Sudah dua bulan sejak pernikahan kami. Dan selama itu, dia—lelaki itu—tak pernah sekalipun menyentuhku. Seolah aku tak pernah benar-benar ada di rumah ini. Aku tak tahu apa yang salah. Dia tak menjawab saat kutanya, tak menyentuh sarapan yang kubuat. Yang kutahu hanya satu—dia kosong dan Kesepian. Seperti gelas yang pecah dan tak pernah bisa utuh lagi. Nadira dijodohkan dengan Dewa Dirgantara, pria tiga puluh tahun, anak tunggal dari keluarga Dirgantara. Pernikahan mereka tak pernah dipaksakan. Tak ada penolakan. Namun diam-diam, Nadira menyadari ada sesuatu yang hilang dari dalam diri Dewa—sesuatu yang tak bisa ia lawan, dan tak bisa Nadira tembus. Sesuatu yang membuatnya tak pernah benar-benar hadir, bahkan ketika berdiri di hadapannya. Dan mungkin… itulah alasan mengapa Dewa tak pernah menyentuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon heyyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Sebuah Isakan.
Tidak lama setelah kami minum teh di teras, Kai dan Saka berpamitan, mereka bilang bahwa malam ini mereka harus kembali bekerja. Sejujurnya aku tidak terlalu tau apa yang mereka kerjakan.
Dewa menghantarkan mereka ke depan pintu, Tanpa melirik ku sedikitpun, wajahnya datar seperti biasanya. Wajahnya akan kembali ceria jika dia berkumpul bersama kedua temannya.
......................
Setelah mengantarkan Tante Melisa ke kamarnya, langkah ku terhenti saat melihat pintu kamar utama sedikit terbuka. Dewa sudah ada di dalam sana, tebakanku.
Dengan ragu ragu aku melangkah mendekat, Membuka pintu dengan hati hati dan masuk ke dalam kamar. Aku melihat Dewa sudah duduk di sana— diujung ranjang. Dengan laptop yang menyala di pangkuannya, mencoba mengabaikan keberadaanku.
Suara pintu tertutup, Dia masih sama.Sebenarnya aku bingung, tidak, bukan bingung. Aku takut, takut menghadapi malam yang akan terasa sangat panjang ini.
Aku duduk di ujung ranjang, di seberangnya.
"Jika kamu mau..." Kataku pelan. "Aku bisa tidur di bawah."
Mendengar itu Dewa tidak langsung menjawab, dia menutup laptopnya terlebih dahulu dan membaringkan tubuhnya ke atas kasur, membelakangi ku.
"Tidak perlu." Jawabnya singkat.
Aku memperhatikan punggung yang membelakangiku, sembari mengangguk. Aku bisa merasakan bahwa sama halnya sepertiku, Dewa tidak nyaman. Mungkin tidak nyaman dengan kasur ini atau tidak nyaman karena ada aku di dalam ruangan ini.
"Aku hanya, tidak ingin kamu merasa terpaksa." Kataku sekali lagi.
Dewa menghela napasnya, dia mengangkat tubuhnya dengan satu tangan dan menoleh ke arahku, Tatapannya seolah mengatakan dia sudah sangat lelah dengan semua ini.
" Aku bahkan tidak merasakan apa apa." Katanya datar, lalu kembali berbaring seperti semula.
Aku mematung.
Kalimat itu menghantamku. Tidak keras, tidak kasar. Tapi justru karena terlalu tenang. Kalimat itu terasa menusuk.
Tidak merasakan apa apa.Bukan marah, bukan tidak nyaman. Tapi —tidak merasakan apa apa.
Seolah kehadiranku benar benar tidak dia inginkan. Dewa tidak merasakan apa apa baik terhadapku maupun terhadap pernikahan ini.
Aku pun mematikan lampu dan berbaring, Kami saling membelakangi.
Gelap.Sunyi.Hampa.
Di dalam diamku, pikiranku mulai melayang entah kemana.
Sudah dua bulan kami menikah, tetapi kami masih seperti dua orang asing yang terjebak di bawah atap yang sama. Terkurung, tidak bisa kemana mana.Tidak ada percakapan, tidak ada sentuhan dan tidak ada kehangatan yang membuat aku merasakan bahwa aku adalah seorang istri.
Aku sangat ingin bertanya kepadanya. Apakah dia membenciku karena menerima perjodohan ini?. Tapi dia pun tidak menolak pada saat itu.Apakah pernikahan ini hanya formalitas baginya? dan pertanyaan yang paling ingin kutanyakan padanya. Meskipun aku tau jawabannya bisa saja sangat menyakitkan—Apakah ada ruang kecil di hatinya untuk menerima aku? Menerima kenyataan bahwa akulah istrinya.
Saat itu, aku benar benar sedih, bukan hanya sedih—Aku hancur.
Aku merasa kasihan kepada diriku sendiri. Begitu rendah dan tidak diinginkan. Seolah aku tau dia tidak menginginkan aku, tetapi aku masih bertahan sampai sekarang. Lalu mataku terbuka begitu saja.Terbayang wajah ibuku.
Bagaimana jika ibuku tau bahwa pernikahan yang dia banggakan, yang dia ceritakan ke teman temannya sebagai anugerah terbaik bagi anak perempuannya. Ternyata hanyalah sebuah topeng saja.
Topeng dari pernikahan yang tidak memiliki cinta didalamnya. Dan tidak memiliki arah.
Apa yang akan ibu rasakan jika mengetahui anaknya berbaring di samping pria yang bahkan tidak menganggapnya ada?. Betapa hancurnya hati ibu jika mengetahui anaknya tidak diinginkan dirumah ini oleh suaminya sendiri.
Air mataku mengalir begitu saja. Tanpa suara pada awalnya.Hanya tetes tetes diam yang membasahi bantal. Tapi sesak itu kian menumpuk. Menggerogoti dada dan menekan tenggorokanku, hingga aku tidak lagi sanggung menahannya.
Isakan kecil lolos. lirih, nyaris tidak terdengar. Namun ternyata mampu memecah keheningan kamar.
Tiba tiba terdengar gesekan dari sisi tempat tidur. Aku tidak berani menoleh.
Dewa bangkit. Tanpa berkata sepatah katapun, dia berjalan ke arah lemari dan membukanya, mengambil jaket hitam dan sebuah kunci motor di atas meja. Suara logam itu terdengar jelas di malam yang gelap dan sunyi ini.
Aku hanya bisa diam. Membeku dalam isakan yang tertahan. Mata ku yang basah memandangi punggungnya yang pergi—tanpa menoleh, tanpa bertanya. Lalu tiba tiba dia sudah berada di luar kamar dan menutup pintu begitu saja.
Dan saat itu, aku tau. Bahkan suara isakanku yang tersengar samar juga terdengar menganggu baginya.
Tangisku, akhirnya pecah.
.hans bayar laki2 tmn SMA itu