Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Rahasia di Balik Klinik”
Klinik itu kecil, berdiri di tepi kota — tidak mencolok, tapi terasa sunyi. Di balik tirai putihnya, rahasia besar sedang menunggu untuk dimulai.
Nayara menatap papan nama yang nyaris pudar. Di tangan kanannya, tas berisi mukena dan buku doa; di tangan kiri, ponsel yang baru saja ia gunakan untuk mengirim pesan ke adiknya.
> “Dek, Kakak agak lama di rumah sakit hari ini. Jangan lupa makan ya. Uang di toples masih ada, kan?”
Pesan dibaca, tapi tak dibalas. Nayara tahu, Nadim pasti sedang tidur. Tubuh adiknya belum sepenuhnya pulih setelah operasi besar itu. Luka di perutnya sudah menutup, tapi bekas ketakutan di mata bocah itu belum benar-benar hilang.
“Tenang saja, Nayara.”
Suara dokter Ardi membuyarkan lamunannya. “Semua sudah siap. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Nayara tersenyum tipis. “Saya percaya sama dokter, cuma...”
Kata itu terhenti. Dadanya terasa sesak.
“Cuma apa?” tanya Ardi lembut.
“Cuma... saya takut, Dok. Takut kalau suatu hari Nadim tahu... dan kecewa sama Kakaknya.”
Ardi menatapnya lama. “Anak itu tidak akan kecewa. Ia akan tahu kau berkorban untuknya.”
Nayara menunduk. Air mata menetes, tapi segera diseka. “Saya cuma ingin dia punya hidup yang layak. Bukan seperti saya.”
Di ruang observasi, Rendra duduk diam di kursi tunggu. Karina tidak ikut — katanya tak kuat. Tapi Rendra tahu, istrinya menunggu di mobil, menatap jam setiap sepuluh menit, menahan resah yang bercampur iri.
Saat dokter Ardi keluar, Rendra berdiri.
“Sudah siap?”
“Ya. Semua steril dan aman,” jawab Ardi. “Dia kuat. Mungkin lebih kuat dari yang kita kira.”
Rendra mengangguk, lalu melangkah pelan ke dalam ruangan.
Nayara sudah berbaring di meja tindakan. Wajahnya tenang tapi pucat. Di matanya, keteguhan dan rasa takut beradu diam-diam.
Rendra berhenti di sisi tempat tidur, bicara pelan.
“Kalau kamu ingin menunda—”
“Tidak, Pak,” potong Nayara lembut. “Kalau saya berhenti sekarang, semua yang sudah terjadi sia-sia.”
Ia menarik napas panjang.
“Biar saya jalani saja, asal Nadim bisa terus sekolah.”
Nama itu membuat dada Rendra sesak. Ia tidak pernah punya anak yang bisa ia lindungi. Kini, ia justru menggantungkan harapan pada rahim perempuan lain — dan di balik rahim itu, ada adik kecil yang hidupnya bergantung pada janji.
Proses berlangsung senyap. Hanya suara alat medis yang terdengar. Nayara menahan napas beberapa kali, tapi tidak mengeluh.
Selesai.
Ardi menatapnya dengan tatapan iba. “Kau hebat. Sekarang istirahat. Aku akan pastikan semuanya rahasia.”
Nayara mengangguk, lalu berbisik, “Kalau bisa, Dok... jangan bilang apa pun ke siapa pun. Saya takut kalau nanti Nadim dengar.”
“Tenang saja,” balas Ardi. “Ini akan jadi rahasia kita bertiga.”
Beberapa hari kemudian, Nayara tinggal sementara di rumah kecil dekat klinik. Karina membayar semua biaya, tapi tak pernah datang. Hanya Rendra yang kadang muncul — membawa makanan, vitamin, dan kabar dari rumah besar yang sepi.
Suatu sore, saat Rendra datang, Nadim duduk di lantai ruang tamu, merakit mainan bekas dari kardus. Tubuhnya masih kurus, tapi matanya cerah.
“Kak Nay lagi sakit ya, Pak?” tanya Nadim polos, menatap tamu itu.
Rendra tertegun sejenak. “Sedikit. Tapi nanti juga sembuh.”
“Kalau Kakak sakit, saya yang jaga,” kata bocah itu mantap.
Nayara muncul dari dapur, tersenyum tipis. “Nadim, jangan ganggu tamu. Ayo makan dulu.”
Bocah itu berlari kecil menghampiri kakaknya, lalu berbisik, “Aku udah minum obat, Kak. Jadi Kakak jangan khawatir.”
Rendra melihat pemandangan itu dalam diam — perempuan dengan mata lembut, dan bocah kecil yang menjadi seluruh alasannya. Ada sesuatu dalam kesederhanaan itu yang membuat dadanya berat.
Setelah Nadim masuk kamar, Rendra berbicara pelan, “Kau tidak harus menanggung semua ini sendiri.”
Nayara menatapnya cepat. “Saya sudah terlanjur, Pak. Dan… saya tidak menyesal.”
Ia menatap lantai, menahan air mata. “Selama Nadim hidup, semua layak.”
Malam turun pelan. Di kamar sempit itu, Nayara berdoa sambil menatap wajah adiknya yang tidur pulas.
> “Ya Allah, kalau ini salah, jangan hukum adikku. Biarlah semuanya untukku saja.”
Hujan turun di luar jendela.
Dan di seberang jalan, Karina menatap lampu rumah itu dari dalam mobil.
Wajahnya datar, tapi suaranya gemetar saat berbisik,
> “Kau boleh menolongku, Nayara… tapi jangan buat suamiku menatapmu seperti itu.”