Pertemuan antara Yohanes dan Silla, seorang gadis muslimah yang taat membawa keduanya pada pertemanan berbeda keyakinan.
Namun, dibalik pertemanan itu, Yohanes yakin Tuhan telah membuat satu tujuan indah. Perkenalannya dengan Sila, membawa sebuah pandangan baru terhadap hidupnya.
Bisakah pertemanan itu bertahan tanpa ada perasaan lain yang mengikuti? Akankah perbedaan keyakinan itu membuat mereka terpesona dengan keindahan perbedaan yang ada?
Tulisan bersifat hiburan universal ya, MOHON BIJAK saat membacanya✌️. Jika ada kesamaan nama tokoh, peristiwa, dan beberapa annu merupakan ketidaksengajaan yang dianggap sengaja🥴✌️.
Semoga Semua Berbahagia.
---YoshuaSatio---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
es durian itu meleleh
Malam berlalu, pagi pun tiba. Hawa dingin karena gerimis cukup menggoda sebagian orang untuk kembali terlelap. Namun sebagian lainnya harus tetap bangun demi tanggung jawab yang harus diselesaikan hari ini.
Di kamarnya, Yohan masih terlelap, hingga akhirnya sang ibu membangunkannya dengan lembut.
“Han … Yohanes … badannya masih meriang?” Dengan gerakan sangat lembut Bu Maria memeriksa dahi dan tengkuk sang putra.
Yohan menggeliat, merespon pelan sapaan sang ibu. “Jam berapa ini, Mah?”
“Jam enam, bangun … sarapan dulu.”
Rasa berat di kepala rasanya masih bergelayut, namun teringat beberapa agenda siang ini, memaksa Yohan bergerak pelan membawa tubuhnya bangkit.
Selesai dengan ritual biasa di rumah orang tuanya, Yohan bergegas menuju ke kantor. Istirahat sehari saja, rasanya sudah cukup membuatnya segar kembali. Meskipun sesampai di tempat kerja, ia mendapati tumpukan pekerjaan di atas mejanya.
“Pagi, Pak Yohan, sudah mendingan?” sambut Tara setelah Yohan duduk beberapa saat di ruangannya.
“Udah,” jawab singkat Yohan yang telah memulai memeriksa pekerjaan pertama. “Harusnya besok tempat ini sudah kosong, kenapa masih ada yang belum beres?”
“Itu beberapa hal yang diturunkan dari Bu Layla, mereka melimpahkan penilaian akhir pada kita, aku tak berani menghubungi Pak Yohan karena sudah ijin sakit tempo hari.”
“Ini semua tak akan bisa diselesaikan dalam tiga hari kerja. Sementara ada yang sudah dijadwalkan untukku besok siang. Harusnya kalian tidak gegabah mengambil pekerjaan yang bukan tugas kalian!”
“Maaf, tapi kami tidak ….”
“Sudahlah, biar aku bicarakan langsung pada Bu Layla!”
Yohan beranjak hendak langsung menuju ke ruangan yang dia maksud, namun seorang staf lain menghentikan langkahnya sejenak.
“Maaf Pak Yohan, ada tamu, menunggu di lobi utama, katanya mau ketemu Pak Yohan.”
Yohan melihat ke arah Tara. “Apa aku punya janji dengan seseorang?”
Tara menggeleng mantap, ia ingat betul dengan jadwal sang atasan.
“Namanya Silla, katanya memang belum bikin janji, gimana … mau di ….”
“Suruh nunggu sebentar, saya baru ada hal lain yang lebih penting!” tegas Yohan segera melanjutkan pekerjaannya semula.
Hampir dua puluh menit berlalu, Yohan tak segera menampakkan wujudnya, membuat Silla hampir merasa putus asa. Duduk sendirian di lobi utama, sambil melihat lalu lalang orang-orang berpakaian kerja rapi dan cantik dengan make up. Tanpa sadar itu membuatnya menelisik ke dalam dirinya sendiri.
Silla bangkit berjalan menuju ke salah satu sudut lobi yang lumayan luas itu, menatap diri dari pantulan kaca besar di depannya. Tak nampak jelas, hanya sangat samar. Ia mendapati dirinya yang sederhana dalam balutan gamis nonformal, sangat jauh berbeda dengan orang-orangnya yang sedari tadi keluar masuk ke tempat itu.
Seketika rasa kecil dan minder menyergap hatinya perlahan, menggerogoti semua kepercayaan diri dan keberanian yang menggebu yang ia bawa sejak semalam.
Silla menarik goody bag yang sedari tadi ditentengnya, lalu mendekapnya di dada, satu tarikan napas panjang berusaha menenagkan diri sendiri.
“Baiklah, memang sebaiknya pulang saja, menunggunya di sini hanya membuang waktu, bukan di sini tempatku!”
Merasa bosan dan telah menunggu lama tanpa kepastian, Silla merasa jengah dan melangkah pergi meninggalkan tempat kerja Yohan.
“Ada perlu apa?”
Silla menghentikan langkahnya, tepat di pintu keluar yang terbuka lebar di depannya. Suara singkat itu, suara yang dinantinya sejak semalam.
Silla menoleh, matanya berkaca-kaca karena lega, tapi juga ada sedikit kemarahan yang terlihat dari raut wajahnya yang terkesan ‘kesel’.
'Kau baik-baik saja? Aku hampir mati khawatir semalaman, dan ternyata kau cuma sibuk bekerja sambil bersantai di kantor?' Silla ingin bertanya dengan nada campuran antara lega dan sedikit sindiran.
“Hei Silla! Kenapa malah bengong?” seruan Yohan menyadarkan lamunan Silla.
“Hah? Eh … aku … cuma mau … kenapa tak membuka pesanku?” Meski lirih, namun akhirnya Silla berhasil mengutarakan kekhawatirannya.
Yohan tersenyum kecil, "Aku tak sempat ... maksudku, aku belum sempat melihat pesan yang masuk, terlalu banyak,” terang Yohan. "Jadi, ada apa?" tanya Yohan, dengan nada yang jauh lebih lembut dari biasanya, membuat Silla sedikit terkejut karena perubahan sikap Yohan yang biasanya ketus dan galak.
Silla mengulurkan goody bag itu dengan tangan yang sedikit gemetar, berusaha menyembunyikan perasaannya yang mulai teraduk. "Aku hanya ingin mengembalikan ini... aku pikir kamu beneran sakit," Silla berkata lirih, suaranya tercekat di tenggorokan.
Yohan mengambil langkah lebih mendekat ke arah Silla, lalu menerima goody bag dari tangan Silla."Ikut denganku!" ucapnya.
Yohan menatap Silla dengan mata yang tajam, namun ada kelembutan di balik ketegasannya. Silla merasa ada sesuatu yang tidak bisa ditolak dari tatapan itu, sehingga dia tanpa bisa memilih selain mengikuti Yohan.
Yohan berjalan menuju ke parkiran, menghampiri sebuah mobil yang biasa ia gunakan, membuka pintu untuk Silla, "Masuklah!" titah singkatnya tanpa menjelaskan kemana ia akan membawa Silla.
Silla menatap Yohan dengan mata yang penuh tanda tanya, lalu pandangan matanya beralih ke pintu mobil yang terbuka lebar. "Kemana kita akan pergi?" Silla akhirnya bertanya, suaranya terdengar sedikit ragu.
Namun, Yohan hanya menatapnya dengan ekspresi yang tidak berubah, seolah menunggu Silla untuk segera masuk ke dalam mobil.
"Aku butuh teman untuk menikmati es krim. Siang ini terlalu panas, pasti segar kalau menghabiskan satu mangkuk es krim durian!" seru Yohan tersenyum manis.
Senyum yang tak pernah dilihat Silla sebelumnya. Membuatnya terkejut dan hampir kehilangan kata-kata."Es krim durian? Kamu tahu aku suka itu?" Silla bertanya, suaranya terdengar sedikit lebih lembut dari biasanya. Silla tidak bisa tidak tersenyum melihat Yohan yang terlihat begitu ceria, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit pucat.
Selesai menikmati es krim bersama, Yohan mengantarkan Silla pulang.
“Kenapa niat banget sampai harus nganter ke kantor? Kan sudah kubilang biar aku ambil sendiri ke sana?” tanya Yohan di tengah perjalanan.
‘Ah! Sial … kalau aku jujur pasti dia besar kepala, tapi apa alasan yang tepat?’ pikir Silla gusar. Pasalnya pertanyaan itu juga yang ditakutkannya sejak awal. Namun rasa penasaran akan keadaan Yohan mendorongnya untuk bertindak spontan tanpa berpikir untuk menyiapkan jawaban yang masuk akal.
Yohan melirik Silla sejenak, ia menyadari ketidak-siapan Silla dengan pertanyaan yang dilontarkannya.
Yohan tersenyum kecil, seakan tahu apa yang membuat Silla rela menghampirinya. “Kemarin aku sedikit demam, jadi seharian hanya tidur dirumah. Aku sengaja mematikan ponsel, biar bisa istirahat dengan nyaman.”
Ada rasa lega merayapi batin Silla. Kekhawatiran, rasa penasaran yang semalaman benar-benar menyiksanya kini terjawab sudah. Meski mulutnya masih terkunci rapat, tanpa tahu harus berkomentar apa, seakan kemampuan ceplas-ceplosnya mendadak hilang tertelan bersama es durian tadi.
"Kok diem? Batrenya meleleh ya? Kayak es durian tadi?" gurau Yohan bermaksud mencairkan suasana canggung.
...****************...
Bersambung ....