Sungguh berat beban hidup yang di jalani Sri Qonita, karena harus membesarkan anak tanpa suami. Ia tidak menyangka, suaminya yang bernama Widodo pamit ingin mencari kerja tetapi tidak pernah pulang. Selama 5 tahun Sri jatuh bangun untuk membesarkan anaknya. Hingga suatu ketika, Sri tidak sanggup lagi hidup di desa karena kerja kerasnya semakin tidak cukup untuk biaya hidup. Sri memutuskan mengajak anaknya bekerja di Jakarta.
Namun, betapa hancur berkeping-keping hati Sri ketika bekerja di salah satu rumah seorang pengusaha. Pengusaha tersebut adalah suaminya sendiri. Widodo suami yang ia tunggu-tunggu sudah menikah lagi bahkan sudah mempunyai anak.
"Kamu tega Mas membiarkan darah dagingmu kelaparan selama 5 tahun, tapi kamu menggait wanita kaya demi kebahagiaan kamu sendiri"
"Bukan begitu Sri, maafkan aku"
Nahlo, apa alasan Widodo sampai menikah lagi? Apakah yang akan terjadi dengan rumah tangga mereka? Kita ikuti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
"Ada apa ini?" Tanya Sally yang tiba-tiba muncul.
"Saya masih duduk di sini kok, art ini mengelap meja. Ya aku tegur lah Ma" Widodo menjawab sekenanya.
"Maaf Nyonya, saya belum tahu peraturan di rumah ini. Lain kali saya tidak akan mengulangi" Sri terpaksa ikut berbohong karena tidak ingin misinya untuk menyelidiki Sally gagal.
"Sudahlah Sri, sebaiknya kamu makan" Sally perhatian.
Sri pun akhirnya ke dapur dengan perasaan dongkol, enak saja Widodo mengucap kata art. Walaupun ia memang art tetapi mendengar ucapan Widodo hatinya kesal sekali. Sri melepas celemek, setelah mencuci tangan ia ambil makan untuk mengembalikan energi yang terbuang. Namun, sebelum melanjutkan makan di meja dapur ia memanggil Laras.
"Laras sudah kenyang Bun, tapi aku temani bunda makan" Laras duduk di kursi meja dapur berhadapan dengan Sri.
"Kamu yakin nggak makan lagi? Lihat itu masih ada Ayam sama sup" Sri ingin putrinya ikut menikmati makanan enak.
"Kata Bunda, kita harus berhenti makan sebelum kenyang bukan?" Laras ingat nasehat Sri.
"Duh-duuh... anak pintar" Sri mengusap kepala putrinya sembari tersenyum. Melihat Laras tumbuh menjadi anak lemah lembut seperti itu, mampu menyejukkan luka hati Sri yang ditorehkan Widodo. Sri pun akhirnya makan dengan sop dan sambal. Selesai makan, ia menyimpan makanan tersebut untuk sarapan besok pagi.
"Kita istirahat yuk" Sri menggandeng tangan Laras berjalan ke kamar.
Mereka tidak tahu, jika di pintu dapur ada orang yang memperhatikan. Begitu Sri dengan Laras melewati pintu dapur, pria yang tak lain adalah Widodo mencari persembunyian yang lain.
"Laras sudah sebesar itu? Batin Widodo. Ia tidak akan membiarkan Laras pergi. Anak cerdas itu harus tetap bersamanya walaupun bagaimana caranya.
Waktu berganti pagi, selesai membuat sarapan Sri hendak membereskan puzzle kayu bekas belajar Ara tadi malam yang masih berantakan di lantai.
"Biar aku saja Bunda" Laras tiba-tiba sudah berada di samping Sri hendak membantu bundanya.
"Anak pintar, kalau gitu bunda menata meja makan ya" Sri tersenyum menatap Laras yang sudah mandi tanpa disuruh"
"Iya Bun" Laras segera menyusun puzzle.
"Eh, kamu nggak boleh pegang mainan milik saya" Ara yang sudah menggunakan seragam diikuti kedua orang tuanya berlari merebut mainan tersebut hingga berantakan kembali.
"Laras tidak bermaksud bermain Non Ara, tapi Ara hanya ingin membantu saya" Sri yang berada di meja makan pun menjawab karena Laras tidak bermaksud membela diri.
"Ara, Laras kan hanya bermaksud membantu kamu, seharusnya kamu terima kasih" Widodo menatap wajah Laras yang sedih itu ingin rasanya memeluknya erat.
"Papa kok malah membela anak pembantu sih" Ara kesal lalu duduk di kursi sofa.
"Ara, yang dikatakan Papa itu benar. Lihat, puzzle itu sekarang berantakan lagi kan, memang kamu sanggup membereskan" kata Sally lembut. Melihat anaknya tidak mau menjawab, Sally menuntun Ara ke meja makan.
Sementara Sri melambaikan tangan agar Laras ke kamar Saja.
Pagi itu pun mereka sarapan bersama, setelah selesai, Sally menyuruh putrinya salim tangan papa karena Waluyo sudah menunggu di luar.
"Ara berangkat Pa" ucap Ara.
"Hati-hati ya" Widodo menciumi wajah Ara berkali-kali. Sri yang melihat dari meja makan hatinya sakit karena bertahun-tahun Laras tidak pernah mendapat sentuhan kasih sayang dari bapaknya seperti itu.
"Aku berangkat Pa" Sally pun mencium dahi Widodo.
"Aku juga mau berangkat tapi menghabiskan kopi dulu Ma" Widodo beralasan. Padahal ia sengaja tidak segera menghabiskan kopi tersebut karena ada yang ingi ia bicarakan pada Sri.
"Iya Pa" Sally mengikuti Sri yang sudah membuka pintu tidak ada rasa curiga pada suaminya sedikitpun.
Setelah majikanya berangkat, Sri tidak segera masuk karena membersihkan halaman rumah lebih dulu. Padahal Widodo di dalam gelisah ingin segera berbicara dengan Sri.
Tak tak tak.
Laras pun akhirnya muncul segera merapikan puzzle kembali.
"Laras... biarkan saja mainan itu tidak usah kamu bereskan" Widodo ingin Ara sendiri yang bertanggung jawab.
"Saya membereskan puzzle bukan karena apa-apa Om, tapi ingin membantu Bunda" jujur Laras.
"Anak pintar, kenapa Laras tidak sekolah?" Selidik Widodo.
"Sekolahnya langsung SD saja Om. Kata Bunda kalau sudah punya tabungan untuk biaya sekolah, untuk beli seragam terus kami pulang" jujur Laras.
"Kemarin sebelum bunda kamu bekerja di sini, memang di kampung bekerja apa?"
"Ehem..." Sri pun tiba-tiba muncul lalu berdehem. "Laras... sebaiknya kamu ke kamar dulu sayang..." Lanjut Sri.
"Iya Bun" Laras berlari-lari kecil ke kamar belakang.
"Oh... jadi Anda ingin tahu bagaimana saya dengan Laras bisa bertahan hidup walaupun ditinggal pengkhianat seperti Anda" sinis Sri.
"Dengar, jika Anda memang ingin tahu. Saya harus bangun jam 3 pagi membuat gorengan. Anda tidak tahu bagaimana merihnya saya" Sri tidak kuat menahan air matanya untuk tidak mengalir.
"Saya harus berjualan gorengan berjalan kaki keliling kampung sambil menggendong Laras dan menyunggi tampah." Sri melirik sinis ke Widodo, tapi pria itu hanya menunduk entah apa yang ia pikirkan.
"Andai saja hasil jualan itu hanya untuk kami berdua pasti kami tidak akan kelaparan, tapi sialnya saya harus menyicil hutang-hutang yang kamu tinggalkan" Sri bercerita dengan isak tangis. Keluarga Widodo yang seharusnya menjadi harapan bagi Sri justru bolak balik menagih hutang.
Mertua Sri yang sudah membaik pun ia pikir akan membantu kesulitan Sri, tapi justru menyalahkan dirinya atas kepergian Widodo.
"Ini hanya sepenggal kisah agar Anda yang selama ini menari di atas penderitaan saya segera bertaubat. Terlalu sakit hati saya jika harus menceritakan semuanya" Sri melangkah ke belakang hendak melanjutkan pekerjaan. Namun, tangannya ditahan Widodo.
"Lepas" Sri menghempas tangan Widodo.
"Sri, beri aku waktu untuk bicara 5 menit saja" Widodo memohon.
"Maafkan aku Sri, aku memang salah. Tapi tolong beri aku waktu untuk memperbaiki semuanya. Aku masih mencintai kamu, dan aku akan menikahimu agar sah secara agama" Widodo juga bermaksud mencarikan rumah untuk Sri, agar mereka bisa berkumpul.
"Seandainya saya menuruti saran Anda, apakah Anda bersedia menceraikan Sally?" Sri hanya pura-pura bertanya, karena ia tahu Widodo berat meninggalkan kemewahan.
"Tentu tidak Sri, kalian semua istri-istriku" jawab Widodo terdengar egois di telinga Sri.
"Sudah saya duga, karena saya tahu bahwa Anda pria yang lebih cinta harta daripada darah dagingmu sendiri. Bagi saya, lebih baik hidup sendiri daripada diduakan. Tapi ingat, Anda tidak punya hak atas Laras karena dia anakku" Sri melenggang pergi, menuju kamar mandi, ia habiskan tangis di sana.
Sementara Widodo menyisir rambutnya dengan jari.
Teng tong teng tong.
Saat sedang kacau mendengar bel rumah, pria itu beranjak membuka pintu.
...~Bersambung~...
udh blik aj ma bini mu kng dodol dn coba bgun bisnis mu yg lain stlh sukses bhgiain larass ank mu....
mknya cuss krja bikin kmu sukses dn bhgiain laras....doll...
sekarang baru merasakan widodo, dulu kemana hati nuranimu menelantarkan sri n laras anak kandungmu