Apa jadinya jika impian mu hancur di tangan orang yang paling kamu benci, tapi juga tak bisa kamu hindari?
"Satu tesis gagal, Karena seorang dosen menyebalkan, Semua hidup ku jadi berantakan"
Tapi siapa sangka semuanya bisa jadi awal kisah cinta?
Renatta Zephyra punya rencana hidup yang rapi: lulus kuliah, kerja di perusahaan impian, beli rumah, dan angkat kaki dari rumah tantenya yang lebih mirip ibu tiri. Tapi semua rencana itu ambyar karena satu nama: Zavian Alaric, dosen killer dengan wajah ganteng tapi hati dingin kayak lemari es.
Tesisnya ditolak. Ijazahnya tertunda. Pekerjaannya melayang. Dan yang paling parah... dia harus sering ketemu sama si perfeksionis satu itu.
Tapi hidup memang suka ngelawak. Di balik sikap jutek dan aturan kaku Zavian, ternyata ada hal-hal yang bikin Renatta bertanya-tanya: Mengapa harus dia? Dan kenapa jantungnya mulai berdetak aneh tiap kali mereka bertengkar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 22
Zavian kembali masuk ke kamar rawat, mendapati kakeknya masih asik tertawa bersama Renatta.
“Sudah sore. Kakek harus istirahat, dan kamu… pulang bareng saya ya?”
Renatta menoleh, tersenyum dan mengangguk sopan.
“Iya, Pak.”
“Kakek, aku pamit ya. Nanti kalau waktu aku main lagi.”
“Jangan lupa bawa bakpau, ya!”
Zavian sambil membungkuk sedikit.
“Kami pamit, Kek.”
Kakek mengangguk pelan
“Hati-hati di jalan. Jangan nyetir sambil debat ya!”
Di dalam mobil, beberapa menit setelah perjalanan dimulai.
Zavian melirik Renatta sebentar, lalu memecah keheningan.
“Kamu kenal kakek saya dari mana?”
Renatta tersenyum mengingat kejadian itu.
“Waktu itu aku ketemu kakek di luar rumah sakit, duduk di depan penjual bakpau. Sepertinya... kakek kabur dari rumah sakit.”
Zavian refleks mengerutkan dahi, lalu tertawa pelan.
Renatta melanjutkan.
“Aku lihat kakek pengen makan, jadi aku beliin. Dia makan lahap banget, sambil ngomel katanya cucunya pelit banget, Bilangnya banyak gula, banyak pengawet, nanti bikin aku cepet mati. Padahal aku cuma pengen satu biji roti kukus.”
Zavian tertawa semakin keras, kali ini lepas dan jujur. Renatta menoleh dengan wajah terkejut.
“Wow, ternyata Pak Zavian bisa ketawa juga ya…”
Zavian cepat-cepat menahan tawa, seolah baru sadar terlalu santai.
Zavian sambil menatap ke depan, suaranya lebih pelan.
“Sepertinya… Kakek sudah membuat reputasi saya sangat buruk, ya?”
“Makanya, Pak Zavian harus baik sama saya. Siapa tau saya bisa simpan rahasia itu… daripada bocor ke media.”
Zavian menoleh perlahan. Tatapannya sulit Renatta artikan ada senyum tipis di sudut bibirnya, tapi matanya tajam dan dalam. Smirk itu sukses membuat dada Renatta terasa aneh.
“Kamu ancam saya, ya?”
Renatta mencoba tetap tenang.
“Enggak, saya cuma... menjaga reputasi seseorang aja.”
Zavian tertawa kecil lagi, tapi kali ini tak berkata apa-apa. Mobil kembali sunyi, namun keheningannya terasa hangat.
Dan jantung Renatta masih deg-degan karena tatapan itu.
***
Mobil Zavian berhenti perlahan di depan rumah Renatta. Langit mulai berwarna jingga, menyiratkan sore yang hampir berganti malam. Sebelum Renatta membuka pintu untuk turun, Zavian memanggilnya pelan.
“Renatta…”
Gadis itu menoleh, sedikit heran.
“Hari itu… saat kakek kabur dari rumah sakit… bukankah itu hari sidang kamu?”
Renatta tampak tertegun. Ia lalu menggaruk kepalanya pelan, canggung.
“Ah… iya. Itu benar.”
Zavian menatap lurus ke depan, nada suaranya tetap tenang namun ada ketajaman dalam pertanyaannya.
“Jadi kamu terlambat… karena menolong kakek saya?”
Renatta buru-buru menggeleng, meskipun senyum kecil muncul di wajahnya.
“Ah itu… sebenarnya aku terlalu asik ngobrol dan nemenin kakek makan. Tapi bukan cuma karena kakek, ada hal lain juga yang bikin aku telat.”
Zavian hanya mengangguk perlahan. Lalu, dengan suara yang lebih lembut, ia berkata,
“Begitu ya… tetap saja… terima kasih.”
Renatta mendengus geli.
“Kirain Bapak bakal bilang, ‘Ya ampun Renatta… maafkan saya. Karena menolong kakek saya kamu jadi terlambat datang ke kampus. Bagaimana kalau sidangmu nggak perlu nunggu tahun depan, tapi besok aja?’ Gitu kek.”
Zavian menahan tawa, lalu menjawab sambil melirik ke arahnya.
“Renatta… peraturan tetaplah peraturan. Tapi…”
Zavian menatapnya serius, dengan nada tulus.
“Terima kasih karena sudah membantu kakek saya. Nggak banyak orang yang mau repot untuk orang asing. Saya… benar-benar berutang budi padamu.”
Renatta menunduk, tak tahu harus membalas apa. Ucapan itu terdengar tulus, dan untuk sesaat, hatinya terasa hangat.
“Kalau kamu butuh sesuatu… jangan ragu. Datang saja.”
Renatta mengangguk pelan, senyumnya muncul perlahan.
“Baik, Pak. Terimakasih juga"
Ia pun turun dari mobil, namun jantungnya masih berdebar karena kalimat terakhir Zavian sederhana, tapi terasa dalam.
---