NovelToon NovelToon
Mahar Satu Miliar Dari Pria Impoten

Mahar Satu Miliar Dari Pria Impoten

Status: tamat
Genre:Penyesalan Suami / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pengantin Pengganti / Terpaksa Menikahi Suami Cacat / Tamat
Popularitas:399.5k
Nilai: 4.9
Nama Author: Aisyah Alfatih

Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.

Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

03. Dia bereaksi padanya.

Cahaya matahari menyelinap lembut di sela tirai kamar. Arum bangun lebih awal, masih dengan perasaan asing terhadap rumah besar itu. Dia melirik jam di meja rias, lalu bergegas mengenakan pakaian sederhana dan merapikan rambutnya. Hari pertamanya sebagai istri keluarga Argantara dimulai dan entah kenapa, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.

Saat hendak keluar dari kamar, langkahnya terhenti. Suara keras terdengar dari kamar sebelah, kamar Reghan.

“Brengsek! Sial!" Suara bentakan itu disertai bunyi benda jatuh. Arum sontak panik, menempelkan telinga ke pintu. Ada suara air mengucur dari kamar mandi, lalu dentuman berat lagi, disusul desahan tertahan seperti orang kesakitan.

Tanpa pikir panjang, Arum memutar gagang pintu.

“Tuan Reghan?”

Tak ada jawaban dari panggilan Arum, dia menelan ludah, lalu membuka pintu lebih lebar dan masuk. Suara air semakin jelas, bercampur dengan helaan napas berat. Dari arah kamar mandi yang pintunya sedikit terbuka, terdengar lagi suara Reghan, penuh frustrasi dan kemarahan.

“Aku akan melakukannya sendiri!"

Arum menahan napas, sesuatu dalam suaranya terdengar bukan sekadar marah, tapi juga terluka. Ia akhirnya melangkah cepat, membuka pintu kamar mandi tanpa mengetuk.

Pandangan pertamanya langsung membuatnya terdiam. Reghan tengkurap di lantai marmer yang basah, tanpa sehelai benang pun di tubuhnya. Air pancuran masih menyala, meneteskan sisa hujan buatan di sekujur punggungnya yang dipenuhi bekas luka lama. Salah satu tangannya bergetar berusaha menopang tubuh, tapi lemah.

“Keluar!” bentaknya parau dan tajam saat melihat Arum berdiri di ambang pintu kamar mandi, mencoba menegakkan diri tapi gagal.

Air jatuh membasahi rambutnya yang hitam, menutupi sebagian wajahnya yang tegang dan penuh amarah.

Arum menatapnya sejenak, jantungnya berdegup kencang, tapi bukan karena malu hanay saja karena iba. Ia melangkah masuk, mengambil handuk besar yang tergantung, lalu berjongkok di samping Reghan.

“Aku bilang keluar!” suaranya makin keras, nyaris bergetar oleh ego yang terluka. Namun Arum tetap diam, dengan hati-hati membungkus handuk di sekitar tubuh Reghan, lalu menarik napas dalam-dalam. “Tuan akan kedinginan kalau terus begini, aku hanya membantu.”

Reghan menatapnya dengan mata tajam, penuh bara, tapi tubuhnya tak kuasa menolak ketika Arum membantu memapahnya perlahan ke kursi roda yang terparkir di dekat pintu. Setiap sentuhan kecil dari tangan Arum seolah menjadi tamparan bagi harga dirinya.

“Jangan sentuh aku lagi,” desisnya pelan tapi menggigit. “Aku tidak butuh belas kasihanmu. Aku tahu kau di sini hanya karena uang.”

Arum menunduk, bibirnya bergetar kecil, tapi ia tetap membantu Reghan mengenakan baju mandi dengan tangan yang tenang.

“Kalau aku di sini karena uang,” ucapnya lirih, “biarlah uang itu yang bekerja hari ini untuk membantu Tuan berdiri.”

Reghan terdiam sesaat, lalu menepis tangan Arum kasar.

“Keluar!”

Arum menatapnya sejenak ada amarah, ada sedih, tapi lebih dari itu, ada kelelahan yang dalam. Dia berdiri perlahan, menunduk sopan. “Baik, Tuan.”

Langkahnya menjauh, meninggalkan aroma sabun dan air yang masih menetes di lantai.

Ketika pintu tertutup, Reghan menatap bayangan dirinya di cermin, tangan kanannya mengepal erat. Air mata yang tak seharusnya jatuh, menetes tanpa ia sadari.

“Lemah,” gumamnya getir. “Bahkan untuk membenci, aku masih butuh bantuan wanita itu.”

Sementara di luar, Arum berdiri memegang gagang pintu, menahan napas panjang. Hatinya berdenyut aneh, bukan karena takut, tapi karena iba pada seseorang yang begitu keras menolak kelembutan, padahal yang paling ia butuhkan hanyalah dipahami.

Reghan menatap kosong ke arah cermin besar di kamarnya. Bajunya masih setengah terbuka, air dari rambutnya menetes ke bahu, menuruni leher yang menegang. Napasnya belum stabil antara menahan marah dan malu. Semua harga dirinya seolah hancur saat tubuhnya terjatuh di lantai marmer tadi, tak mampu berdiri tanpa bantuan seorang wanita.

“Menjijikkan…” desisnya lirih, tangannya mengepal di atas pangkuan, menatap refleksi wajahnya sendiri yang tampak asing.

“Bahkan untuk berdiri saja aku butuh dikasihani.”

Dia memutar kursi rodanya pelan, menghadap ke jendela besar yang terbuka sedikit. Hujan semalam masih meninggalkan sisa embun di dedaunan taman belakang. Udara terasa lembap, sunyi. Ia menatap keluar, mencoba menenangkan diri. Namun, rasa frustrasi di dadanya tak kunjung reda.

Tiba-tiba, terdengar ketukan lembut di pintu.

Reghan tak menjawab. Pintu itu terbuka perlahan, menampakkan sosok Arum yang masuk dengan langkah hati-hati sambil membawa secangkir teh beruap. Wangi jahe segar menyebar di udara. Arum mendekat tanpa banyak bicara, meletakkan cangkir itu di atas nakas di samping kursi Reghan.

“Teh jahe,” ucapnya pelan, suaranya lembut tapi terdengar mantap.

“Setelah terlalu lama di air dingin, Tuan bisa masuk angin. Minumlah selagi hangat.”

Reghan menoleh perlahan, menatap perempuan itu dengan pandangan tajam.

“Aku tidak butuh perhatianmu.”

Arum tersenyum tipis, tidak tersinggung. “Saya tidak peduli Tuan butuh atau tidak. Saya hanya tidak ingin Oma marah kalau Tuan jatuh sakit.”

Kalimat itu membuat Reghan mendengus pelan, lalu memalingkan wajah.

“Pergilah,” katanya datar. “Aku bisa mengurus diriku sendiri.”

Namun sejenak kemudian, sesuatu membuat Reghan terdiam. Arum baru saja menunduk untuk mengambil pakaian bersih dari lemari kecil dan tanpa sadar berdiri begitu dekat dengannya. Aroma tubuh Arum campuran sabun bunga dan hangat kain yang bersih tercium samar di udara, membuat napas Reghan tersendat.

Tubuhnya menegang, ada sensasi aneh di dalam dirinya, sesuatu yang selama setahun ini diyakininya telah mati sejak kecelakaan, sejak dokter mengatakan kata yang paling ia benci, yaitu impoten.

Matanya menatap kosong ke arah lantai, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Tidak, bahkan dia tidak menolak merasakannya. Ia hanya menolak percaya bahwa tubuhnya masih bisa bereaksi terhadap siapa pun terlebih terhadap wanita yang menikahinya karena uang.

“Aku bilang pergi,” katanya lagi, kali ini lebih pelan tapi bergetar. Arum menatapnya sebentar, kemudian dengan sabar mengambil kemeja yang terlipat rapi dan membantu Reghan mengenakannya. Gerakannya tenang, penuh kehati-hatian. Setiap kali jarinya menyentuh kulit Reghan, lelaki itu menahan napas antara amarah dan sesuatu yang sulit diakui. Begitu kancing terakhir terpasang, terdengar ketukan di pintu.

“Permisi, Tuan Reghan,” suara pelayan terdengar dari luar.

“Dokter pribadi Tuan sudah datang untuk pemeriksaan rutin.”

Arum menoleh ke arah pintu, lalu menjawab tenang, “Tolong tunggu sebentar, kami hampir selesai.”

“Baik, Nyonya,” jawab pelayan itu sopan.

Setelah suara langkah menjauh, Arum menatap Reghan.

“Tuan sebaiknya segera diperiksa. Dokter pasti sudah menunggu sejak pagi.”

Reghan menghela napas panjang. “Kau terlalu banyak ikut campur.”

Arum menunduk sedikit, suaranya nyaris seperti bisikan.

“Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang istri.”

Reghan terdiam, tidak ada yang ia balas. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar, berdetak lembut di antara mereka.

Beberapa detik kemudian, Arum melangkah menuju pintu, hendak keluar memanggil pelayan untuk mempersilakan dokter masuk. Tapi sebelum ia sempat membuka pintu, suara Reghan memecah keheningan di belakangnya datar, namun kali ini lebih tenang,

“Tinggalkan tehnya.”

Arum menatapnya sebentar, lalu mengangguk kecil. “Baik, Tuan.”

Ketika pintu tertutup, Reghan menatap cangkir beruap itu. Tangannya terulur pelan, menggenggam gagangnya dengan kaku. Ia menatap cairan hangat di dalamnya, dan untuk pertama kalinya sejak lama, tubuhnya berhenti bergetar. Entah karena teh itu, atau karena kehadiran seorang perempuan yang tidak ia inginkan tapi diam-diam mulai mengusik hatinya.

'Jika ini bereaksi pada Arum, mungkin akan bereaksi juga pada orang lain,' batin Reghan menatap pintu yang kini perlahan terbuka, dokter masuk dengan senyum kaku, menyapa Reghan pelan.

1
Mama AldyNovi
kyaknya tiap malam hujan deh
Nidah Hanidah
dehhhh heran, emang disitu gak ada cctv ya, kok gak di cek dlu
Surati
Bagus ceritanya 👍🙏🏻
Sunny Sunny
bagus, gak bertele2 alurnya, tokoh Dr Gavin sgt mulia, mencintai tidak berarti memiliki 🙏, cuma sayang tokoh yg jahat kok gak bertobat ya, kyk si mantan
Aisyah Alfatih: buang mantan pada tempat nya 🙊
total 1 replies
Zila Kamsirah
Terima kasih saya suka jalan cerita ini
Nilovar Beik
novel ini AQ tamatkan bacanya dlm sehari...bagus banget
Aisyah Alfatih: terima kasih kak 💕
total 1 replies
Nilovar Beik
bagus Oma...gercep sekali
Nilovar Beik
kasiannya Arum...tega bener ya
Wonti Sudarmi
foto Arum Revano dan reghan mana auotor



foto Arum Revano dan reghan mana
ken darsihk
Arum masih ragu dngn semua nya
ken darsihk
Pelan2 Reaghan jangan memaksa semua nya akan baik2 sajah , klo kamu nya sabar
ken darsihk
Semoga sajah x ini tidak ada lagi prahara yng mengacaukan rumah tangga mereka
ken darsihk
Aq lanjut baca lg thor 🌹🌹👍
Shankara Senja
baru nemu,trus baca eh..pengen tutup buku..maaf saya ga suka wanita lemah dngn berbagai alasan..yg tdnya kabur dngn satu alasan ga masuk akal kembali lg..byeeeee
Shankara Senja
kan..gampang,simpel..udah bucin..mo berdarah darah jg balik lg..
Shankara Senja
ga usah pake kabur deh klo ujung ujung nya bersatu lg....cape cape in aja
ken darsihk
Syedih 😭😭😭😭
Rajo kaciak
/Sun//Sun//Sun/
Rahpuji Haningrum
Oma Hartati sadar diri, kamu dulu yang membiarkan hukum cambuk tanpa dengarkan siapa yang salah
Rahpuji Haningrum
rasakan reghan, cinta kok membiarkan istri dicambuk.
lihatlah dulu siapa yang salah.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!