Istri Rasa Selingkuhan

Kini Trista dan Andra telah mengenakan pakaian rapi. Mereka bersiap pergi meninggalkan hotel. Niatnya mereka akan pergi ke rumah baru yang berada satu komplek dengan rumah keluarga keduanya.

"Aku yakin mereka pasti bakalan nanyain malam pertama kita," celetuk Trista.

"Bilang saja semuanya berjalan lancar," sahut Andra.

"Aku yakin mereka akan bertanya lebih detail. Terutama mamaku."

"Ya jawab saja sebisanya. Kau sarjana kan? Masa menjawab gitu aja bingung."

"Loh, kok sewot sih! Aku kan cuma minta pendapat. Mau aku bilangin ke orang-orang kalau durasimu pendek?"

"Du-durasi? Enak aja! Coba aja nggak pernah. Katakan saja seadanya asal jangan mengada-ngada. Jangan memburukkanku!" Andra tak percaya Trista akan menyindir masalah privasi.

"Terserahku. Lagian larangan saling memburukkan nggak ada dalam kontrak kita kan?" balas Trista sambil melipat tangan ke depan dada.

"Aku akan tambahkan itu!"

Tak lama kemudian mereka tiba di tempat tujuan. Kedua keluarga mereka langsung menyambut. Mereka lantas sarapan bersama.

Ketika semua orang asyik ngobrol, Trista dan Andra hanya diam. Mereka bahkan hanya menjawab dengan singkat pertanyaan yang diberikan.

Andra dan Trista malah sama-sama bergegas pergi untuk bekerja. Dari sanalah orang tua mereka tahu kalau hubungan keduanya masih kaku.

"Melihat mereka bersikap begitu, aku yakin mereka belum melakukan malam pertama," imbuh Sari.

"Ya, aku juga merasa begitu," sahut Gina.

"Sudah... Kita beri saja mereka dulu waktu. Nggak ada pasangan yang sanggup tinggal satu atap tanpa saling menyentuh. Aku jamin itu," ujar Bimo percaya diri.

"Itu benar. Kita tunggu tanggal mainnya," sahut Ridwan. Dia dan yang lain segera kembali ke rumah.

Di sisi lain, Andra baru berhenti di depan sebuah cafe. Dia segera menemui Ajeng yang sudah menunggu. Gadis itu tampak cemberut, namun berbeda dengan Andra yang langsung tersenyum saat melihatnya.

"Kau sudah lama menunggu?" tanya Andra sembari duduk.

"Iya, tapi yang ditunggu malah menikah sama wanita lain," sahut Ajeng ketus.

"Ya ampun... Kamu masih kesal?"

"Ya iyalah! Apa yang sudah kau lakukan itu nggak bisa diterima!"

"Aku tahu. Aku benar-benar minta maaf..." Andra menggenggam tangan Ajeng.

"Kata maaf nggak bisa menyelesaikan semuanya. Coba kau yang ada diposisiku, kau pasti juga akan marah!" tanpa sadar tangis Ajeng pecah. Membuat orang-orang di sekitar otomatis menatap ke arahnya.

"Kau benar. Aku pasti nggak akan sekuat dirimu. Sekarang katakan padaku, apa yang kau inginkan? Aku akan berikan apapun itu," ujar Andra sembari mengusap air mata di wajah Ajeng.

"Beneran apapun itu?" Ajeng perlahan berhenti menangis.

"Iya Ajeng sayang... Apapun itu," ucap Andra sambil tersenyum puas.

"Kalau begitu belikan aku tas mahal. Ada keluaran terbaru," kata Ajeng.

Andra berusaha menahan tawa. Tas mahal atau apapun itu, dia tentu sanggup membelinya. "Oke, kita beli sekarang!" ajaknya.

"Tunggu aku habiskan minuman dulu," sahut Ajeng. Dia seperti anak kecil yang luluh karena disogok es krim.

Di waktu yang sama, Trista juga menemui kekasihnya ke bengkel tempat Regan bekerja. Di sana dia disuruh duduk menunggu, karena katanya Regan lagi mengantarkan mobil pelanggan.

Trista mengamati para montir di sana. Dia merasa kagum karena montir-montir di sana punya badan kekar dan bertato. Kesannya tidak seperti montir biasanya, tapi lebih pantas disebut preman.

"Eh, Don. Aku baru sadar kalau badan montir-montir di sini pada kekar semua. Apa itu efek setiap hari jadi montir?" tegur Trista pada salah satu rekan Regan.

"Ya begitulah, Mbak. Tapi sebenarnya itu karena kami sudah latihan sejak kecil," sahut Doni.

"Latihan? Emang latihan apa?"

Belum sempat Doni menjawab, Regan tiba dengan motornya. Regan tampak membonceng rekannya. Ia berhenti tepat di depan Trista.

"Gung! Berikan helmnya pada Trista!" suruh Regan.

Agung segera turun dan menyerahkannya helm pada Trista.

"Apaan nih?" Trista keheranan.

"Pakai dan naiklah!" titah Regan.

"Tapi--"

"Aku akan jelaskan semuanya, Tris! Termasuk siapa aku sebenarnya!" potong Regan.

Trista sebenarnya bingung dengan ucapan Regan. Tapi dia memilih naik ke motor dan memasang helmnya.

Tanpa pikir panjang, motor segera dilajukan oleh Regan. Sontak Trista kaget, dia refleks memeluk Regan dengan erat.

Regan menjalankan motornya dengan lihai. Melewati mobil-mobil dengan mudahnya. Jujur saja, itu membuat jantung Trista berdegup sangat kencang.

Tak lama kemudian Regan masuk ke sebuah gang dan berhenti di sebuah gedung terbengkalai pinggiran kota.

"Kau membawaku kemana? Jangan aneh-aneh deh, Gan..." ujar Trista.

"Turunlah dulu," kata Regan.

Trista segera turun dari motor. Kemudian di ikuti oleh Regan kemudian. Keduanya lantas melepas helm mereka.

"Kita mau ngapain di sini?" tanya Trista.

"Sudah saatnya aku mengatakan siapa aku sebenarnya, Tris..." jawab Regan.

Trista terkekeh geli. "Apaan sih. Serius banget. Emangnya kamu siapa? Bos mafia? Vampir?" balasnya.

"Kau menebak dengan benar tuh." Regan masih memasang raut wajah seriusnya.

"Hah? Jadi kau vampir? Apa itu berarti aku adalah manusia yang punya darah suci?" Trista tergelak lepas sampai menampakkan deretan giginya.

"Bukan, Tris. Tapi aku bos mafia," ungkap Regan.

"What? Bos mafia?" wajah Trista masih terlihat tak kuasa menahan tawa. "Kalau begitu, berarti kau punya markas besar dan anak buah yang kekar-kekar. Dan..." lanjutnya, tapi dia terdiam saat mengingat para montir di bengkel tadi. Mereka semua punya badan yang kekar.

"Terserah kau mau bilang apa. Tapi aku akan buktikan kalau aku memang bos mafia." Regan berbisik ke telinga Trista. Dia lalu menarik gadis itu untuk mengikutinya.