Naila baru saja turun dari bus dari luar pulau. Ia nekat meninggalkan keluarga karena demi menggapai cita-cita yang terhalang biaya. Naila lulus jalur undangan di sebuah kampus negeri yang berada di ibu kota. Namun, orang tuanya tidak memiliki biaya hingga melarangnya untuk melanjutkan pendidikannya hingga memaksanya menikah dengan putra dari tuan tanah di kampung tempat ia berasal.
Dengan modal nekat, ia memaksakan diri kabur dari perjodohan yang tak diinginkan demi mengejar mimpi. Namun, akhirnya ia sadar, biaya perguruan tinggi tidak bisa dibayar hanya dengan modal tekad.
Suatu saat Naila mencari pekerjaan, bertemu dengan balita yang keluar dari pekarangan tanpa penjagaan. Kejadian tak terduga membuat ia bekerja sebagai pengasuh bagi dokter tampan yang ditinggal mati oleh istri yang dicintainya.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Bukan Cinderela
Naila menggeleng dengan cepat. "Biar lah dulu ya Pak. Perjanjian kita kan ini semua jadi rahasia."
...****************...
Tiga hari setelah keluar dari rumah sakit, rumah Martin kembali hangat. Rindu mulai ceria lagi, Reivan doyan makan, dan Naila sibuk mengurus dua bocah itu seperti biasa—bedanya, kini semua tahu bahwa anak-anak itu sudah memanggilnya Mama dengan mantap.
Bu Juwita datang hampir setiap sore. Ia senang melihat perubahan suasana rumah. “Rumah ini dulu kayak rumah duka. Sekarang kayak taman kanak-kanak yang disponsori cinta,” komentarnya sambil tertawa geli.
Martin menanggapi datar seperti biasa. “Kalau terlalu ramai, Ibu sudah diperbolehkan pulang pulang.”
“Ternyata belum berubah juga... Kalau kamu terlalu dingin, Naila bisa lari lho?” timpal Marvel yang kebetulan datang membawa dua kantong buah, lengkap dengan ekspresi iseng.
Martin hanya menatap adiknya tanpa emosi, lalu kembali ke ruang kerjanya.
Naila menahan senyum. Ia mulai terbiasa dengan cara Marvel yang selalu melempar komentar aneh, lalu Martin kabur sebelum sempat memberi jawaban balik kepada adiknya.
...****************...
Pada malam hari di saat anak-anak sudah tertidur, Naila duduk di ruang tengah, mengerjakan tugas menggunakan laptop yang diberikan Martin.
“Dih, Udah kayak mahasiswa beneran kamu ya,” suara Marvel muncul dari belakang, mengejutkannya.
Naila menoleh cepat. “Om? Aku pikir udah pulang waktu Ibu pulang tadi." Setelah itu ia melanjutkan kesibukannya.
“Sebenarnya aku sengaja menunggu suasana sepi seperti ini. Aku ingin berbicara leluasa denganmu tentang hal-hal yang belum kutemui jawabannya,” Ia menjatuhkan tubuh ke sofa.
Naila kembali memutar kepala. “Sebenarnya aku juga ingin bertanya, kenapa Om tidak menyaksikan akad nikah kami?"
"Hmmm, sebenarnya aku menyaksikan di saat kakakku menyebutkan namamu dalam ijab kabul itu. Hanya saja, kalian terlalu fokus dalam kebahagiaan hingga tidak menyadarinya."
Ia teringat diam-diam menyaksikan ijab kabul tersebut di balik pintu kamar rawat Rindu. Tangannya mengepal hingga semburat warna hijau kebiruan seolah menyembul di balik kulitnya yang cukup terang. Itu bukan yang pertama kali kecewa yang ia rasakan. Di mana, hal yang sama terjadi dan di saat itu ia yang tak memiliki apa-apa hanya bisa mendoakan sang kakak dengan pujaannya mengikrarkan janji suci.
Marvel menatapnya lama, sebelum berkata pelan, “Kamu tahu nggak... kalau kamu itu sangat mirip sama seseorang?”
Naila kembali melompat pada bayangan pertama kali menginjakan kaki di rumah Bu Juwita yang kali ini menjadi ibu mertuanya. “Hmmm ..." Ia hanya bisa mendesah dan menyandarkan diri pada sandaran kursi yang diduduki.
“Sebenarnya, dulu aku pernah menyukai seseorang. Tapi, pada akhirnya aku hanya bisa mengejar bayangannya sampai lupa dia udah pergi memilih yang lain.”
Naila diam, ada rasa canggung muncul ketika tiba-tiba Marvel menceritakan kisah pribadinya.
"Kali ini, kisah itu terjadi lagi."
Naila menunduk, menggenggam ujung bajunya yang sudah kusut karena diremat sejak obrolan dimulai.
Marvel menatap langit-langit ruang tengah yang remang, matanya kosong tapi nadanya getir. “Bedanya, dulu aku masih bisa marah, masih bisa nangis. Sekarang? Aku cuma bisa senyum dan pura-pura jadi badut.”
“Om Marvel…” Naila menoleh pelan.
Marvel tersenyum, tipis. “Nggak usah kasihan. Aku nggak butuh dikasihani. Aku cuma butuh kamu tahu, bahwa ada seseorang di rumah ini yang ngerti rasanya kehilangan, meski yang diambil bukan miliknya secara sah.”
Naila menggigit bibirnya. “Aku nggak pernah niat menyakiti siapa pun…”
“Aku tahu,” sela Marvel cepat. “Kamu nggak salah. Kamu cuma… hadir di waktu yang salah, buat orang yang salah satunya nggak bisa melupakan.”
Hening sesaat.
Marvel bangkit, meraih tasnya. Tapi sebelum melangkah, ia menoleh sekali lagi. “Aku cuma minta satu hal, Nail. Jangan pernah pura-pura bahagia kalau sebenarnya kamu nahan luka.”
Ia melangkah ke pintu, lalu berhenti sebentar. “Dan kalau suatu hari kamu benar-benar ngerasa butuh tempat buat cerita… bukan rumah ini, tapi kamu. Kamu sendiri. Aku akan tetap di sini.”
Pintu tertutup perlahan. Naila masih duduk di tempat yang sama, menatap layar laptop yang sudah padam, tapi pikirannya menyala-nyala.
...****************...
Keesokan paginya, bukan suara anak-anak yang membuat rumah ramai. Tapi suara mesin mobil mewah yang berhenti tepat di depan pagar.
Dari dalamnya turun dua wanita: Bu Inge dan Vini.
Bu Juwita yang tengah menemani Rindu di halaman langsung berdiri. Tatapannya tenang tapi ia seakan membaca sesuatu yang mungkin telah diprediksi jauh sebelumnya.
Naila baru keluar dari dapur membawa camilan, lalu tertegun melihat mereka.
Vini melangkah masuk dengan gaya anggun yang berlebihan. “Halo, Tante Juwita. Wah... rumahnya sekarang ramai, ya.”
“Ya, tentu ... Dan lebih hangat tentunya,” sahut Bu Juwita tanpa senyuman.
Bu Inge tersenyum, untuk memecah suasana yang ia rasa sedikit kaku. “Kami dengar Rindu dirawat dan ketika ingin mengunjungi, Martin melarang kami. Kebetulan beberapa waktu terakhir ada pekerjaan yang tak bisa ditinggal membuat kami baru bisa datang saat ini."
"Bagaimana keadaan Rindu? Oh ya, adiknya juga bagaimana kabarnya?"
Vini menatap Naila sejenak, lalu tersenyum semanis mungkin. Akan tetapi, semua bisa menyaksikan senyuman itu tampak terpaksa menghiasi bibirnya. “Wah, apa benar ini Naila yang dulu? Kok makin hari makin cantik? Sepertinya, semua yang ada di sini terlihat sangat menyukaimu." Ia kembali memperhatikan semua yang melekat dari kepala hingga kaki.
"Waaah, sepertinya kamu berhasil ya? Ternyata, bekerja sebagai pengasuh itu bisa seenak ini ya?" Vini melirik sang Ibu.
"Ma, semua pakaiannya baru nih? Branded pula," sindirnya. "Jadi sekarang seperti ini, pakaian mahasiswanya Papa?"
Naila menunduk memeriksa kembali busana yang ia pakai. Benar pakaian yang ia pakai saat ini dibelikan Martin karena pakaian pemberian dari Pak Nugraha tak boleh lagi dipakai. Namun, ia tak tahu pakaian branded atau tidak itu seperti apa. Yang jelas baginya, pakaian itu harus menutup sesuai ketentuan agama.
“Kak?”
Mendengar itu, Vini tertawa kecil. “Lucu. Tapi lebih lucu kalau kamu nggak kebanyakan main drama di rumah orang," tambahnya lagi.
Suara berat Martin tiba-tiba terdengar dari ambang pintu. “Cukup.”
Semua diam.
Martin melangkah pelan bersama Mbak Mel yang membawa sebuah kantong yang cukup besar. Mereka pun berdiri tepat di samping Naila.
“Kalau niatnya cuma datang untuk menilai dan mengganggu, lebih baik pulang. Anakku masih dalam masa pemulihan. Aku nggak mau ada yang membuatnya merasa terganggu.”
“Eh, Martin—Maaf, kami datang bukan untuk mengganggu.” Bu Inge menyerahkan bingkisan tangan yang mereka bawa, tapi Martin mengangkat tangan.
Martin memberikan aba-aba pada Mbak Mel dan seakan paham menyerahkan kepada Vini yang tak memegang apa pun. Vini tanpa memahami sedikit bingung meski ia tetap menerimanya.
"Apa ini untukku?"
"Ini punyamu."
"Maksudnya?"
"Buka lah!"
Vini membuka ikatan kantong dan keningnya pun sedikit mengerut. "I-ini?" Vini membulatkan mata menatap Naila kesal.
"Silahkan dibawa kembali. Aku sudah menyisipkan uang sewa yang cukup bayaran selama dipakai oleh Naila. Sekarang, kamu jangan lagi mengungkit-ungkit apa pun yang dipakai Naila."
"Martin! Kenapa kamu selalu membela anak kampung ini?" Bu Inge pun meninggikan suara merasa tersinggung oleh perlakuan anak dari rekannya ini.
"Karena dia ...." Martin melirik Naila kembali.
“Karena aku tak suka kalian selalu merendahkan pengasuh anakku.”
Suasana berubah hening. Naila menggenggam ujung bajunya lagi, menahan detak jantung yang mulai tak karuan karena takut Martin mengatakan hal sebenarnya.
Vini meliriknya dengan sinis. “Ternyata kamu berhasil ya, anak kampung... rumah ini bukan tempat buat mimpi ala Cinderella dongeng masa kecilmu, sayang.”
Dengan wajah kesal, Vini menarik lengan ibunya pergi. Setelah tak ada lagi bayangan ibu dan anak itu, Naila beranjak duduk lama di ayunan halaman belakang. Ucapan Vini tak henti terngiang dalam pikirannya.
"Benar kata mereka. Aku tak pantas menjadi apa pun di sini, termasuk istri."