Ini tentang sebuah perselisihan dua puluh Tahun lalu antara Atmaja dan Biantara
Mereka berperang pertumpuhan darah pada saat itu. Atmaja kalah dengan Biantara, sehingga buat Atmaja tak terima dengan kekalahannya dan berjanji akan kembali membuat mereka hancur, sehancur-hancurnya
Hingga sampai pada waktunya, Atmaja berhasil meraih impiannya, berhasil membawa pergi cucu pertama Biantara yang mampu membuat mereka berantakan.
Lalu, bagaimana nasib bayi malang yang baru lahir dan tak bersalah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skyl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 14 ~Akan selalu menjadi menantu kesayangan
Keesokan harinya, baru pagi-pagi banget mamanya sudah datang.
"Kaivan bangun," teriak Pharita mengedar pintu kamar putranya yang belum ke buka.
"KAIVAN," teriaknya lagi. Kali ini suaranya sudah kencang.
Kaivan menguap melihat jam di dinding, baru setengah enam, tidak bisaka dia tidur sebentar lagi aja?
Dengan malas, lelaki itu bangun. Memperbaiki rambutnya yang berantakan setelahnya mencuci wajah lalu membuka pintu.
"Mah baru jam setengah enam, penghulunya juga belum bangun ini mah." Kaivan bersandar di dinding dengan mata yang masih tertutup.
"Kamu pikir jika kamu sibuk berpakaian jam bakal lambat? Kamu orangnya itu lambat banget, belum sarapan, belum lagi kalau mandi biasa setengah jam di dalam kamar mandi, berpakaian pun lalet," omel mamanya membuat Kaivan medengus.
Semoga saja Aruna tidak sebawel mamanya nanti, tetapi sepertinya Aruna tidak bakal sebawel mamanya, mungkin akan lebih parah, eh....
"Iya mamaku, sayang."
"Udah mau punya istri tetap aja otaknya kagak ke pake, sudah sana mandi. Mama sudah nyuruh pelayan buat sarapan buat kalian." Setelah mengatakan hal itu, Pharita pergi dari sana untuk menuju kamar calon menantunya.
Membuka pintu kamar Aruna dengan pelan, mendekati ranjang. Memandang sesaat calon menantunya yang masih terlelap.
"Aruna, sayang." Terbanding terbalik saat membangunkan Kaivan tadi, kini Pharita dengan lembut dan penuh kasih sayang membangunkan calon menantunya.
"Hmm, monster jangan cium cium Una. Una mau bobo," gumam Aruna menepis pelan tangan Pharita yang berada di wajahnya lalu membalikkan tumbuhnya membelakangi wanita paruh baya itu.
Pharita tersenyum, menggemaskan sekali menantunya ini.
"Aruna ini mama."
"Hmm mama...."
Aruna kembali memejamkan matanya belum sepenuhnya sadar, dia masih ingin tidur.
Pharita beranjak untuk membuka gorden balkon agar suasana sejuk masuk ke dalam kamar calon menantunya.
"Aruna bangun." Pharita mengusap rambut Aruna dengan kelembutan.
Aruna membuka matanya perlahan merasakan perlakuan yang begitu membuatnya nyaman.
"Mama." Aruna yang pertama kali membuka mata langsung melihat Pharita jadi bingung, kenapa tiba-tiba ada wanita paruh baya itu di sini? Apakah mereka kembali ke rumah Pharita?
"Sudah bangun?" Pharita membantu Aruna membangunkan dirinya.
"Mama kenapa ada di sini?" tanya Aruna bingung.
"Iya mama ke sini, mau ajak Aruna jalan-jalan."
"Wah, beneran?" tanya Aruna antusias mendengarnya.
"Iya, udah sekarang Aruna mandi dulu."
Aruna lompat turun dari ranjang membuat Pharita menggigit bibir bawahnya takut sang calon menantu cedera.
"Hati-hati."
"Mama tunggu Una, ya. Jangan tinggalin Una," teriak Aruna membuat Pharita berdehem gemas.
Saat Aruna tengah mandi, Pelayan datang membawa alat make-up, serta gaun yang indah. Walaupun hanya nikah di kua dulu, tapi dia ingin menantu dan anaknya tampil dengan menarik.
"Kamu tunggu Aruna selesai mandi, saya ke kamar Kaivan dulu."
"Baik Nyonya."
Pharita kembali ke kamar putranya, ternyata Kaivan sudah duduk di sisi ranjang dengan pengering rambut di tangannya.
"Mama boleh masuk?"
Suara itu membuat Kaivan menoleh lalu mengangguk, tanda membiarkan mamanya masuk.
"Mama kenapa jadi sungkan begitu, biasanya juga langsung masuk-masuk aja."
"Kan nanti kamu udah punya istri, mama enggak bakal bersikap seperti itu lagi. Kan kamar ini nanti jadi kamarmu dengan Aruna."
Kaivan menatap mamanya. Diraut wajahnya terlihat menyenduh tetapi ada rasa bahagia juga.
Pharita sedih sebab putra satu-satunya sebentar lagi memiliki istri, itu berarti sudah tak akan seperti dulu, dia harus memberikan jarak kepada putranya agar lebih fokus kepada istrinya nanti. Namun, ada rasa bahagia juga melihat sang putra akan segera menikah.
"Sini biar mama keringkan rambutmu." Pharita mengambil ahli hair dryer dari tangan putranya.
"Kai, bukan bermaksud tak ingin menerima Aruna apa adanya tetapi mama meminta ke kamu untuk mencari asal-usul Aruna yang sebenarnya, dia anak siapa, dari keluarga mana. Mama tidak peduli dengan pikiran orang-orang tentang bibit bobot menantu mama, hanya..."
"Kaivan sudah mencari tau, mah. Namun, memang sangat susah sebab Aruna sepertinya sudah dari kecil bersama dengan seseorang yang menjualnya, asal usul dibalik seseorang yang menjual Aruna pun Kaivan dan Denis belum dapat sama sekali, emang sesulit itu."
"Kenapa tidak minta bantuan kepada papa? Mungkin papa bisa membantu."
Benar juga, papanya pasti banyak kenalan seperti hacker dan lain-lainnya yang cerdik tentang mencari informasi.
"Nanti Kai diskusikan dengan papa."
"Oke."
"Mah," panggil Kaivan.
"Kenapa?"
"Mama yakinkan dengan pernikahan Kaivan dan Aruna? Mama akan menerima Aruna kan? Jika seandainya Aruna tidak bisa sembuh, apa mama masih menyayanginya?" tanya Kaivan.
"Kaivan, mama kalau sudah mengambil keputusan itu sudah mama pikirkan dengan baik-baik, mama setuju kamu dengan Aruna menikah. Lalu tentang kekurangan Aruna, jika seandainya Aruna tidak bisa sembuh, tidak apa-apa. Aruna akan tetap menjadi menantu kesayangan mama. Jika mama tidak menyayangi segala kekurangan dan kelebihannya tidak mungkin mama menikahkanmu dengannya, dengan kondisinya yang seperti ini. Mama pasti akan meminta kalian menikah disaat Aruna sudah sembuh, tapi enggak kan? Itu berarti mama akan menerima apapun kondisi Aruna ke depannya, satu kali lagi dia akan tetap menjadi menantu kesayangan mama."