Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Only One
...Phyton...
...✦•┈๑⋅⋯ ⋯⋅๑┈•✦...
Pintu lift terbuka, gue tarik napas dalam. Jalan pelan-pelan ke arah pintu apartemen dan diam untuk beberapa detik di depannya. Dalam hati, gue berharap banget Melvin sudah mabok di pesta tadi dan sekarang sudah tepar.
Gue masukin kode pintu, terus pintunya terbuka. Begitu menginjak lantai dalam, suara TV dari ruang tamu langsung kedengaran. Ya tentu aja dia belum tidur, pasti nungguin gue. Melvin bukan tipe orang yang gampang melewati sesuatu begitu saja.
Gue buang napas panjang, tutup pintu, terus lepas sepatu di depan. Dia tuh tipe orang yang jaga kebersihan. Pas beli apartemen ini, langsung dia renovasi, lantai marmer putih, dapur serba putih, semuanya terang banget, sampai debu dikit aja langsung kelihatan.
Gue masuk ke ruang tamu, dan di sanalah dia, Melvin. Rambut hitamnya berantakan, gak pakai baju, cuma pakai celana piyama yang kedodoran. Badannya kering dan berotot, tempat gue berlindung. Tapi dia gak lihat gue, cuma minum birnya pelan-pelan. Gue genggam tangan, siap-siap buat apa pun yang bakal terjadi.
Gue gigit bibir, gak tahu harus ngapain.
"Melvin."
"Lo seneng banget, ya?"
Suaranya dingin, gelap. Jantung gue mulai deg-degan, takut ini bakal jadi ribut. Tapi, obrolan gue sama Selma tadi kasih gue sedikit keberanian.
"Gue tadi di Tera's, sama nyokap lo."
"Gue tahu."
Dia ambil remote TV, terus ganti channel ke aplikasi yang nunjukin rekaman kamera di kafe.
Gue kerutkan alis.
"Gue… gak tahu lo bisa akses kamera dari sini."
Melvin langsung natap gue.
"Kenapa? Lo keberatan? Gara-gara gue bisa lihat tuh bocah datang ke kafe berapa kali?"
Gue langsung ngeh. Dia bilang Asta. Pantesan akhir-akhir ini dia sering nongol di kafe buat bantuin gue. Gue bodoh banget, mikir dia dateng karena pengen lebih banyak waktu bareng gue.
Dia berdiri, jalan pelan ke arah gue. Tatapannya mencari sesuatu di ekspresi gue.
"Lo kira gue bego, Phyton?"
"Bukan gitu, Melvin. Banyak pelanggan yang dateng tiap hari. Asta juga cuma salah satunya."
Dia nyengir, tapi sinis.
"Cuma salah satunya? Terus, apaan tuh yang di pesta tadi?"
"Gue cuma peduli sama orang lain, itu normal. Asta baik sama semua orang. Gak ada apa-apa, gue sumpah."
"Mungkin lo sama dia memang gak ada apa-apa. Dari yang gue dengar di rekaman CCTV, dia malah naksir adek gue. Tapi lo? Gue kenal lo, Phyton. Gue tahu banget tatapan lo kalau lagi memperhatikan orang yang lo taksir."
Gue geleng-geleng kepala.
"Lo gila."
"Dan gue berani taruhan, kalau aja gue gak selalu ada di samping lo belakangan ini, lo pasti bakal lebih banyak godain dia."
"Melvin, kita udah bahas ini. Berhenti mikir yang jelek-jelek soal gue. Gue gak pernah kayak gitu."
Dia maju selangkah lagi, gue mundur, sampai akhirnya punggung gue nabrak meja dapur. Gak ada jalan buat kabur. Melvin pegang pipi gue pelan.
"Jauhin dia. Gue gak peduli bagaimana caranya, tapi gue gak mau lihat dia nongkrong di kafe lagi."
Gue buka mulut mau protes, tapi dia langsung nyium gue. Cuma sebentar, cuma buat bikin gue diam, tapi tetap aja bikin dada gue berdesir karena, gue cinta banget sama dia. Dia mundur dikit, terus ngomong lagi.
"Hubungan kita udah baik-baik aja, Phyton. Tolong, jangan biarin cowok baru muncul terus ngerusak semuanya. Kita udah bangun hidup ini bareng-bareng, kita sudah berjuang banyak, lo tahu itu."
"Gue tahu."
"Jadi, mana yang lebih penting buat lo? Lo mau prioritasiin cowok yang baru lo kenal, atau gue?"
"Tentu aja lo yang lebih penting, tapi gue juga pengen punya teman, Melvin."
Gue mencoba berpegang sama obrolan gue tadi sama Selma. "Lo gak butuh mereka, Phyton. Siapa yang selalu ada buat lo pas nyokap lo sakit?"
Gue diam, dan dia lanjut ngomong.
"Siapa yang ada buat lo dalam segala hal? Ngurus keuangan? Nemenin lo pas lo hancur setelah kehilangan dia?"
Dia pegang wajah gue dengan dua tangan, matanya menembus ke gue.
"Gak ada yang kenal lo kayak gue, Phyton. Gue tahu adek gue seneng banget ngehasut lo, tapi dia gak ada di saat-saat terburuk lo, dan lo tahu itu. Semua omongannya cuma kata-kata manis dan janji omong kosong, sampai akhirnya keadaan benar-benar jadi kacau. Gue satu-satunya yang selalu ada buat lo."
"Gue cuma… pengen punya teman, itu wajar, Melvin," gumam gue pelan.
"Enggak, itu gak wajar, Phyton. Semua orang cuma pura-pura punya teman. Tapi lo sudah dewasa, lo sudah lewat fase naif di mana lo mikir teman itu penting."
Gue mau jawab, tapi dia nyium gue lagi. Kali ini bukan cuman ciuman buat membungkam gue. Bibirnya nabrak bibir gue dengan panas, lidahnya maksa masuk, tangannya melingkar di pinggang gue, turun ke belakang dan menggenggam erat bokong gue. Dia miringkan kepala, makin dalam ciumannya. Terus, dia ninggalin bibir gue lanjut jilat leher gue.
Gue terbawa suasana, gak nyangka bisa cinta sama dia sampai segininya. Dia melahap gue habis-habisan, bikin gue gak bisa melawan.
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗
𝚜𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚍𝚘𝚗𝚐 🥰🥰
𝚜𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚌𝚘𝚌𝚘𝚔 𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 🥰🥰
𝚜𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚍𝚐𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚗𝚎𝚖𝚞𝚒𝚗 𝚓𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚍𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊𝚒𝚗 𝚟𝚎𝚢..𝚐𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚝𝚞𝚓𝚞 𝚔𝚕𝚘 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚟𝚎𝚢