••GARIS TAKDIR RAYA••
Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.
Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.
Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22: Sahabat baru
Sudah dua minggu lebih Raya menjalani semua aktivitasnya dengan tenang, tanpa gangguan dari sahabat-sahabat Arka maupun dari teman sekelasnya. Hari-hari berlalu begitu saja, seolah dunia di sekitarnya menyadari keputusan yang telah dibuat. Mungkin ini dampak dari ucapan Arka yang mengatakan bahwa Raya adalah kekasihnya, sehingga semua orang mulai menjaga jarak, tak lagi mengganggu Raya. Ternyata, begitu hebat pengaruh ucapan dari orang yang memiliki kuasa, bahkan jika itu hanya sebuah kebohongan.
"Raya, kamu sudah selesai?" tanya seorang wanita dengan suara lembut, mendekati Raya yang masih duduk termenung, menatap keluar jendela kelas. Raya menoleh, sedikit terkejut mendengar suara yang dikenal.
"Ekh, Mia? Ada apa? Tumben sekali datang ke sini?" tanya Raya dengan nada penasaran.
"Yuk, pulang bersama ku. Apa kamu keberatan kalau aku mengantarkan mu pulang?" Tanya Mia, sambil tersenyum lebar. Wajahnya yang cerah dengan senyum manis membuat Raya merasa sedikit terkejut dengan tawaran tiba-tiba itu.
"Akh, tidak kok. Apa kamu tidak masalah mengantarkan aku pulang? Sebenarnya aku bisa pulang sendiri," jawab Raya dengan ragu, merasa tidak enak jika terlalu merepotkan Mia.
"Apa lah kamu ini? Bukankah kamu sudah menganggap aku keluargamu?" jawab Mia dengan wajah cemberut, namun cemberutnya itu justru membuatnya terlihat semakin manis. Raya hanya bisa tersenyum melihat tingkah Mia yang selalu ceria.
"Tentu saja iya, Mia. Aku hanya tidak ingin merepotkan mu saja," ujar Raya, berusaha menjelaskan dengan lembut.
"Ayolah, Kakak May pasti akan marah kalau terlalu lama menunggu kita. Kamu tahu kan, kalau dia marah, bisa sangat menyeramkan!" ujar Mia, diiringi dengan kekehan kecil yang keluar dari mulutnya. Suasana menjadi lebih ringan dengan tawa Mia, membuat Raya sedikit terhibur.
Raya akhirnya memutuskan untuk ikut dengan Mia. Tidak ada salahnya, toh arah pulang mereka memang sama, jadi sekalian saja. Ia merasa sedikit lega karena bisa menghindari keramaian dan menikmati waktu pulang dengan suasana yang lebih tenang bersama Mia.
MIA BERRY JOHARI, atau yang biasa dipanggil Mia atau Mimi oleh orang-orang terdekatnya, adalah seorang wanita cantik dengan kulit cerah yang memancar dengan alami. Wajahnya berbentuk oval dengan mata cokelat besar yang penuh ekspresi, yang seolah-olah menceritakan segala perasaan yang ada di hatinya. Setiap kali dia menatap seseorang, matanya seakan berbicara lebih dalam dari kata-kata yang terucap. Hidungnya mancung, memberikan kesan anggun pada wajahnya, sementara bibirnya yang penuh selalu tersenyum lembut, memberi kesan ramah yang bisa membuat siapa saja merasa nyaman berada di dekatnya.
Rambut panjangnya bergelombang, berwarna cokelat gelap, tergerai dengan bebas, kadang-kadang sedikit mengalir di bahunya ketika ia berjalan. Penampilannya yang natural semakin memancarkan pesona, namun yang lebih menonjol adalah aura kehangatan yang selalu dia bawa kemanapun ia pergi. Mia dikenal luas karena sikap empatinya, selalu bisa memahami perasaan orang lain, dan memiliki kemampuan luar biasa untuk membuat siapa saja merasa diperhatikan dan nyaman, termasuk Raya.
Mia merupakan keturunan campuran Malaysia dan Indonesia, warisan dari orang tuanya. Meskipun lahir dan besar di Malaysia, ia memilih untuk tinggal di Indonesia bersama sang kakak, Lula Ulamay Johari, karena orang tuanya yang sering kali absen dan jarang berada di rumah. Pilihannya untuk menetap di Indonesia bukan tanpa alasan. Meski jauh dari keluarga, ia merasa lebih dekat dengan kakaknya yang kini tinggal bersamanya.
Mia baru saja pindah ke universitas yang sama dengan Raya sekitar enam hari yang lalu. Walaupun mereka baru bertemu beberapa hari saja, kedekatan mereka terjalin begitu cepat. Sifat Mia yang ramah dan tidak sombong membuat Raya merasa nyaman dan tidak terintimidasi, bahkan mereka langsung akrab seakan sudah berteman lama. Mia bukan tipe orang yang suka menyombongkan diri, dia lebih memilih untuk bersikap rendah hati, dan hal itulah yang membuatnya mudah diterima oleh siapa saja, termasuk Raya.
Mia memiliki seorang kakak perempuan bernama LULA ULAMAY JOHARI, yang biasa dipanggil Kak May. Wajah mereka berdua memang sangat mirip, cantik dan menawan, namun yang membedakan keduanya adalah tinggi badan. Ulamay lebih tinggi dari Mia, dan itu sangat terlihat ketika mereka berdiri berdampingan. Ulamay memiliki postur tubuh yang lebih tinggi dan lebih ramping, sedangkan Mia memiliki tubuh yang lebih kecil dan proporsional. Keduanya memang terlihat menonjol, dengan aura yang berbeda namun tetap memikat.
Ulamay kini sudah sukses bekerja di dunia kedokteran, mengikuti jejak sang kakek yang juga seorang dokter. Dia telah berhasil menjadi seorang dokter muda yang berpraktik di salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Sementara itu, Mia masih berstatus sebagai mahasiswa, seumuran dengan Raya, yang sedang menjalani hari-hari di bangku kuliah. Meski baru beberapa hari berteman dengan Raya, Mia dan Ulamay sudah merasa sangat menyukai sifat Raya yang ramah, jujur, dan juga rendah hati. Mereka berdua bahkan sering terpesona dengan kecantikan alami yang dimiliki Raya. Tidak hanya cantik, tapi sikap Raya yang santai dan tidak memandang orang dari penampilannya membuat Mia merasa bahwa mereka berdua cocok menjadi teman dekat. Wajah Raya yang cantik bahkan membuat keduanya merasa kagum, apalagi melihat bahwa Raya sendiri tidak menyadari betapa menawannya dirinya.
"Hallo Raya..." sapa Ulamay dengan suara lembut saat Raya dan Mia sudah duduk di dalam mobilnya, menggoyangkan rambut panjangnya yang tergerai. Ulamay memberi senyuman hangat yang selalu dia miliki, tanda bahwa dia memang tipe orang yang mudah bergaul.
"Hallo juga, Kak May. Apa kabar?" tanya Raya, memberikan sapaan yang terkesan biasa, namun ada kehangatan dalam suaranya. Dia merasa cukup nyaman dengan kehadiran Ulamay, meskipun baru mengenalnya.
"Baik... Bagaimana hari-harimu bersama Mia? Apa dia menyusahkan mu beberapa hari ini?" tanya Ulamay lagi, suaranya penuh perhatian, mencoba mengorek lebih dalam bagaimana hubungan mereka berdua selama ini.
"Tidak juga... Kak Mia tidak menyusahkan aku sama sekali. Dia wanita baik, aku beruntung bisa berteman dengannya." jawab Raya dengan tulus, matanya berbinar saat menyebutkan Mia. Meskipun keduanya baru berteman, Mia sudah berhasil mencairkan sisi introvert dalam dirinya. Raya merasa senang bisa mengenal seseorang seperti Mia. Sebelumnya, Raya memang cenderung tidak dekat dengan siapa pun di universitas, terlebih lagi dengan status sosialnya yang merasa jauh dari mahasiswa lainnya.
"Raya selalu berlebihan, Kak. Aku juga merasa tidak enak karena Raya selalu mengucapkan terima kasih dan maaf padaku, padahal apa yang dia lakukan dan aku lakukan bukanlah hal besar." Mia memandang Ulamay dengan wajah agak cemberut, meskipun senyum kecil tak bisa dia sembunyikan. Dia merasa geli dengan sikap Raya yang selalu penuh sopan santun.
"Ya karena dia anak yang sopan, bukan seperti kamu yang nakal." balas Ulamay sambil terkekeh geli melihat wajah masam Mia. Kedekatan mereka berdua terlihat sangat jelas, saling menggoda satu sama lain.
"Ini lagi, kenapa kakak malah membela Raya? Mentang-mentang kakak sudah ada Raya, sampai tega berkata seperti itu pada adiknya sendiri." Mia berkomentar dengan wajah cemberut yang makin manis, menunjuk ke arah Raya yang duduk di sampingnya. Meski kelihatannya kesal, ada senyum kecil yang tak bisa dia sembunyikan.
"Raya adik bontotku, dan kamu adikku yang paling manja. Aku menyayangimu juga Raya secara adil, jadi kamu tidak perlu berpikiran macam-macam." Ulamay menjawab sambil terkekeh, melihat Mia yang kini mulai menunjukkan wajah masamnya.
"Iya, Mia, kau sahabatku, dan Kak May juga kakakku. Kalian orang-orang terbaik yang pernah aku kenal. Terima kasih banyak sudah menerima aku di kehidupan kalian." Raya berkata dengan tulus sambil menatap Mia yang duduk di sampingnya. Senyum lembut terukir di wajahnya, matanya terlihat berbinar karena kehangatan yang dia rasakan dari keduanya.
"Tuh kan Kak, Kakak lihat sendiri, anak ini memang menyebalkan! Selalu saja bilang terima kasih, padahal kita tidak melakukan apa-apa untuknya." ujar Mia dengan senyum manis di wajahnya, memeluk Raya dengan penuh kehangatan. Ia tertawa kecil, namun ada rasa sayang yang jelas terlihat di matanya.
Drtttttttt... Drtttttttt... Drtttttttt...
Dering ponsel Raya memecah percakapan yang tengah berlangsung di antara dirinya, Ulamay, dan Mia. Suara dering itu terdengar cukup keras, membuat ketiganya terdiam sejenak. Raya merasa sedikit canggung karena percakapan mereka terhenti begitu saja. Namun, perkataan Mia dengan cepat membuatnya merasa lega.
"Angkat saja, apa dari boyfriend-mu?" tanya Mia dengan nada usil, matanya menyipit dan memberi tatapan menggoda pada Raya.
"Akhhh... bukan, ini dari kakak tingkatku." jawab Raya dengan sedikit cemas, sambil menggeser ikon hijau pada layar ponselnya untuk mengangkat telepon tersebut. Suaranya terdengar agak terpaksa, seolah dia berharap pembicaraan ini bisa selesai dengan cepat.
"RAYA... Lo di mana, hah?" Suara di seberang sana terdengar keras dan penuh amarah, membuat Raya terkejut. Tanpa disangka, nada marah Arka cukup menggelegar di telinganya.
"Aku di jalan pulang, ada apa?" jawab Raya, berusaha terdengar tenang dan senormal mungkin, meskipun hatinya sedikit gelisah. Dia bisa merasakan tatapan Mia dan Ulamay yang tertuju padanya, meski mereka berusaha tidak terlalu mencampuri percakapan itu.
"Gue bilang juga tunggu gue, lo bahkan nggak baca pesan dari gue. Emang makin hari lo makin ngelunjak ya sama gue. Udah ngerasa hebat lo kaya gitu?!" Arka kembali mengeluarkan kata-kata yang tajam, suara kesalnya makin terdengar jelas.
Raya menahan napas sejenak, berusaha menenangkan dirinya. Dia tahu Arka sedang marah, tapi dia juga harus tetap menjaga ketenangannya di depan Mia dan Ulamay.
"Aku harus mengerjakan sesuatu yang lain, Kak, sebab itu aku pulang terburu-buru. Dan soal pesan, aku nggak nyalain data internet, jadi kemungkinan pesanmu belum masuk." Raya mencoba menjelaskan dengan jujur, berharap Arka mengerti tanpa merasa lebih marah lagi.
"Banyak alasan banget jadi cewek, siapa yang nyuruh lo matiin data seluler, hah? Kalau lo nggak mampu beli bilang sama gue, gue bukan orang miskin!" Arka berbicara lebih kasar kali ini, nadanya masih terdengar tinggi dan penuh amarah, membuat Raya sedikit terkejut.
"Aku tahu, tapi aku benar-benar lupa." Raya menjawab pelan, ingin segera mengakhiri percakapan ini. Dia melirik ke arah Mia yang tampak fokus pada ponselnya, dan Ulamay yang tetap fokus menyetir, seolah tak terganggu dengan percakapan raya , meskipun Arka berteriak - teriak suaranya memang tidak mungkin terdengar jelas oleh Mia dan ulamay, karena Raya mengecilkan volume nya .
"Banyak alasan! Pokoknya gue tunggu lo di rumah, awas aja kalau dalam waktu 15 menit lo nggak sampai juga." ujar Arka dengan nada mengancam, sebelum langsung memutuskan sambungan teleponnya dengan kasar. Suara dering telepon yang terputus itu terdengar jelas di telinga Raya.
"Kenapa, Ray? Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Mia, nada khawatir jelas terdengar di suaranya. Dia tidak sengaja mendengar sebagian percakapan antara Raya dan Arka, karena posisi Mia yang memang tepat di samping Raya membuatnya bisa mendengar dengan jelas suara Arka yang barusan marah-marah. Raya menatap Mia sejenak, mencoba untuk tersenyum, meskipun hatinya sedikit cemas.
"Semuanya baik-baik saja, Mia." (jawabnya, berusaha meyakinkan sahabatnya, meski dia sendiri merasa tidak begitu yakin dengan kata-katanya. Lalu, tiba-tiba dia teringat sesuatu) "Oh iya, bolehkah aku minta tolong, Kak May?" tanyanya, beralih pada Ulamay yang duduk di kursi kemudi. Mia yang mendengar permintaan Raya itu menatap sahabatnya dengan ragu, tetap tidak bisa menutupi rasa khawatirnya.
"Kamu serius, Ray?" tanya Mia lagi, masih tidak yakin. Dia sangat khawatir, terutama setelah mendengar suara Arka yang terdengar marah-marah barusan, bahkan jika itu hanya samar-samar.
"Mia sudah cukup..." (sahut Ulamay dengan tegas, mengalihkan perhatian adiknya agar tidak terlalu mendesak Raya. Ulamay tahu betul bahwa Raya mungkin tidak ingin membicarakan masalahnya di depan mereka) "Oh iya, Raya, kamu butuh apa tadi?" tanya Ulamay, berusaha memberi kesempatan bagi Raya untuk menjelaskan keinginannya.
"Aku harus membeli barang di minimarket di depan sana. Apa boleh menepi sebentar?" tanya Raya sambil menunjuk minimarket kecil yang ada di sisi jalan, tepat di depan mereka. Ulamay mengangguk tanpa ragu, langsung menepikan mobilnya dengan halus.
"Tentu saja, kenapa tidak?" jawab Ulamay, lalu dia melihat ke arah Mia "Oh ya, Mia, apa kau juga ingin membeli sesuatu?" tanya Ulamay dengan senyum kecil.
"Iya, aku mau beli sabun cuci muka, sekalian mie instan juga." jawabnya dengan girang, seolah tidak ada yang bisa menghentikan kegembiraannya.
"Ingat ya, jangan terlalu sering memakan mie instan jika tidak ingin ku hukum." kata Ulamay dengan nada bercanda, meskipun ada sedikit keseriusan di balik kalimat itu. Memang, Ulamay dikenal sebagai kakak yang sangat protektif terhadap Mia, apalagi dalam urusan kesehatan. Mia mendengus kesal, namun senyumnya tak kunjung padam.
"Apa-apa selalu dia yang mengatur seenaknya. Pikiran kakak itu terlalu kuno!" ujar Mia sambil mendengus, meskipun tetap mengikuti Raya keluar dari mobil untuk membeli barang yang dibutuhkannya.
Raya hanya tersenyum mendengar percakapan itu, merasa lega karena suasana kembali menjadi ringan. Mia dan Ulamay mungkin terlihat seperti bertengkar, tetapi Raya tahu betul bahwa keduanya saling menyayangi dengan cara mereka sendiri.
•••
Cukup lama ulamay menunggu Raya dan adiknya kembali. Suasana di dalam mobil terasa hening, hingga tiba-tiba saja terdengar suara dering ponsel dari kursi belakang. Ulamay menoleh ke belakang dan melihat ponsel tersebut tergeletak di kursi belakang, terpampang jelas dengan layar menyala.
"Ouh, ponsel Raya ternyata," ujar ulamay sambil melirik sejenak. Namun, dia memutuskan untuk tidak mengganggu, karena tidak ingin dianggap tidak sopan dengan menyentuh barang pribadi milik orang lain.
Tak lama, terdengar suara pintu mobil terbuka dan Raya bersama Mia kembali masuk ke dalam mobil. Keduanya tampak keluar dari minimarket, membawa tas kain di tangan mereka. Melihat pemandangan itu, ulamay langsung memperhatikan isi belanjaan mereka. Ternyata, belanjaan Mia jauh lebih banyak daripada Raya.
"Sebal sekali aku!" ujar Mia dengan wajah cemberut, saat mereka kembali duduk di kursi masing-masing di dalam mobil.
"Ada apa ini? Kenapa belanjaannya bisa banyak sekali? Bukannya tadi kamu bilang cuma mau beli sabun cuci muka saja?" tanya ulamay, bingung melihat wajah masam sang adik. Ia kemudian menyalakan mesin mobil, siap untuk melanjutkan perjalanan mereka pulang.
"Sepertinya Daddy memblokir kartu ku, kak. Masa pas mau bayar malah tidak bisa?" ujar Mia, suaranya masih terdengar kesal. Wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam.
"Astaga!! Masa iya sih? Lalu, apa Raya yang membayar belanjaan kamu?" tanya ulamay dengan penuh rasa heran. Ia menatap Raya yang duduk di kursi penumpang depan.
"Iya... dia yang membayar semua belanjaan ku karena tidak bisa dibatalkan. Lagi pula, apa salahku sampai-sampai Daddy memblokir kartu ku? Aku selalu saja dikekang seperti anak kecil," ujar Mia dengan nada frustrasi. Wajahnya benar-benar menunjukkan betapa kesalnya dia dengan perlakuan orangtuanya.
"Renungkan dulu, Mia. Daddy bukan orang yang bertindak semena-mena pada putrinya. Mungkin ini teguran dari Daddy karena kamu tidak mendengarkan ucapan Mommy kemarin," ujar ulamay berusaha menasihati adiknya yang sedang kesal.
"Mom and Dad sangat menyebalkan!" jawab Mia, tak terima dengan aturan yang diberikan orangtuanya. Ulamay hanya bisa menggelengkan kepala mendengar keluhan itu.
"Tidak apa-apa kak. Itu hanya 400 ribu saja," ujar Raya dengan santai, mencoba meringankan suasana. Senyum tipis tersungging di wajahnya, menenangkan keadaan yang sempat tegang.
"Baiklah, nanti kakak ganti ya Raya. Kirim nomor rekeningmu ke WhatsApp kakak, supaya bisa segera ditransfer," ujar ulamay, berniat untuk mengembalikan uang yang sudah dibayarkan Raya.
"Tidak usah, kak. Mia anggap saja aku mentraktir kamu kali ini. Lain waktu, kamu bisa traktir aku juga," jawab Raya dengan rendah hati, menolak tawaran ulamay.
"Setuju! Tapi ingat, kalau suatu hari nanti aku yang bayar semua belanjaan kamu, kamu nggak boleh nolak, ya!" ujar Mia dengan senyum nakal di wajahnya. Ia terlihat sangat senang bisa melanjutkan percakapan tersebut dengan cara yang lebih ringan.
"Janji, Mia!" jawab Raya sambil tersenyum lebar, merasa senang bisa berbicara santai dengan sahabatnya, meskipun sempat sedikit tegang sebelumnya.
Ulamay hanya tersenyum mendengar percakapan antara adiknya dan sahabat barunya itu. Ada perasaan lega sekaligus bahagia yang menyelinap dalam hati. Sebagai seorang kakak, Ulamay memang sering khawatir jika Mia salah memilih teman—terjebak dengan orang yang hanya ingin memanfaatkan kebaikan adiknya. Namun, kehadiran Raya seolah menghapus kekhawatiran itu. Gadis itu terlihat tulus, sopan, dan penuh rasa syukur, sifat-sifat yang Ulamay kagumi sejak pertama bertemu.
Perjalanan kembali dilanjutkan dengan suasana yang lebih tenang di dalam mobil. Ulamay memutar lagu jazz ringan dari playlist-nya, menemani mereka melintasi jalan yang mulai sepi. Sesampainya di depan rumah Raya, Ulamay menghentikan mobilnya dengan perlahan. Lampu teras rumah Raya menyala temaram, memberikan kehangatan pada malam yang sedikit berangin.
"Terima kasih banyak, Mia dan Kak May, sudah mengantarku pulang," ujar Raya dengan senyum tulus sembari melepas sabuk pengaman. Ia turun dari mobil dengan hati-hati, membawa tas belanjaannya.
"Sama-sama, Ray! Jangan lupa istirahat, ya!" balas Mia sambil melambai riang dari dalam mobil.
"Iya, istirahat yang cukup, Raya. Jangan terlalu memikirkan hal-hal yang tidak perlu," Ulamay mengangguk sambil tersenyum.
Setelah Raya menutup pintu mobil, kendaraan itu perlahan berlalu meninggalkan halaman rumahnya. Raya menatap mobil itu sampai benar-benar hilang dari pandangan, lalu menghela napas lega. Tapi, saat ia berbalik menuju pintu rumah, tubuhnya langsung menegang.
Benar saja, di teras rumahnya sudah ada Arka. Duduk di salah satu kursi dengan ponsel di tangan, pria itu langsung mengalihkan tatapannya ke arah Raya. Sorot matanya tajam, menusuk seperti ingin mengintimidasi. Suasana hangat yang sempat dirasakan Raya tadi langsung lenyap, digantikan oleh hawa dingin yang membuat tengkuknya meremang.
"Baru pulang?, dari mana aja?," tanya Arka, nadanya rendah namun penuh tekanan. Ia menyimpan ponselnya ke dalam saku celana, lalu berdiri perlahan, seolah ingin menegaskan dominasinya. Raya menelan ludah. Ia tahu, malam ini tidak akan berlalu begitu saja tanpa omelan panjang dari kakak tingkat yang kini sudah menjadi tunangan nya .
Raya berusaha mengendalikan emosi saat mendengar ucapan Arka . Seolah setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah bentuk tuduhan yang tak beralasan. Ia menarik napas panjang, menenangkan diri sebelum menjawab dengan suara selembut mungkin.
"Iya, Kak, ada sesuatu yang harus aku lakukan" jawab Raya pelan, berusaha terdengar se-sopan mungkin meski hatinya terasa sedikit tertekan. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah lebih dekat.
"Kenapa lo ikut sama mereka, hah? Kan gue udah berulang kali bilang kalau gue bakal antar-jemput! Lo kenapa sih ngeyel banget jadi cewek, huh?!" Nada Arka naik satu oktaf, memecah keheningan malam yang seharusnya tenang. Pertanyaan bertubi-tubi yang keluar dari mulutnya tak memberi ruang bagi Raya untuk sekadar menarik napas.
"Kak, sudah, lah. Ini cuma masalah sepele. Lagipula aku pergi dengan temanku," ujar Raya lembut, berusaha meredakan emosi pria itu.
"Masalah sepele lo bilang?!" Arka memandang Raya dengan tatapan tak percaya. "Lo tuh enggak pernah ngerti kalau gue ngomong, ya?!" Raya mendesah panjang, mencoba tetap tenang meski kesabarannya mulai terkikis.
"Kak, bisakah aku masuk dulu? Aku lelah, ingin ganti baju, " suaranya terdengar lelah , namun dia berusaha untuk bersabar menghadapi sikap pengatur pria di depannya ini , sedang Arka yang mendengar itu hanya mendengus kesal, lalu kembali berucap.
"Cepet buka pintunya! Panas gue nunggu lo dari tadi di luar." ujar Arka yang membuat Raya hanya menghela napas berat, enggan memperpanjang pertengkaran. Ia membuka pintu dan masuk ke rumah dengan langkah yang sedikit lunglai. Arka mengekor di belakangnya, wajahnya masih masam. Begitu mereka masuk, Raya langsung menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua, sementara Arka tetap di bawah.
"Apa yang dia beli, sih?" gumamnya penasaran, tatapan pria itu tertuju pada kantong belanjaan yang tadi dibawa oleh Raya.
"Eumm... masak aja, kali," ujar Arka pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Entah angin apa yang membuatnya berinisiatif memasak untuk orang lain, padahal sebelumnya jangan kan memasak untuk orang lain, untuk dirinya sendiri saja dia enggan repot-repot melakukannya.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Raya turun dari lantai atas dengan pakaian yang sudah diganti. Rambutnya masih sedikit basah, memberi kesan segar setelah mandi. Matanya langsung tertuju pada Arka yang duduk di meja makan dengan hidangan yang sudah tersaji di hadapannya.
"Lama banget, lo," cetus Arka ketus begitu Raya mendekat.
"Maaf, tadi aku mandi dulu, kamu yang masak semua ini, Kak?," jawab Raya sembari menarik kursi untuk duduk. Matanya menyapu meja makan yang dipenuhi hidangan sederhana namun tampak menggiurkan.
"Menurut lo siapa? Setan, gitu? Cepat lah makan, urusan kita belum beres," balas Arka dengan nada sarkastis.
Raya hanya mengangguk kecil dan mulai makan tanpa banyak bicara. Suapan pertama membuat matanya sedikit membesar. Rasanya... lumayan enak. Tidak menyangka Arka bisa memasak sebaik ini.
"Udah selesai," ujar Raya setelah menelan suapan terakhirnya. Ia bangkit dari kursi dan mulai membereskan piring.
RUANG TAMU
"Lo tahu salah lo apa?" tanya Arka dengan nada dingin, matanya menatap tajam ke arah Raya yang duduk tak nyaman di sofa.
"Iya," jawab Raya singkat dan padat, tanpa ekspresi yang berarti. Dia sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini, apalagi sejak Arka membuat pengakuan mengejutkan kepada keluarga besar bahwa dia adalah calon istrinya.
"Lalu? Bukannya gue selalu bilang kalau lo gak boleh numpang di mobil siapapun? Lo cuma boleh pulang bareng gue. Jangan mentang-mentang gue gak masuk kampus dua hari, lo bisa seenaknya bertingkah," ucap Arka dengan nada penuh penekanan. Raya menarik napas panjang, mencoba tetap tenang meskipun hatinya bergejolak.
"Aku hanya pulang bersama temanku, Kak. Itu juga bukan pria. Lagi pula, untuk apa Kakak mengatur hidupku sampai sejauh ini? Hubungan kita kan tidak memiliki arti apa-apa," ujarnya dengan nada tegas, meski ada getaran kecil di suaranya.
"Mau itu cowok ataupun cewek, lo tetep gak boleh numpang bareng mereka. Dan ya, hubungan yang lo bilang gak ada artinya ini sangat berarti bagi keluarga gue. Jadi lo seharusnya punya rasa tanggung jawab sendiri karena nama keluarga gue udah terseret-seret di belakang nama lo!" balas Arka dengan nada yang mulai naik.
"Aku gak pernah minta nama keluargamu ada di belakang namaku!," bentak Raya dengan nada bergetar, matanya memerah.
"Apa?!" Arka menatapnya dengan ekspresi marah, seolah menantang Raya untuk mengulang kalimat itu sekali lagi. Raya menghela napas berat, mencoba menenangkan diri.
"Sebaiknya Kakak katakan saja yang sejujurnya pada semua keluarga Kakak. Mereka pasti akan menerima keputusan Kakak. Tolonglah, aku tidak ingin terseret lebih jauh lagi dalam hal ini," ujar Raya, suaranya terdengar memohon. Arka menggeram pelan, rahangnya mengeras.
"Jangan mancing-mancing emosi gue, Raya. Lo tahu kesabaran gue setipis apa. Jangan sampai gue lakuin hal yang gak pernah lo bayangkan sebelumnya," ucapnya tajam, penuh ancaman terselubung.
Raya terdiam, tubuhnya sedikit gemetar. Kata-kata Arka mengingatkannya pada kejadian di kamar Arka beberapa waktu lalu, saat pria itu menunjukkan betapa nekatnya dia untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
Dengan hati yang berat, Raya memilih diam. Tidak ada gunanya memperpanjang perdebatan. Diam adalah satu-satunya cara untuk bertahan di tengah situasi yang penuh tekanan ini.
Ting... Tong...