Pernikahan Rocky dan Brigita rupanya menjadi awal munculnya banyak konflik di hidup mereka. Brigita adalah bawahan Rocky di tempat kerja. Mereka harus menikah karena satu alasan tertentu.
Statusnya sebagai seorang janda yang mendapatkan suami perjaka kaya raya membuat gunjingan banyak orang.
"Aku harus bisa mempertahankan rumah tanggaku kali ini,"
Apa dia berhasil mempertahankan rumah tangganya atau justru lebih baik berpisah untuk kedua kalinya?
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 - Hati Dapat Berubah
"Thanks, Sayang. Kamu bisa anggap Lena seperti adik kita sendiri. Tidak semua istri bisa seperti itu," ujar Rocky sambil tersenyum kecil kepada Brigita.
Mobil melaju perlahan sembari mereka menikmati alunan musik klasik yang telah di putar Rocky.
Jemarinya mengusap-usap halus punggung tangan Brigita. Menatapnya sekilas namun penuh cinta atas sikap yang di ambil oleh istrinya.
Brigita membalas dengan senyum datar, matanya menusuk tajam ke arah Rocky. "Aku cuma nggak mau kerjaan kamu jadi kacau. Seperti yang kamu pernah katakan sebelumnya, bahwa aku harus menaruh kepercayaan padamu. Agar kamu juga bisa nyaman bekerja. I just tried to do it."
Rocky mengangkat alis dengan gaya santainya. "Good."
Brigita menggeleng perlahan. "Kamu tahu kan? Kita berdua udah pernah ada di titik paling kacau. Aku cuma nggak mau hubungan ini semakin buruk, seharusnya kita belajar memperbaiki."
Sesaat suasana hening. Kemudian Brigita melanjutkan ucapannya. "Kita mulai dari awal, untuk saling menjaga dan memperbaiki. Tolong jangan ulangi perbuatanmu."
Rocky menoleh dan tersenyum tipis. "Aku janji, Istriku!"
"Lagi pula aku percaya Lena. Dia anak yang baik dan polos. Maka dari itu kamu juga harus menjaganya, jangan salah mengartikan segala tindakan yang tidak seharusnya," tutur Brigita santai.
Hubungan Rocky dan Brigita bukanlah hubungan suami istri ideal seperti yang orang lain pikirkan. Ada retakan halus, luka yang belum sembuh, dan ketakutan yang disembunyikan di balik senyum mereka.
Setidaknya malam ini selama perjalanan pulang mereka bisa saling mengungkapkan isi hati.
.
Sisa malam hari yang lelah, di dalam kost sederhana yang ia sewa, Lena menatap kosong layar ponselnya. Jari-jarinya ragu menekan kontak Arga. Pacarnya yang selama ini selalu sabar, selalu ada untuknya.
"Aku salah," batinnya. "Mengapa aku bisa berpikir bahwa dia posesif, padahal tanpa dia aku ini tidak punya siapa-siapa."
Akhirnya, Lena menekan tombol telepon. Panggilan itu tersambung dan tidak perlu waktu lama Arga segera mengangkat panggilan dari Lena.
"Sayang…" suara Arga di seberang terdengar cerah seperti biasa.
Air mata menggenang di mata Lena tanpa alasan yang jelas. "Maaf ya, Sayang. Aku akhir-akhir ini terlalu sibuk yang mana membuat emosionalku tidak stabil."
"Kamu kenapa? Ada yang salah?" suara Arga langsung berubah serius.
"Aku cuma ngerasa bersalah. Aku tahu kamu udah banyak sabar sama aku. Aku yang salah, Arga. Aku janji bakal lebih jaga perasaan kamu." suaranya nyaris berbisik di akhir kalimat.
Arga tertawa kecil. "Soal cuek sama aku? Aku juga paham kok mungkin kamu lelah karena banyak tekanan dari atasan kamu. Nggak ada masalah soal itu, Sayangku."
Jawaban itu semakin membuat hati Lena mencelos. Ia tidak pantas mendapatkan lelaki sebaik Arga, tapi juga tidak mampu meninggalkannya.
.
.
Keesokan harinya, Lena menyibukkan diri di Lounge. Ia berusaha fokus, menahan segala rasa sesak yang semalam menumpuk.
Perasaan nya kini campur aduk. Antara rasa bersalahnya pada Arga tapi di satu sisi yang lain dia mulai memperhatikan Rocky lebih jauh.
Semua pekerjaan beres lebih cepat hari itu. Karyawan lain mulai pulang satu per satu. Lena juga bersiap pulang, memanggil ojek online dari ponselnya. Namun baru setengah jalan keluar dari lobby, ia baru sadar laptopnya tertinggal di atas!
Ia menghela napas panjang, memutar badan, dan berjalan kembali ke lantai dua tempat ruangan Rocky berada.
"Ada yang ketinggalan?" tanya Titi yang sedang berjalan ke arah luar Lounge.
"Iya, Kak. Laptopku masih di ruangan Bapak. Di kunci nggak ya ruangannya?"
Titi mencegah Lena, memegangi tangannya sambil berkata. "Besok saja di ambilnya, besok juga kerja lagi. Udah ayo pulang."
"Aku besok shift siang, paginya harus kelarin tugas akhir kampus." jawab Lena yang kekeh untuk mengambil laptop.
Titi pun tak bisa mencegahnya lagi dengan memberi anggukan kecil, mengiyakan Lena yang akan naik ke lantai dua. Dan wanita berkaca-mata itu meninggalkan Lena sendirian.
Gedung Lounge itu mulai sepi. Hanya ada lampu-lampu lorong yang menyala remang. Suasana malam menambah kesan sunyi yang menusuk.
Lena berjalan cepat, berharap mengambil laptopnya lalu cepat pergi. Tapi langkahnya melambat begitu ia melewati lorong yang mengarah ke ruang kerja Rocky. Ada suara. Bukan suara ketikan komputer atau obrolan santai. Itu suara desahan.
Lena mematung. Jantungnya berdetak kencang. Suara itu berasal dari balik pintu ruang Rocky yang tidak sepenuhnya tertutup.
Tanpa sadar, ia mendekat. Hanya beberapa langkah. Dan apa yang dilihatnya membuat dunia Lena terhenti.
Di balik pintu itu, Lena melihat Brigita berdiri, tangannya melingkari leher Rocky yang mendekapnya erat.
Kemeja Rocky sedikit terbuka dengan posisi duduk di atas meja sambil menyesapi tubuh istrinya. Suara napas mereka berat, terburu-buru. Rocky mencium leher Brigita dengan ganas, sementara tangannya mencengkeram pinggang istrinya dengan kuat.
"Sayang, arrrghhh!" lirih Brigita, nyaris terdengar putus-putus.
"Aku suka dengan kedua buah d4da milikmu, Sayang. Emmmhh..." balas Rocky dengan gerakan ganasnya.
Lena membekap mulutnya sendiri. Dadanya terasa sesak. Tapi tubuhnya hanya mematung di depan sana, bahkan ia bisa melihat Rocky yang melirik tajam ke arahnya.
Tatapan dari bola mata itu seolah menyuruh Lena untuk tetap berada di sana menikmati pemandangan yang sedang ia lihat.
"Enak Sayang?" ucap Rocky dengan suara berbisik. Tapi mata pria itu masih menatap Lena.
"Yes, aku ingin menghabiskan malam panjang ini berkali-kali denganmu," jawab Brigita sambil mend3sah.
"Aku akan buat kamu merasakannya berkali-kali sampai kamu lemas. Bukankah mengasyikan?"
Rocky menurunkan celana istrinya dan kepalanya masuk di antara kedua paha Brigita. Suara napas mereka berdua benar-benar terngiang di telinga Lena.
Gerakan dari dua tubuh mereka seolah seirama dengan suara yang keluar dari mulut mereka pula. Keringat yang bercucuran di tengah dinginnya suhu ruangan Rocky adalah bukti dari panasnya kegiatan mereka sebagai suami istri.
Lena masih menutup mulutnya di balik pintu, ia menyandarkan dirinya di dinding. Entah kenapa, ada rasa iri yang mengiris hatinya.
Rocky, pria yang sejak malam itu di bar membuat dunianya jungkir balik ternyata bukan hanya sekadar pria maskulin dengan senyum nakal. Atasannya itu telah mengambil separuh hatinya yang selama ini hanya ada untuk Arga.
Lena mundur perlahan, berusaha tidak mengeluarkan suara. Langkahnya cepat dan panik, hampir berlari menuruni tangga.
"Astaga apa yang aku lihat barusan? Kenapa aku merasa marah? Mereka suami istri dan sah saja mereka melakukan apapun." gumam Lena.
Begitu sampai di luar, dia merasa seolah udara malam terlalu tipis untuk dihirup. Tangannya gemetar saat membuka aplikasi ojek online lagi.