya bersembunyi dari hiruk-pikuk dunia luar, kini justru terasa semakin sempit.

"Ke mana Bu Hanna? Lalu Anastasya? Dan laki-laki kurang ajar itu.. Jika usiaku sekarang sudah tiga puluh tahun, berarti insiden itu sudah hampir empat tahun lalu... Apa saja yang terjadi selama ini..? Kenapa semuanya terasa kosong di kepalaku?" Rania memejamkan mata sejenak, berusaha meredam denyut halus di pelipisnya.

Ia tidak sadar bahwa Sonya, asisten pribadinya sudah berdiri di hadapannya selama beberapa detik.

“Permisi, Bu Rania,” ucapnya pelan, seolah takut suaranya akan memecahkan lamunan atasannya.

Tidak ada respons. Rania tetap diam, kedua matanya masih tertuju ke berkas-berkas di depannya namun jelas bukan itu yang benar-benar ia lihat.

“Permisi, Bu..” ulang Sonya, sedikit mengeraskan nada suaranya namun tetap berhati-hati.

Tetap tidak ada reaksi.

Akhirnya, Sonya mengumpulkan keberaniannya. “Bu Rania.” panggilnya sedikit lebih tegas.

Rania tersentak kecil lalu mengangkat wajahnya. “Ah.. ya. Ada apa?” tanyanya, berusaha mengontrol ekspresinya agar tampak tenang. Namun suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.

“Pak Arkana meminta Anda untuk segera membalas pesannya,” jawab Sonya sambil menyodorkan ponsel kantor yang ia bawa sejak tadi.

Rania hanya mengangguk singkat. Tidak ada janji untuk membalas. Tidak ada reaksi lain. Hanya anggukan kecil. Ia melirik ponselnya sendiri yang tergeletak tak jauh dari sikunya. Layarnya menyala sebentar, menampilkan beberapa notifikasi. Namun Rania mengalihkan pandangannya secepat mungkin. Energi untuk berinteraksi rasanya sudah habis.

Sonya menggigit bibirnya, ragu. Ia sudah bekerja di bawah Rania hampir tiga tahun, dan perempuan itu selalu tampil tegas dan profesional.Tapi hari ini.. ada sesuatu yang sangat berbeda. Rania tampak seperti seseorang yang kehilangan pijakan.

“Bu... maaf sebelumnya.” Sonya memulai dengan hati-hati. “Apakah kemarin terjadi sesuatu?”

Pertanyaan itu membuat Rania menatapnya seketika. Tatapan itu tidak tajam seperti biasanya. Ada jeda sekitar dua detik sebelum ia kembali bertanya. “Apa maksudmu?” tanya Rania, nada suaranya terdengar datar.

Sonya mengatur napas. “Anda... tidak seperti biasanya, Bu.” Ia menelan ludah lagi, lalu melanjutkan, “Anda terlihat bingung. Jadi saya pikir.. mungkin ada sesuatu yang...”

“Tidak. Tidak ada apa-apa.” Potong rania. Suaranya datar, namun jelas itu bukan jawaban jujur. Meski begitu, ia tidak memberi ruang untuk Sonya mengajukan pertanyaan lagi. "Kamu bisa pergi sekarang.”

Sonya pun mundur beberapa langkah sebelum akhirnya keluar dari ruangan itu. Pintu tertutup perlahan, meninggalkan Rania sendirian dalam keheningan yang kembali menyesakkan dada.

Ia memejamkan matanya lalu kembali membuka matanya perlahan, menatap ponsel di meja. Nama Arkana terpampang jelas dengan beberapa pesan belum dibaca. Rania menghela napas panjang. Rasanya dunia masa depan ini semakin menyesakkan. Bukan hanya karena ia tidak mengenal kehidupannya... tetapi juga karena semua orang tampaknya mengenal dirinya atau lebih tepatnya versi dirinya yang bahkan tidak ia ketahui.

"Apa yang sebenarnya terjadi padaku... lima tahun terakhir ini?" Pertanyaan itu menggema lagi, tanpa jawaban.

.

.

.

Jangan lupa tinggalkan jejak...

1
Puji Hastuti
Seru
Puji Hastuti
Masih samar
Puji Hastuti
Semakin bingung tp menarik.
Erni Kusumawati
masih menyimak
Puji Hastuti
Menarik, lanjut kk 💪💪
Erni Kusumawati
duh.. semoga tdk ada lagi kesedihan utk Rania di masa depan
Puji Hastuti
Masih teka teki, tapi menarik.
Puji Hastuti
Apa yang akan terjadi selanjutnya ya, duh penasaran jadinya.
Puji Hastuti
Gitu amat ya hidup nya rania, miris
Erni Kusumawati
luka bathin anak itu seperti menggenggam bara panas menyakitkan tangan kita sendiri jika di lepas makan sekeliling kita yg akan terbakar.
Erni Kusumawati
pernah ngalamin apa yg Rania rasakan dan itu sangat menyakitkan, bertahun-tahun mengkristal dihati dan lama-lama menjadi batu yg membuat kehancuran untuk diri sendiri
Erni Kusumawati
mampir kk☺☺☺☺
chochoball: terima kasih kakak/Kiss//Kiss//Kiss/
total 1 replies
Puji Hastuti
Carilah tempat dimana kamu bisa di hargai rania
Puji Hastuti
Ayo rania, jangan mau di manfaatkan lagi
Puji Hastuti
Bagus rania, aq mendukungmu 👍👍
chochoball: Authornya ga di dukung nihhh.....
total 1 replies
Puji Hastuti
Memang susah jadi orang yang gak enakan, selalu di manfaatkan. Semangat rania
Puji Hastuti
Kasihan rania
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!