Bella, seorang gadis ceria berusia 21 tahun, diam-diam menyukai Alex, pria berusia 33 tahun yang sukses menjalankan perusahaan keluarganya. Perbedaan usia dan status sosial membuat Bella menyadari bahwa perasaannya mungkin hanya akan bertepuk sebelah tangan. Namun, ia tak bisa mengingkari debaran jantungnya setiap kali melihat Alex.
Di sisi lain, Grace, seorang wanita anggun dan cerdas, telah mencintai Alex sejak lama. Keluarga mereka pun menjodohkan keduanya, berharap Alex akhirnya menerima Grace sebagai pendamping hidupnya. Namun, hati Alex tetap dingin. Ia menolak perjodohan itu karena tidak memiliki perasaan sedikit pun terhadap Grace.
Ketika Alex mulai menyadari perhatian tulus Bella, ia dihadapkan pada dilema besar. Bisakah ia menerima cinta dari seorang gadis yang jauh lebih muda darinya? Ataukah ia harus tetap berpegang pada logika dan mengikuti kehendak keluarganya? Sementara itu, Grace yang tak ingin kehilangan Alex berusaha sekuat tenaga untuk memiliki Alex.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Licik Grace
Grace merasa hari-harinya tidak tenang sejak melihat video call dari teman-temannya di cafe. Bayangan Alex yang menatap Bella dengan penuh perhatian membuat hatinya panas. Tidak! Alex adalah miliknya, dan Bella tidak boleh merebutnya.
Malam itu, Grace mengumpulkan teman-temannya di sebuah lounge eksklusif tempat mereka biasa nongkrong. Ia duduk di tengah, menatap mereka dengan wajah serius.
"Gue nggak bisa tinggal diam. Gue harus lakuin sesuatu sebelum cewek itu makin dekat sama Alex," kata Grace.
Sandra menyilangkan tangan. "Maksud lo Bella? Lo yakin Alex beneran ada rasa sama dia?"
"Yakin banget!" Grace mendengus kesal. "Gue liat sendiri gimana Alex ngebiarin Bella duduk lama di mejanya. Bahkan, dia sampai pegang tangan cewek itu!"
Karin mengangkat alis. "Terus lo mau ngapain? Langsung serang Bella gitu?"
Grace menyeringai licik. "Nggak segampang itu. Gue harus buat Bella ngerti kalau dia nggak punya tempat di kehidupan Alex. Gue cuma butuh rencana yang pas."
Nicol terkekeh. "Gue suka arah pembicaraan ini."
Agnes yang dari tadi diam akhirnya angkat bicara. "Kalau lo mau buat Bella menjauh, lo harus cari cara yang lebih halus. Bikin seolah-olah dia yang nggak pantas buat Alex."
Grace tersenyum puas. "That’s exactly what I need. Ayo kita pikirin sesuatu. Gue nggak akan biarin Bella ambil apa yang seharusnya jadi milik gue!"
Mereka semua saling berpandangan, satu persatu mulai menyusun strategi. Bella mungkin nggak tahu apa yang sedang menunggunya, tapi Grace sudah siap untuk beraksi.
_____
Pagi itu, matahari bersinar cerah, menerpa permukaan kolam renang di belakang rumah Alex. Air biru jernih berkilauan diterpa cahaya, menciptakan suasana yang tenang dan menyegarkan.
Alex menyelam ke dalam air, menikmati sensasi dinginnya yang menenangkan tubuhnya yang lelah setelah seminggu penuh tekanan. Ia berenang bolak-balik dengan gerakan yang kuat dan teratur. Setiap kali ia muncul ke permukaan, air mengalir turun dari wajah dan rambutnya, menambah kesan maskulin yang alami.
Di kursi santai, ada segelas jus jeruk yang sudah ia siapkan sebelumnya. Setelah beberapa putaran, Alex akhirnya naik ke tepi, mengusap wajahnya, lalu duduk di pinggiran kolam dengan kaki masih terendam air.
Saat itulah suara langkah kaki terdengar dari arah rumah. Ayahnya muncul, diikuti oleh seorang tamu tak terduga—Grace.
"Alex, ada Grace yang datang," kata ayahnya sambil tersenyum.
Alex yang masih memejamkan mata mendesah pelan. Ia membuka matanya dan langsung melihat Grace berdiri di sana, mengenakan gaun santai berwarna pastel. Wajahnya terlihat segar, dan tatapannya tak bisa lepas dari tubuh Alex yang masih basah, dengan otot-ototnya yang jelas terlihat.
"Eh, Grace. Tumben pagi-pagi ke sini," kata Alex akhirnya, mencoba terdengar biasa saja.
Grace tersenyum kecil. "Cuma mampir aja. Nggak nyangka kamu lagi berenang," katanya, tapi jelas-jelas ia menikmati pemandangan di depannya.
Ayah Alex hanya tersenyum, lalu menepuk bahu putranya. "Kalian ngobrol aja dulu, ya. Aku ke dalam," katanya sebelum beranjak pergi.
Begitu ayahnya menghilang, Alex bangkit, mengambil handuk dan mengeringkan tubuhnya dengan santai. Namun, tatapan dinginnya langsung kembali ke Grace.
"Ada apa Grace?" tanyanya tanpa basa-basi.
Grace mengangkat alis, lalu tersenyum tipis. "Nggak boleh ya, main ke rumah calon suamiku sendiri?" katanya menggoda.
Alex menahan kesal. Dia tahu Grace sedang menikmati momen ini. "Jangan bawa drama ke rumahku," balasnya, membalut tubuhnya dengan handuk dan berjalan menuju kursi santai.
Grace mengikutinya, duduk di sebelahnya sambil menyandarkan tubuhnya sedikit. "Alex, kapan sih kamu mau sadar kalau kita emang jodoh?" tanyanya.
Alex mendengus pelan. "Aku nggak ada waktu buat bahas omong kosong ini, Grace," ucapnya, lalu mengambil gelas jus jeruk dan meneguknya perlahan.
Tapi Grace hanya tersenyum tipis. Dalam hatinya, ia sudah menyusun rencana. Dia nggak akan membiarkan Bella mengambil Alex darinya.
Alex meneguk jus jeruknya hingga habis, lalu meletakkan gelasnya di meja kecil di sebelah kursi santainya. Ia menarik napas dalam, mencoba mengendalikan rasa kesal yang mulai muncul sejak Grace tiba-tiba datang ke rumahnya.
"Grace, aku ada urusan sama Edward nanti," kata Alex dengan nada datar sambil mengambil ponselnya. "Jadi, kalau kamu mau ngobrol panjang lebar, lain kali aja."
Grace yang awalnya masih tersenyum, langsung melipat tangan di dadanya. "Emangnya kenapa? Aku bisa ikut, kan?" tanyanya santai, tapi nada suaranya sedikit menuntut.
Alex menghela napas, menatapnya tajam. "Nggak perlu, Grace. Ini urusan aku, bukan urusan kamu."
Tapi Grace bukannya mundur. Dia justru tersenyum licik. "Kalau kamu nggak mengizinkan aku ikut, aku bakal bilang ke Daddy kamu kalau kamu lebih milih ngabisin waktu sama orang lain daripada calon istri kamu sendiri."
Alex menegang. Sial. Kalau ayahnya dengar, pasti dia bakal disalahin lagi.
Grace menyadari keraguan Alex dan langsung memanfaatkan situasi. Ia mengangkat suaranya sedikit, pura-pura cemberut, "Ya udah deh, kalo emang Alex nggak mau ngajak aku..."
Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, Alex buru-buru memotong. "Oke, oke! kamu bisa ikut," katanya cepat, sambil melirik ke arah rumah untuk memastikan ayahnya tidak mendengar.
Grace tersenyum menang. "Nah, gitu dong," katanya sambil mengambil kacamata hitam dari tasnya dan memasangnya dengan anggun. "Kapan kita berangkat?"
Alex mendecak pelan, menyesali keputusan ini. Tapi dia juga punya rencana. Kalau Grace memang ngotot ikut, sekalian saja dia biarkan wanita itu melihat sesuatu yang bakal bikin dia sadar: Alex sedang menyukai Bella.
_____
Alex memarkir mobilnya di depan sebuah bangunan bertuliskan "Harmony Studio", tempat yang sedang ia pertimbangkan untuk dibeli. Dari kejauhan, ia sudah melihat Edward dan Bella yang berdiri di dekat pintu masuk.
Begitu keluar dari mobil, Alex langsung berjalan santai ke arah mereka. “Eh, kalian sudah duluan,” sapanya dengan senyum khasnya. Matanya langsung tertuju pada Bella yang hari ini tampil berbeda.
Bella mengenakan blouse putih dengan jeans yang simpel tapi elegan. Rambutnya yang biasanya tergerai, hari ini diikat setengah, membuat wajahnya terlihat lebih segar.
Alex tersenyum lebih lebar. "Bella, kamu makin cantik aja."
Bella terkejut. Pipinya langsung terasa panas, dan tanpa sadar dia menundukkan wajahnya. “A-Apa? Nggak juga...” jawabnya gugup.
Edward yang melihat interaksi itu hanya tersenyum kecil, sementara di sisi lain, Grace yang berdiri tak jauh dari mereka mulai merasa panas dalam hati. Ia menahan napas, berusaha tetap tenang.
Tapi Grace bukan tipe yang gampang menunjukkan kecemburuan di depan banyak orang. Ia tetap menjaga ekspresi wajahnya seolah semuanya baik-baik saja.
Begitu mereka melangkah masuk, seorang pria paruh baya dengan kemeja kasual menyambut mereka dengan ramah. "Selamat datang! Saya Pak Jimmy, pemilik studio ini. Silakan masuk, saya akan tunjukkan semuanya."
Alex, Edward, Bella, dan Grace mengikuti Pak Jimmy ke dalam. Begitu melewati pintu utama, mereka langsung disambut oleh ruangan utama studio yang cukup luas, dengan dinding kedap suara berwarna gelap dan pencahayaan temaram yang memberikan suasana nyaman.
Di sisi kiri ruangan, terdapat mini studio rekaman dengan peralatan lengkap—mikrofon profesional, mixer audio, dan komputer dengan software musik terbaru. Di dalam bilik rekaman, ada kursi empuk dan stand lirik yang siap digunakan.
Di sisi kanan, ada area jamming yang lebih santai, dengan beberapa gitar listrik dan akustik yang tergantung di dinding, keyboard, drum set, serta sofa panjang untuk tempat bersantai.
"Studio ini udah sering dipakai musisi lokal buat latihan dan rekaman," jelas Pak Jimmy. "Dan kalau kalian mau istirahat atau bahkan menginap, di belakang ada kamar kecil buat bersantai."
Mereka mengikuti Pak Jimmy ke sebuah pintu kecil di sudut ruangan. Begitu dibuka, terlihat sebuah kamar minimalis dengan ranjang single, meja kerja, dan sofa kecil. Tidak mewah, tapi cukup nyaman untuk melepas lelah setelah sesi musik yang panjang.
Alex mengamati semuanya dengan seksama. Dari ekspresinya, jelas ia tertarik. "Aku suka tempatnya," katanya sambil melirik Edward. "Gimana menurutmu?"
Edward mengangkat bahu santai. "Aku sih ikut apa kata kamu, bro. Kamu yang bayar, kamu yang mutusin," jawabnya sambil terkekeh.
Alex tersenyum tipis. "Oke, aku ambil tempat ini."
Mata Edward sedikit melebar. "Serius, Lex?"
Alex mengangguk. "Serius. Kamu bisa terus pake tempat ini buat latihan dan rekaman. Dan aku juga sekalian bisa belajar musik lebih dalam."
Edward terlihat begitu senang. Ia menepuk bahu Alex dengan penuh rasa terima kasih. "Gila, bro! Aku nggak tahu harus bilang apa. Kamu beneran sahabat terbaik. Aku janji, aku bakal ngajarin kamu dan kita bakal sering main bareng!"
*****
Hai readers jamgan lupa like dan ken ya..🥰