Bu Ninda merasakan keanehan dengan istri putranya, Reno yang menikahi asistennya bernama Lilis. Lilis tampak pucat, dingin, dan bikin merinding. Setelah anaknya menikahi gadis misterius itu, mansion mereka yang awalnya hangat berubah menjadi dingin dan mencekam. Siapakah sosok Lilis yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Yang Mencekam
Di butik gaun pengantin mewah. Cermin-cermin besar, manekin bergaun putih, dan suasana yang elegan.
Alice si calon pengantin tampak anggun dan bersemangat. Alice berdiri di depan cermin, mengenakan gaun yang cantik namun terasa kurang pas. Aline bergerak cepat di antara deretan gaun, tangannya menyentuh berbagai bahan satin, lace, sifon.
Dengan mata yang fokus. Dimas duduk di sofa mewah, memegang majalah, namun matanya lebih sering tertuju pada Alice.
Alice sambil memutar badan bertanya,
"Bagaimana, Lin? Gaun yang ketiga ini? Bagus, tapi rasanya terlalu standar. Aku ingin yang wah!"
Aline maju, membenarkan bahu gaun Alice.
"Bagus, tapi aku setuju. Terlalu safe. Tunggu, aku sudah menandai dua gaun yang mungkin cocok dengan siluet tubuhmu dan tema pesta."
Aline kembali ke rak gaun. Dimas tersenyum pada Alice, lalu pada Aline.
"Kalian tidak perlu buru-buru. Aku di sini untuk menikmati prosesnya. Yang penting, Alice nyaman dan merasa jadi ratu." kata Dimas.
Aline tanpa menoleh, suaranya sedikit tegang,
"Tentu saja, Dimas. Itu tujuan kita."
Aline berhasil mengambil dua gaun satu gaun mermaid dengan detail beading yang rumit, dan satu lagi gaun ballgown klasik dengan tulle bertumpuk.
Aline menyodorkan gaun mermaid.
"Coba yang ini dulu. Detail lace-nya menonjolkan pinggangmu. Ini adalah
gaun terbaik yang ada di butik ini, aku yakin!"
Alice dengan bersemangat menuju ruang ganti, dibantu oleh seorang staf butik.
Beberapa saat kemudian, tirai ruang ganti terbuka. Alice keluar mengenakan gaun ballgown bertumpuk. Gaun itu mengubahnya menjadi sosok yang benar-benar memukau elegan, bercahaya, dan terlihat sangat bahagia.
Dimas seketika meletakkan majalahnya. Wajahnya bersinar. Dimas terdiam sejenak, lalu berbisik penuh kekaguman,
"Alice sayang... Itu dia."
Alice berputar perlahan, matanya berbinar,
"Benarkah, Dimas? Aku juga... aku merasa ini gaunku."
Dimas bangkit dari sofa dan berjalan menghampiri Alice. Dia meraih kedua tangan Alice, memutarinya, dan menatapnya dengan penuh cinta.
Dimas sambil menggenggam tangan Alice, suaranya berat berkata,
"Kamu terlihat... sempurna. Aku tidak bisa membayangkan kamu memakai yang lain. Kita ambil yang ini beib."
Alice tertawa bahagia, menyandarkan kepalanya ke bahu Dimas.
"Thank you, beib."
Dimas memeluk Alice dengan mesra. Pemandangan itu, Dimas yang begitu mencintai dan Alice yang membalas cintanya, memenuhi ruangan.
Aline berdiri di dekat manekin, memegang gaun mermaid yang gagal dipilih. Tatapannya tertuju pada Dimas dan Alice yang sedang larut dalam momen bahagia mereka.
Aline melihat cara Dimas memandang Alice sebuah pandangan yang dulu ia harapkan akan diarahkan padanya. Ia melihat sentuhan Dimas pada gaun Alice, sentuhan yang penuh janji.
Sebuah sengatan tajam terasa di dada Aline. Ia menarik napas dalam-dalam. Gaun yang ia cari, gaun terbaik yang ia yakini akan membuat Alice bersinar, justru menjadi pemicu kepedihan tersembunyinya.
Aline berusaha keras agar suaranya terdengar normal, meskipun ada getaran kecil.
"Nah, kalau calon pengantin prianya sudah setuju seratus persen, berarti misiku selesai. Alice, kamu harusnya tahu, aku memang tidak pernah salah pilih."
Aline memaksa bibirnya tersenyum, namun matanya sesaat menampakkan kilasan kesedihan sebelum ia cepat-cepat membuang muka dan pura-pura memeriksa tag harga gaun di depannya.
Dimas dan Alice berpisah dari pelukan, keduanya tersenyum pada Aline.
Alice berjalan mendekat, memeluk Aline,
"Terima kasih banyak, Lin. Kamu memang yang terbaik! Kamu sudah membantuku memilih gaun impianku."
Dimas menghampiri Aline, menepuk bahunya dengan akrab,
"Thanks, Lin. Kau memang calon adik ipar terbaik. Sekarang tugasku yang bayar gaun impian ini."
Dimas tertawa, lalu kembali merangkul pinggang Alice, menuntunnya untuk berbicara dengan staf butik tentang proses pembayaran.
Aline menatap punggung kedua pasangan itu. Senyumnya terasa kaku. Rasa cemburu itu mencengkeramnya, membuat suksesnya dalam mencari gaun terbaik terasa seperti kekalahan pribadi.
Ia hanya bisa bergumam lirih pada dirinya sendiri.
Aline berkata pelan, hampir tak terdengar,
"Ya... terbaik."
Keesokan malamnya di kamar tidur Alice. Kamar yang rapi dengan sentuhan feminin. Sebuah cermin besar berdiri di sudut, dan gaun pengantin yang baru dibeli tergantung di lemari terbuka, memancarkan pesonanya.
Pukul 21:00
Lampu kamar remang-remang, hanya menyisakan cahaya lembut dari lampu tidur. Alice baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya diikat longgar, wajahnya bersih tanpa makeup. Ia berjalan menuju lemari, matanya terpaku pada gaun pengantinnya.
Senyum tipis terukir di bibirnya.
Ia dengan hati-hati mengambil gaun itu, melepaskan gantungan bajunya, dan membentangkannya di ranjang. Ia menyentuh bahan brokat dan lace yang lembut, membayangkan dirinya menikah.
Alice berbisik pada dirinya sendiri, penuh kebahagiaan,
"Rasanya masih seperti mimpi..."
Alice mulai mencoba gaun itu sendirian. Aline sedang pergi ke luar rumah sejak satu jam yang lalu dia belum juga kembali sehingga Alice berusaha sendiri.
Ia kesulitan mengaitkan kancing-kancing di punggungnya, memutar-mutar tubuhnya di depan cermin, sesekali tertawa kecil karena kesulitan.
Setelah beberapa usaha, gaun itu akhirnya terpasang sempurna di tubuhnya. Ia berputar sekali lagi, mengagumi pantulan dirinya. Gaun itu memeluk tubuhnya dengan indah, membuatnya terlihat seperti putri dari dongeng.
Di luar jendela kamar Alice, yang sedikit terbuka karena gerah, bayangan gelap bergerak. Seorang berjubah hitam dengan tudung menutupi sebagian wajahnya dan topeng hitam polos menutupi sisanya, mengendap-endap di taman.
Matanya yang tajam mengawasi Alice dari kejauhan. Pria itu bergerak cepat dan senyap menuju jendela kamar Alice. Dengan cekatan, ia membuka jendela yang belum dikunci lebih lebar, memastikan tidak ada suara. Ia melangkah masuk ke dalam kamar, seperti bayangan yang tak terdeteksi.
Alice masih sibuk mengagumi dirinya di cermin, senyumnya belum memudar. Tiba-tiba, ia merasakan hembusan udara dingin di belakangnya, diikuti dengan gerakan cepat.
Sebelum sempat bereaksi atau berteriak, sebuah tangan membekap mulutnya. Tubuhnya ditarik mundur dengan paksa, gaun pengantin yang baru saja ia kenakan menjadi kusut dan sedikit robek.
Alice terkejut, matanya membelalak ketakutan saat melihat sosok berjubah hitam bertopeng yang menyergapnya.
Pria itu mendekap Alice dari belakang, tangannya yang lain dengan cepat meraih seutas tali dari balik jubahnya.
Alice mencoba berteriak, suaranya teredam oleh bekapan tangan.
"Mmmph!"
Alice mencoba melawan sehingga banyak perabotan di kamar jadi berantakan. Pria itu mengabaikan perlawanan Alice. Dalam hitungan menit, ia berhasil mengikat pergelangan tangan Alice dengan erat ke belakang, lalu membungkam mulutnya dengan kain tebal. Gaun pengantin impiannya kini terasa seperti jerat yang membelenggu.
Alice meronta-ronta, mencoba melepaskan diri, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Gaunnya robek semakin parah di beberapa tempat. Pria berjubah hitam itu hanya menatapnya tanpa ekspresi, matanya dingin dan tak terbaca di balik topeng.
Alice hanya bisa menggelengkan kepalanya ketakutan, napasnya terengah-engah. Mimpi indahnya baru saja berubah menjadi mimpi buruk.
Bersambung