Kathleen tidak pernah menyangka bahwa rasa penasaran bisa menyeret hidupnya ke dalam bahaya besar!
Semua berawal dari kehadiran seorang cowok misterius di kelas barunya yang bernama William Anderson. Will memang selalu terkesan cuek, dingin, dan suka menyendiri. Namun, ia tidak sadar kalau sikap antisosialnya yang justru telah menarik perhatian dan membuat gadis itu terlanjur jatuh hati padanya.
Hingga suatu hari, rentetan peristiwa menakutkan pun mulai datang ketika Kathleen tak sengaja mengetahui rahasia siapa William sebenarnya.
Terjebak dalam rantai takdir yang mengerikan, membuat mereka berdua harus siap terlibat dalam pertarungan sesungguhnya. Tidak ada yang dapat mereka lakukan lagi, selain mengakhiri semua mimpi buruk ini sebelum terlambat!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rivelle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30 - Ada masalah apa mereka?
Sengaja ataupun tidak, entah mengapa seorang cowok kulkas dua pintu yang bernama William Anderson itu terus saja muncul di sekitarku. Benar-benar tidak adil. Sepertinya dunia memang sedang tak berpihak padaku.
Setelah di toko kue kemarin, hari ini aku juga bertemu lagi dengan William. Namun, kurasa berita bagusnya adalah ia masih belum sadar akan kehadiranku di sini. Terus terang saja aku benar-benar penasaran dengan apa yang sedang dilakukan oleh cowok misterius itu sejak tadi.
Di dekat pos keamanan blok A yang berjarak sekitar 25 meter dari tempatku sekarang memarkirkan mobil, kuperhatikan William tengah duduk seorang diri sambil beberapa kali melihat ke arah arloji yang melingkar di tangan kirinya. Meskipun hanya mengenakan kaus putih dengan paduan kemeja polos dan celana denim, kuakui ia tidak pernah gagal dalam menarik perhatianku. Will adalah cowok tertampan atau mungkin manusia tertampan yang pernah kutemui.
Sesaat kemudian, dari arah seberang kulihat tiba-tiba ada sebuah mobil Camry berwarna putih yang datang menghampirinya. Aku tahu betul kendaraan roda empat itu adalah milik William. Tapi, bukankah kemarin ia bilang kalau mobilnya sedang berada di bengkel?
Anehnya, pagi ini mobil itu terlihat baik-baik saja. Kalaupun memang benar sudah direparasi, selesainya tidak akan secepat ini karena melihat bagaimana kondisi Will kemarin, ia memiliki cukup banyak luka di sekujur tubuhnya.
Seorang pemuda yang tampak seumuran denganku tak lama kemudian melangkah keluar dari dalam sana dan memberikan kunci mobil itu pada William. Aku tidak bisa mengenali siapa cowok itu karena ia memakai topi hitam yang menutupi bagian atas wajahnya—hanya rambut pirang platinum dan kulit putih pucat yang dapat kulihat dengan jelas.
“Thank’s, Luca.” Cuma nama itu yang berhasil kubaca dari gerakan bibir William.
“Luca?” Pikiranku bertanya-tanya apakah teman yang dimaksud Will kemarin adalah cowok itu?
Ponsel di saku celanaku tahu-tahu bergetar. Ternyata Mom meneleponku dan mengatakan bahwa ada makanan tambahan yang harus kubeli di minimarket nanti. Ia menitip biskuit serta beberapa minuman kaleng untuk camilan ketika menonton televisi. Selang sepersekian detik aku mengangkat telepon, cowok yang mengenakan topi hitam tadi justru telah menghilang entah ke mana.
William lantas mengambil alih kemudi. Karena sejak kemarin aku merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku, tanpa pikir panjang lagi kali ini aku pun memutuskan untuk mengikutinya. Paling tidak aku harus tau apa yang membuat sikapnya menjadi semakin aneh.
Setelah berkendara sejauh 1,4 mil dari tempat tadi, rumah-rumah bergaya Victoria yang telah dipugar di sekitar alun-alun bernuansa Inggris ini tampak sudah tidak asing lagi bagiku. William ternyata pergi ke District South End, sebuah wilayah di ujung selatan Kota Boston.
Mobilku melaju dengan kecepatan rendah, berjarak cukup jauh darinya. Aku takut ia akan merasa curiga kalau mobil kami berada terlalu dekat.
Will kini kembali menambah kecepatan mobilnya dan memilih ruas jalan sebelah kiri. Aku pun langsung menancapkan pedal gas lebih kencang agar tidak tertinggal karena cowok itu sudah melaju lebih dulu di depan sana. Namun, belum sempat mengejarnya, aku justru harus cepat-cepat menginjak rem lagi akibat ada seorang anak kecil yang tiba-tiba menyebrang jalan sembarangan.
“Hei, Nona! Apa kau tidak tahu cara menyetir mobil? Kau hampir saja menabraknya!” protes seorang wanita agak paruh baya yang meneriakiku dari balik kerumunan orang-orang.
Aku segera melompat turun lalu berusaha menjelaskan dengan baik-baik, tapi ia malah menghalangi jalan dan terus mengomeliku selama beberapa menit lamanya. Wanita itu baru menyingkir dari sana saat ada seorang polisi lalu lintas—yang sedang berpatroli—datang dan menyuruhnya agar tidak membuat keributan. Alhasil, aku jadi kehilangan jejak William sekarang.
Sudah setengah jam aku berputar-putar di distrik ini hanya untuk mencari dirinya. Aku tidak bisa berlama-lama lagi. Dad pasti akan memarahiku kalau ia tahu kupergi sendirian menggunakan mobil tanpa seizinnya.
Kalau tidak salah, di sekitar kawasan ini ada sebuah minimarket yang lumayan lengkap. Mungkin sebaiknya aku pergi ke sana dulu agar lebih menghemat waktu.
Matahari sekarang sudah hampir berada di titik puncaknya. Tak disangka-sangka, ketika aku mengamati pohon-pohon berdaun jarum yang ada di sepanjang jalan, kedua mataku malah menangkap mobil putih milik Will yang terparkir manis di area taman kota—Franklin Square. Aku buru-buru menepi. Kemudian, berlari keluar untuk mencari William. Kupegang mobilnya masih terasa panas, itu berarti ia belum lama tiba di sini.
Di salah satu sudut taman, aku tak sengaja mendengar ada dua orang pemuda yang berbincang-bincang. Mereka berdua seperti sedang membahas sesuatu hal yang cukup penting. Aku mendengar suara William dan juga satu suara cowok lain yang sepertinya sudah hampir setiap hari kudengar di high school.
Aku bersembunyi di balik pohon ek tua yang letaknya berseberangan dengan kedua cowok itu. Sejujurnya, aku merasa tidak enak hati menguping pembicaraan mereka. Kesannya aku terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. Tapi, mau bagaimana lagi? Rasa ingin tahuku membubung lebih tinggi sekarang.
Sewaktu sedang sibuk menguping, aku terkejut begitu mendengar suara William yang tiba-tiba berteriak lantang memancarkan luapan amarahnya.
“KAU BENAR-BENAR SUDAH GILA, STEVE!” bentaknya dengan nada bicara yang terdengar geram. “JADI SEKARANG KAU SIMPAN DI MANA LIONTINKU? AKU TIDAK AKAN TINGGAL DIAM KALAU SAMPAI TERJADI APA-APA PADA BENDA ITU GARA-GARA KAU!”
Aku mengerutkan kening. “Steve? Jadi, William datang kemari untuk bertemu dengannya?” gumamku seraya kembali mendengarkan.
“Tidak usah berteriak! Kau pikir aku tuli?” Steve balik menyahut seraya berpindah posisi sehingga aku dapat melihat dirinya.
Aku tidak tahu masalah apa yang sedang terjadi di antara mereka berdua. William sejak tadi terus-menerus menanyakan tentang liontinnya pada Steve. Mungkin maksudnya adalah liontin kristal yang selalu ia pakai setiap hari. Pantas saja belakangan ini aku tidak pernah melihat benda itu lagi di lingkar lehernya. Ternyata, Steve yang sudah berani mengambilnya?
Situasi lama-kelamaan jadi semakin mencekam. Kedua cowok itu sama-sama keras kepala. Tak ada yang mau mengalah sama sekali. Steve enggan untuk mengembalikan liontin itu dan William juga kelihatannya sudah mulai kehabisan kesabaran dengan tingkah laku Steve yang memang suka mencari masalah, bahkan lebih tepatnya pembuat masalah.
Aku sudah tidak bisa lagi hanya berdiam diri dan mendengar mereka berdua terus bercekcok. Meskipun jika terjadi adu jotos dan kuyakin William yang akan menang—karena secara fisik ia jauh lebih mendominasi daripada Steve—tapi rasanya sangat tidak pantas kalau aku hanya menyaksikan mereka saling melayangkan pukulan satu sama lain. Well, ketahuilah aku tidak sekejam itu.
Pada akhirnya, aku pun memutuskan untuk segera mendekati mereka berdua.
“Sudahlah, Steve! Kembalikan saja liontin itu padanya,” kataku memintas obrolan.
Kedua cowok itu langsung tersentak kaget mendapati diriku yang sekonyong-konyong muncul dan menginterupsi pembicaraan.
“Kathleen? Sejak kapan kau ada di sini?” Steve tampak terkejut sementara William tak berkedip menatapku. Sorot matanya seolah-olah ingin menanyakan seberapa banyak yang telah kudengar.