NovelToon NovelToon
ANAK RAHASIA

ANAK RAHASIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / One Night Stand / Single Mom / Hamil di luar nikah
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.

Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?

Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

NARASI Episode 22

Affan berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan langkah santai, membawa kantong kertas berisi makanan yang masih hangat. Ia tahu Kamala pasti belum sempat makan dengan baik, terlebih dengan kondisi Reyna yang masih dalam masa pemulihan.

Saat hampir sampai di depan kamar, Affan melihat seorang pria berdiri di sudut koridor, tampak mencurigakan. Pria itu mengenakan jaket hitam dengan topi yang ditarik rendah, wajahnya sebagian tertutup bayangan.

Affan memperlambat langkah, memperhatikan gerak-gerik pria itu yang tampak mengintip ke dalam kamar Kamala.

Namun, begitu pria itu menyadari kehadiran Affan, ia langsung berbalik dan berjalan cepat menuju arah yang berlawanan.

Affan tidak tinggal diam. Dengan cepat, ia mempercepat langkahnya dan mulai mengejar pria tersebut.

"Hei! Berhenti!" teriak Affan, namun pria itu justru mempercepat langkahnya, berusaha melarikan diri.

Pria itu berbelok di ujung koridor, menuju tangga darurat. Affan mengikutinya tanpa ragu. Langkah kaki mereka bergema di sepanjang tangga beton yang sunyi.

Saat mencapai lantai bawah, pria itu hampir berhasil keluar dari pintu darurat. Namun, Affan melompat dan menarik jaket pria itu dengan kuat, membuatnya kehilangan keseimbangan dan tersungkur ke lantai.

Affan langsung menindih pria itu, menahan tangannya ke belakang. "Siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dengan nada tajam.

Pria itu meronta, mencoba melepaskan diri. "Lepaskan aku!" suaranya terdengar putus asa, tetapi Affan tidak membiarkannya lolos.

"Jawab dulu pertanyaanku!"

Pria itu terdiam beberapa detik sebelum akhirnya mendesah kasar. "Aku hanya disuruh mengawasi. Aku tidak tahu apa-apa!"

Affan menyipitkan mata. "Disuruh siapa?"

Pria itu terdiam, jelas enggan menjawab. Namun, sebelum Affan bisa menekan lebih jauh, pria itu tiba-tiba mengangkat lututnya dan menghantam perut Affan dengan keras.

Affan terhuyung ke belakang, memberikan kesempatan bagi pria itu untuk melarikan diri. Dengan cepat, pria itu bangkit dan berlari menuju pintu keluar.

Affan mencoba mengejarnya lagi, tetapi pria itu sudah lebih dulu melompati pagar kecil dan menghilang di tengah keramaian jalan.

Affan mengumpat pelan, napasnya masih memburu.

"Brengsek! ****"

"Siapa pria itu? Pasti ada hal yang tidak beres dengan Kamala, hingga seseorang harus mengawasinya." gumamnya, matanya masih menatap ke arah pria itu menghilang.

Jantungnya masih berdetak cepat, bukan hanya karena kejaran tadi, tetapi juga karena firasat buruk yang mulai merayapi benaknya. Ini bukan kebetulan.

Affan mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri sebelum kembali ke lantai tempat Kamala dirawat. Saat ia tiba di depan kamar, ia menarik napas dalam-dalam, memastikan ekspresinya tetap tenang sebelum membuka pintu.

Di dalam, Kamala sedang duduk di samping tempat tidur Reyna, sementara Ratna masih berada di sana, tampak berbicara lembut dengan cucunya.

Begitu melihat Affan masuk, Kamala tersenyum kecil. "Affan? Kau dari mana? Lama sekali."

Affan melirik sekilas ke arah Ratna sebelum berjalan mendekat. Ia tidak ingin membahas kejadian tadi di depan Kamala. "Maaf, aku sempat ada urusan mendadak," jawabnya singkat.

Affan beralih memandang wajah Ratna, lalu memperhatikannya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Dahi Affan mengernyit. Ia tidak mengenal wanita itu.

"Kamala," ucapnya pelan, mencoba menahan kegelisahannya, "siapa wanita ini?"

Kamala menoleh ke arah Ratna sebelum kembali menatap Affan. Senyumnya tipis, seolah mengisyaratkan sesuatu yang besar telah terjadi.

"Affan, kenalkan... ini Ibu kandungku," ujar Kamala dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.

Affan membeku. Matanya melebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Apa?"

Ratna tersenyum, tatapannya lembut namun mengandung sesuatu yang sulit diterjemahkan. "Kau pasti suaminya Kamala, ya?" katanya, seolah mencoba mencairkan suasana. "Namaku Ratna, ibu kandung Kamala."

Affan langsung mengernyit mendengar ucapan Ratna. Suami?

Ia melirik Kamala, yang tampak sedikit terkejut tetapi segera menggeleng pelan. "Bukan, Bu. Affan bukan suamiku," katanya dengan nada hati-hati.

Ratna mengangkat alisnya, lalu tersenyum tipis. "Oh, maaf. Aku hanya mengira begitu karena sikapnya yang protektif."

Affan masih menatap Ratna dengan tatapan waspada. Ada sesuatu tentang wanita ini yang tidak memberinya rasa nyaman. Ia lalu menoleh ke Kamala. "Kau bilang dia ibumu?"

Kamala mengangguk, matanya penuh emosi yang sulit ditebak. "Iya, Affan. Ibu kandungku."

Affan terdiam sejenak. Ini aneh. Kamala pernah bercerita padanya bahwa ibunya telah pergi bertahun-tahun lalu, menghilang tanpa jejak. Kamala bahkan tidak memiliki kenangan jelas tentang sosok keluarganya.

Tapi sekarang, wanita ini tiba-tiba muncul dan mengaku sebagai ibu kandungnya? Dan Kamala menerimanya begitu saja?

"Apa yang terjadi sebenarnya?" Affan akhirnya bertanya, suaranya lebih rendah, tapi sarat dengan kewaspadaan.

Kamala tersenyum kecil, meskipun ada keraguan dalam sorot matanya. "Aku juga baru tahu kebenarannya, Affan. Selama ini aku hidup dengan kebohongan. Ibu mencariku, tapi aku tidak tahu."

Ratna menambahkan, suaranya lembut tapi tegas, "Aku kehilangan Kamala sejak lama. Sekarang aku ingin memperbaiki semuanya."

Affan menatap wanita itu tajam, berusaha membaca niat di balik kata-katanya. Tapi yang ia temukan hanyalah ekspresi yang tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang baru bertemu kembali dengan anaknya setelah sekian lama.

Dan firasatnya mengatakan, ada sesuatu yang tidak benar di sini.

Affan menarik napas dalam, lalu mendekat ke Kamala, merendahkan suaranya. "Kau yakin dia ibumu?"

Kamala menatapnya dengan ragu, tapi kemudian mengangguk. "Affan, aku tahu ini mendadak, tapi dia punya bukti. Foto-foto lama, detail tentang masa kecilku yang bahkan aku sendiri hampir lupa."

Affan tetap tidak bisa mengabaikan perasaan tidak enak yang menyelimutinya. Foto bisa dipalsukan. Cerita bisa dibuat-buat.

Matanya kembali ke Ratna. Jika wanita ini memang benar-benar ibu Kamala, lalu mengapa ada seseorang yang tampaknya mengawasi Kamala?

Ia menyipitkan mata, mencermati setiap gerakan kecil Ratna. "Bu Ratna," panggilnya pelan, tetapi dengan nada penuh penekanan. "Apakah Ibu datang ke sini sendirian?"

Ratna tersenyum. "Tentu saja."

Affan memperhatikan ekspresinya, mencari tanda-tanda kebohongan.

"Kau tidak merasa seperti… diawasi?" lanjutnya, kali ini sengaja melemparkan pertanyaan untuk melihat reaksi Ratna.

Sekilas, Affan melihat perubahan kecil pada wajah wanita itu. Mata Ratna sedikit menyipit, sebelum dengan cepat kembali memasang ekspresi lembutnya.

"Kenapa bertanya seperti itu?" balasnya dengan nada ramah, tapi ada sesuatu yang janggal dalam nada suaranya.

Affan mengencangkan rahangnya. Dia menyembunyikan sesuatu.

Tatapan matanya kembali ke Kamala, ingin memberinya peringatan tanpa harus mengatakannya langsung. Namun, Kamala tampaknya terlalu terbuai dalam harapan baru yang diberikan Ratna.

Sial. Ini tidak benar.

Affan menegakkan tubuhnya, membuat keputusan dalam hati. Ia tidak akan tinggal diam. Ia akan mencari tahu siapa sebenarnya Ratna, dan apa hubungannya dengan pria mencurigakan tadi.

"Apa yang kau lakukan, Affan? Jangan membuat ibuku merasa tidak nyaman!" suara Kamala terdengar sedikit tajam, jelas tidak suka dengan sikap Affan yang seakan mencurigai Ratna.

Affan mengalihkan tatapannya dari Ratna ke Kamala, mendapati sorot mata wanita itu yang penuh ketidakmengertian.

Ia tahu Kamala ingin mempercayai Ratna, wanita yang baru saja mengaku sebagai ibunya. Tapi justru itu yang membuat Affan semakin waspada.

"Aku hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja, Kamala," ujar Affan dengan nada lebih tenang, meski pikirannya masih dipenuhi kecurigaan. "Aku hanya merasa ada yang aneh."

Kamala menghela napas panjang, ekspresinya jelas menunjukkan ketidaksukaan. "Aneh bagaimana? Dia ibuku, Affan. Aku akhirnya menemukan keluarga yang selama ini hilang, dan kau malah bertindak seperti ini?"

Affan mengepalkan tangannya, mencoba menahan diri. "Tapi..."

"Tidak ada tapi-tapi, Affan," potong Kamala dengan nada tegas. "Aku tidak ingin kau mengganggu Reyna dengan kecurigaanmu itu. Dia tetaplah ibuku, kau tidak bisa membantahnya."

Affan menatap Kamala dalam diam, mencari secercah keraguan di mata wanita itu, tetapi yang ia temukan hanyalah keyakinan. Kamala benar-benar telah menerima Ratna tanpa sedikit pun keraguan.

Akhirnya, Affan menghela napas dan memilih diam. Ia bisa saja terus mendebat, tapi itu hanya akan memperkeruh suasana. Lagipula, Reyna masih dalam masa pemulihan, dan Kamala pasti sudah cukup terbebani dengan semua ini.

"Baiklah," ujar Affan pelan, suaranya lebih tenang dari sebelumnya. "Kalau itu yang kau inginkan."

Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu ini belum berakhir. Ada sesuatu yang tidak beres, dan ia harus mencari tahu sebelum semuanya terlambat.

Ratna menatap Kamala dengan tatapan penuh kepuasan, bibirnya melengkung dalam senyum samar. Semakin Kamala mempercayainya, semakin mudah baginya untuk menjalankan rencananya.

Namun, ada satu hal yang mengganggunya saat ini.

Affan.

Pria itu terlalu curiga. Tatapan tajamnya, cara ia menginterogasi, dan bagaimana ia mencoba membuka mata Kamala tentang dirinya membuat Ratna merasa tidak nyaman. Jika dibiarkan, Affan bisa menjadi penghalang besar.

Ratna menghela napas pelan, menutupi kecemasannya dengan ekspresi lembut. Ia harus bertindak cepat. Affan harus disingkirkan sebelum semuanya berantakan.

Ia kembali menatap Kamala, lalu berpaling ke Affan yang masih diam dalam kebimbangannya. Dalam pikirannya, sebuah rencana mulai terbentuk.

Ratna menghela napas pelan, memasang ekspresi lembut yang penuh kasih sayang. "Kamala, sayang, aku harus pergi sekarang. Ada urusan yang belum selesai," katanya dengan nada lembut.

Kamala tampak sedikit kecewa, tetapi ia mengangguk mengerti. "Baik, Bu. Terima kasih sudah datang."

Ratna tersenyum dan berlutut di samping tempat tidur Reyna, mengusap lembut pipi gadis kecil itu sebelum mengecup keningnya. "Cepat sembuh, sayang."

"Iya oma," sahut Reyna.

"Besok mama mungkin tidak bisa datang menjemputmu, tapi ini alamat rumah mama dan nomor telepon. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi, ya?" Ucapnya pada Kamala.

Kamala menerima secarik kertas yang diberikan Ratna dan menyimpannya tanpa ragu. "Baik, Bu. Aku akan menghubungimu, kalau ada sesuatu yang penting."

Ratna berdiri dan menatap Kamala penuh arti. "Jaga dirimu, sayang. Kita akan segera menjadi keluarga yang utuh."

Kamala tersenyum, matanya berbinar penuh harapan. Namun, di sisi lain, Affan hanya menatap Ratna dengan pandangan tajam, firasat buruknya semakin menguat.

Ratna melangkah menuju pintu, lalu berhenti sejenak, kembali menatap Affan dengan senyum tipis yang sulit diterjemahkan. "Senang bertemu denganmu, Affan."

Tanpa menunggu balasan, Ratna pun pergi, meninggalkan ruangan dengan langkah anggun.

Affan tidak bisa menghilangkan perasaan tidak enak yang terus menghantuinya. Ia menatap secarik kertas yang kini digenggam Kamala, lalu kembali menatap pintu tempat Ratna menghilang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!