Gavin Adhitama (28 tahun) adalah menantu yang paling tidak berguna dan paling sering dihina di Kota Jakarta. Selama tiga tahun pernikahannya dengan Karina Surya (27 tahun), Gavin hidup di bawah bayang-bayang hinaan keluarga mertuanya, dipanggil 'pecundang', 'sampah masyarakat', dan 'parasit' yang hanya bisa membersihkan rumah dan mencuci mobil.
Gavin menanggung semua celaan itu dengan sabar. Ia hanya memakai ponsel butut, pakaian lusuh, dan tidak pernah menghasilkan uang sepeser pun. Namun, tak ada satu pun yang tahu bahwa Gavin yang terlihat kusam adalah Pewaris Tunggal dari Phoenix Group, sebuah konglomerat global bernilai triliunan rupiah.
Penyamarannya adalah wasiat kakeknya: ia harus hidup miskin dan menderita selama tiga tahun untuk menguji ketulusan dan kesabaran Karina, istrinya—satu-satunya orang yang (meski kecewa) masih menunjukkan sedikit kepedulian.
Tepat saat waktu penyamarannya habis, Keluarga Surya, yang terjerat utang besar dan berada di ambang kebangkrutan, menggan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rikistory33, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Eclipse
Pesawat Gulfstream G700 milik Phoenix Group tidak kembali ke Jakarta. Di tengah penerbangan di atas Laut Cina Selatan, Gavin Adhitama memerintahkan pilot untuk mengubah haluan ke Bandara Seletar, Singapura.
Di dalam kabin, suasana tegang menggantikan rasa lelah. Informasi dari Kenjiro Tanaka di Kyoto telah mengubah segalanya. Julian Adhitama, sepupu yang seharusnya hancur dan bangkrut, baru saja menerima transfer dana dalam jumlah besar dari entitas yang terkait dengan OmniCorp. Ini bukan sekadar upaya untuk bertahan hidup, ini adalah pendanaan untuk sebuah serangan balik.
"Singapura adalah tempat yang sempurna bagi hantu untuk bersembunyi," kata Gavin, sambil menatap kelap-kelip lampu kapal kargo di selat Singapura dari jendela pesawat. "Hukum kerahasiaan perbankan yang ketat, ribuan perusahaan cangkang, dan akses mudah ke laut lepas. Julian ada di sana untuk mencuci uang itu sebelum menggunakannya."
Karina duduk di seberangnya, menggunakan jari-jarinya menari di atas tablet yang terhubung ke mainframe Yayasan Integritas Adhitama (YIA).
"Aku sedang melacak rekening penerima yang disebutkan Tanaka," lapor Karina. "Rekening itu ada di Vanguard Asia Private Bank. Itu adalah bank butik yang sangat eksklusif, hanya melayani nasabah dengan kekayaan bersih di atas $100 juta. Mereka tidak akan memberikan informasi hanya karena kita memintanya."
"Mereka akan memberikannya," jawab Gavin dingin. "Karena malam ini, kita tidak datang sebagai nasabah. Kita datang sebagai pemilik Dana Tujuh Pilar, salah satu penyedia likuiditas terbesar di pasar Asia saat ini. Jika mereka menolak, saya akan menarik seluruh aset Adhitama dari jaringan kliring mereka."
***
Pukul 10 malam. Iring-iringan mobil Gavin berhenti di depan gedung pencakar langit di kawasan Raffles Place. Meskipun jam operasional bank sudah tutup, lampu di lantai eksekutif Vanguard Asia menyala terang. Gavin telah membuat panggilan telepon lima menit sebelum mendarat, sebuah panggilan yang memaksa CEO bank tersebut bangun dari tempat tidur dan bergegas ke kantor.
Gavin dan Karina melangkah masuk ke lobi marmer, diapit oleh Beny dan Letnan Dika. Mereka disambut oleh Mr. Wu, CEO Vanguard Asia, seorang pria berkacamata yang tampak gugup dan berkeringat dingin.
"Tuan Adhitama, Nyonya Adhitama," sapa Mr. Wu, membungkuk dalam-dalam. "Suatu kehormatan yang mendadak. Saya tidak menyangka..."
"Simpan basa-basi itu, Mr. Wu," potong Gavin, terus berjalan menuju elevator pribadi. "Saya tahu Anda memfasilitasi transaksi untuk Julian Adhitama kemarin. Dana sebesar $20 juta masuk ke rekening yang Anda kelola. Saya ingin tahu sumbernya, dan saya ingin tahu di mana Julian sekarang."
Di ruang rapat eksekutif yang dingin, Mr. Wu mencoba bertahan. "Tuan Adhitama, Anda tahu aturan kerahasiaan Singapura. Saya tidak bisa membuka data nasabah lain, bahkan kepada keluarga sendiri, tanpa perintah pengadilan."
Karina meletakkan tablet-nya di meja. Layar itu menampilkan grafik aliran dana global Vanguard Asia.
"Mr. Wu," kata Karina, suaranya tenang namun sangat menekan. "Data kami menunjukkan bahwa Vanguard Asia memiliki eksposur utang yang besar pada instrumen derivatif baja yang jatuh minggu lalu. Bank Anda sedang dalam kondisi insolven secara teknis. Satu-satunya alasan regulator belum menutup Anda adalah karena Anda menyembunyikan kerugian itu."
Karina mencondongkan tubuh ke depan. "Jika kami merilis laporan analisis YIA tentang kesehatan bank Anda besok pagi, akan terjadi rush money (penarikan dana massal). Bank Anda akan runtuh sebelum jam makan siang."
Wajah Mr. Wu memucat. Dia menyadari bahwa dia tidak berhadapan dengan preman, melainkan dengan predator finansial yang memegang nyawanya.
"Baiklah," bisik Mr. Wu, menyerah. Dia mengetikkan sandi di terminal komputernya. "Rekening itu... memang atas nama Julian Adhitama. Tapi uang itu tidak datang langsung dari OmniCorp."
"Lalu dari mana?" tanya Gavin.
"Uang itu berasal dari 'The Black Lotus Group' (Kelompok Teratai Hitam)," jawab Mr. Wu. "Itu adalah sindikat shadow banking yang berbasis di Makau. Mereka biasa digunakan oleh rezim korup atau perusahaan multinasional untuk melakukan 'pekerjaan kotor' yang tidak tercatat di buku. Vivian Thorne mungkin sudah jatuh, tetapi Black Lotus bekerja untuk siapa saja yang membayar."
"Dan Julian?" desak Gavin. "Di mana dia mengakses dana itu?"
"Dia tidak menarik tunai. Dia menggunakan dana itu untuk melakukan pembayaran besar pagi ini," kata Mr. Wu, melihat layar. "Pembayaran sewa brankas prioritas tinggi di Le Freeport."
****
Le Freeport Singapura adalah fasilitas penyimpanan dengan keamanan maksimum yang terletak di dekat Bandara Changi. Sering disebut sebagai "Fort Knox-nya Asia", tempat ini adalah zona bebas pajak di mana orang-orang super kaya menyimpan emas, lukisan maestro, berlian, dan rahasia mereka jauh dari jangkauan pemerintah mana pun.
"Julian menyewa ruang di sana," kata Gavin saat mereka kembali ke mobil. "Dia tidak melarikan diri. Dia sedang mengambil sesuatu. Atau menyimpan sesuatu yang sangat berharga sehingga dia butuh perlindungan Black Lotus."
"Kita harus berhati-hati, Gavin," peringatkan Karina. "Le Freeport memiliki keamanan setara militer. Kita tidak bisa menyerangnya."
"Kita tidak perlu menyerangnya. Kita memiliki akses," Gavin menunjukkan kartu akses hitam yang diberikan oleh Dharma Adhitama, yaitu akses ke Dana Tujuh Pilar. "Klan Adhitama adalah salah satu penyewa pendiri fasilitas itu. Kita punya hak untuk masuk dan memeriksa 'aset keluarga'."
Setibanya di Le Freeport, suasana terasa futuristik dan steril. Dinding beton tebal, pemindai biometrik, dan penjaga bersenjata lengkap dari mantan pasukan khusus Gurkha menjaga setiap koridor.
Gavin dan Karina melewati pemeriksaan keamanan berlapis menggunakan otoritas Dana Tujuh Pilar. Mereka diarahkan ke lantai bawah tanah, area penyimpanan paling eksklusif.
"Sistem menunjukkan Julian Adhitama mengakses Unit 808 satu jam yang lalu," bisik Beny melalui alat komunikasi. "Dia masih di dalam."
Gavin memberi isyarat kepada Letnan Dika dan tim keamanannya untuk bersiaga di ujung lorong. Gavin dan Karina berjalan menuju pintu baja Unit 808.
Pintu itu sedikit terbuka.
Di dalam ruangan yang dipenuhi rak-rak berisi kotak penyimpanan arsip dan peti logam, berdiri sosok yang mereka cari.
Julian Adhitama.
Namun, Julian ini berbeda dari pria sombong yang mereka temui di Pulau Langit. Dia terlihat kurus, matanya liar dengan lingkaran hitam di bawahnya, namun ada senyum maniak di wajahnya. Dia sedang memegang sebuah buku besar bersampul kulit hitam yang tampak sangat tua.
"Gavin," sapa Julian tanpa menoleh, jarinya menelusuri halaman buku itu. "Dan Sang Ratu Palsu, Karina. Aku tahu kalian akan datang. Anjing-anjing Tanaka di Kyoto pasti mencium bau uangku."
"Sudah berakhir, Julian," kata Gavin, melangkah masuk dengan hati-hati. "Vivian Thorne sudah jatuh. OmniCorp sedang diaudit. Siapa pun yang memberimu uang itu, Black Lotus, mereka hanya memanfaatkanmu. Kembalilah. Hadapi pengadilan klan, dan mungkin Ayah akan mengampuni nyawamu."
Julian tertawa, suara yang bergema aneh di ruang beton itu. "Mengampuni? Gavin, kau pikir aku butuh pengampunan? Kau pikir Vivian Thorne adalah pemain utamanya? Dia hanya manajer tingkat menengah. Black Lotus... mereka hanyalah kurir."
Julian berbalik, mengangkat buku hitam itu seperti trofi.
"Kau tahu apa ini?" tanya Julian. "Selama bertahun-tahun, aku mencari kelemahan Dharma. Aku tahu dia menyembunyikan sesuatu. Dan dengan bantuan teman-teman baruku, aku berhasil meretas arsip digital Le Freeport untuk menemukan di mana Dharma menyimpan Buku Hitam Adhitama."
Gavin menegang. Dia pernah mendengar rumor tentang buku itu, catatan tentang semua 'dosa' klan Adhitama selama satu abad terakhir, berisi suap, manipulasi politik, dan kesepakatan gelap yang membangun kekayaan mereka sebelum era Gavin.
"Jika aku merilis isi buku ini," kata Julian, matanya berkilat gila, "Aliansi 12 Naga akan berbalik melawan kita. Pemerintah akan menyita seluruh aset Phoenix. Kota Pilar akan menjadi puing. Kau akan menjadi Raja dari kerajaan abu."
"Kenapa kau lakukan ini, Julian?" tanya Karina, melangkah maju, mencoba menggunakan empati untuk mengulur waktu. "Kau juga seorang Adhitama. Jika klan hancur, kau juga hancur."
"Aku sudah hancur!" teriak Julian. "Kalian mengambil segalanya! Jabatan, harga diri, masa depan! Teman-teman baruku... mereka menjanjikan sesuatu yang lebih baik. Mereka tidak ingin uang Adhitama. Mereka ingin Adhitama runtuh agar mereka bisa membangun tatanan baru di Asia."
"Siapa mereka?" desak Gavin.
Julian menyeringai. "Mereka menyebut diri mereka 'The Eclipse' (Gerhana). Dan mereka ada di mana-mana."
Tiba-tiba, lampu di Le Freeport padam total. Alarm kebakaran meraung memekakkan telinga.
"Dia meretas sistem gedung!" teriak Beny di earpiece. "Pintu darurat otomatis terbuka!"
Dalam kegelapan yang hanya disinari lampu darurat merah berkedip, Julian melemparkan bom asap ke lantai. Asap tebal segera memenuhi ruangan.
Gavin menerjang maju, mencoba menangkap Julian, tetapi ia hanya menangkap udara kosong. Julian, yang jelas sudah mempersiapkan rute pelarian ini, dan menghilang ke dalam labirin koridor Le Freeport.
"Kejar dia!" perintah Gavin.
Mereka berlari keluar dari unit penyimpanan, menuju dermaga belakang Le Freeport yang terhubung langsung ke laut. Saat mereka mencapai pintu keluar, mereka melihat sebuah speedboat hitam tanpa lampu sudah melaju kencang menjauh ke arah perairan internasional, membelah ombak malam.
Julian berdiri di buritan kapal, buku hitam itu masih di tangannya, melambai dengan ejekan terakhir sebelum menghilang di telan kegelapan malam.
Gavin memukul pagar dermaga dengan frustrasi. Julian lolos. Dan yang lebih buruk, dia membawa rahasia tergelap Klan Adhitama.
"The Eclipse," gumam Karina. "Gerhana. Aku belum pernah mendengar nama itu di database YIA atau OmniCorp."
Gavin tampak muram. "Itu karena mereka mungkin bukan perusahaan. Jika Julian benar, mereka adalah organisasi yang bergerak untuk menghancurkan struktur kekuasaan lama, seperti Aliansi 12 Naga untuk menggantikannya. Julian adalah senjata yang sempurna bagi mereka, orang dalam yang sakit hati dan tahu di mana kerangka itu disimpan."
Ponsel Gavin bergetar. Sebuah pesan masuk dari Dharma Adhitama. Rupanya, sistem keamanan Le Freeport telah memberi tahu Dharma bahwa Unit 808 dibobol.
Dharma: Buku itu hilang?
Gavin mengetik balasan dengan jari gemetar.
Gavin: Julian mengambilnya. Dia bekerja untuk kelompok yang disebut 'The Eclipse'.
Balasan Dharma datang hampir seketika, dan isinya membuat darah Gavin membeku.
Dharma: Jika Gerhana terlibat, ini bukan lagi perang bisnis. Ini perang eksistensi, Pulanglah ke Jakarta segera. Kita harus membangunkan 'Naga Ketiga belas'.
Gavin menatap Karina. "Kita tidak bisa istirahat, sayang. Julian baru saja memulai perang dunia."
"Siapa Naga Ketiga belas?" tanya Karina.
"Satu-satunya entitas yang ditakuti oleh Aliansi 12 Naga," jawab Gavin. "Badan Intelijen Bayangan yang didirikan oleh kakek buyutku untuk memburu pengkhianat. Selama ini badan itu sedang tertidur. Sekarang, kita harus membangunkannya untuk memburu Julian sebelum dia membocorkan satu halaman pun dari buku itu."
Malam di Singapura terasa semakin gelap. Musuh mereka bukan lagi sekadar saingan bisnis atau mantan pacar yang cemburu. Musuh mereka adalah sebuah ideologi yang ingin melihat Adhitama terbakar.