Azizah pura pura miskin demi dapat cinta sejati namun yang terjadi dia malah mendapatkan penghinaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11 pembantu datang
Lamunan Raka tentang masa lalunya buyar ketika suara seorang perempuan membuyarkan pikirannya.
"Pak Raka, ya?"
Suara itu terdengar ragu, namun cukup jelas untuk menarik perhatiannya. Raka menoleh. Seorang perempuan berdiri di dekatnya, mengenakan blouse sederhana dan celana panjang. Wajahnya tampak ramah, tetapi ada sedikit ketegangan di matanya, seolah-olah ia tak ingin membuat kesan pertama yang buruk.
"Lina, ya?" tanya Raka, mencoba mengingat wajah yang pernah ia lihat sebelumnya saat wawancara.
Perempuan itu tersenyum kecil. "Iya, Pak. Saya Lina."
Raka mengangguk. "Bagaimana? Sudah siap bekerja dengan saya?"
"Siap, Pak!" jawab Lina dengan antusias. Ada sedikit binar di matanya, menunjukkan harapan dan semangat yang ia bawa.
Tanpa menunggu, Lina segera mengangkat tasnya dan memasukkannya ke dalam mobil. Setelah memastikan barang bawaannya rapi, ia membuka pintu belakang dan duduk di kursi belakang dengan hati-hati.
Raka menoleh ke belakang, menatapnya dengan alis terangkat. "Duduk di depan, dong. Masa saya kelihatan kayak sopir kamu?" ujarnya setengah bercanda.
Lina tersentak, wajahnya sedikit memerah. "Oh, iya, maaf, Pak."
Dengan cepat, ia keluar dari mobil dan berpindah ke kursi depan, mengenakan sabuk pengaman dengan sedikit canggung. Raka meliriknya sekilas sebelum menyalakan mesin dan mulai mengemudi.
Beberapa menit pertama diisi dengan keheningan. Raka tidak terbiasa berbasa-basi dengan orang baru, tetapi kali ini, ada sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang Lina.
"Sudah lama jadi pembantu?" tanyanya akhirnya.
Lina menoleh sebentar, lalu menggeleng. "Baru kali ini, Pak."
Raka mengerutkan kening. "Jadi, belum pengalaman dong?" Ada nada ragu dalam suaranya.
Lina tersenyum tipis. "Kalau jadi pembantu, memang belum pernah, Pak. Tapi kalau soal kerjaan rumah, saya sudah biasa. Nyuci baju, ngepel, masak, nyuci piring, bersih-bersih... semua sudah terbiasa."
Raka mengangguk kecil. Jawaban itu cukup meyakinkan.
"Baguslah kalau begitu," gumamnya, lalu kembali fokus pada jalanan di depannya.
Keheningan kembali menyelimuti, tetapi kali ini terasa berbeda. Ada sesuatu di benak Raka, pertanyaan yang menggantung. Setelah beberapa saat, ia akhirnya bertanya, "Suami kamu tahu kalau kamu kerja sama saya?"
Sejenak, Lina diam. Sorot matanya yang tadi cerah kini meredup, seakan ada beban yang tiba-tiba jatuh di pundaknya.
"Tidak, Pak," jawabnya pelan.
Raka menangkap perubahan itu. "Kenapa?" tanyanya, nada suaranya kini lebih lembut.
Lina menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Saya sudah cerai, Pak. Setahun yang lalu."
Raka menoleh sekilas, sedikit terkejut. "Oh... Punya anak?"
"Ada, Pak. Saya titipkan di ibu saya."
"Kenapa di ibu kamu? Bukannya lebih baik sama bapaknya?"
Lina tersenyum pahit. Ada kelelahan yang tersirat dari caranya berbicara. "Lebih baik anak saya nggak kenal bapaknya, Pak."
Raka mengernyit. "Kenapa? Suami kamu juga punya hak atas anak itu, kan?"
Lina menatap jauh ke depan, matanya kosong seperti mengingat sesuatu yang menyakitkan.
"Suami saya lebih membela keluarganya ketimbang saya dan anak saya, Pak," katanya akhirnya.
Raka semakin penasaran. "Maksud kamu?"
Lina terdiam sejenak, seolah mengumpulkan keberanian. "Tiga tahun saya menikah, awalnya suami saya baik. Tapi setelah dia dapat kerja bagus dan gajinya naik jadi dua puluh juta per bulan, semuanya berubah. Saya cuma dikasih tiga juta buat kebutuhan rumah tangga."
Raka mengerutkan kening. "Tiga juta untuk satu rumah? Kan gaji dia dua puluh juta?"
Lina mengangguk, senyum getir tersungging di bibirnya. "Iya, Pak. Tapi ibu mertua saya tinggal di rumah kami. Kakak ipar saya juga. Jadi, tiga juta itu buat makan berlima."
Raka terdiam. Baginya, jumlah itu tentu sangat tidak masuk akal.
“Saya udah berusaha ngatur sebaik mungkin, Pak. Tapi tetap saja, saya dibilang boros. Setiap hari, ibu mertua dan kakak ipar saya nyuruh-nyuruh, marahin saya, nggak ada terima kasihnya sama sekali.” Suaranya mulai bergetar, tetapi ia tetap melanjutkan.
“Puncaknya waktu saya minta uang buat periksa kandungan. Saya dimarahin habis-habisan, sama suami, ibu mertua, dan kakak ipar saya.”
Lina menoleh ke luar jendela, menatap kosong jalanan yang melintas. “Saya nggak tahan, Pak. Makanya saya milih cerai. Lebih baik jadi pembantu di rumah orang, daripada jadi babu di rumah sendiri.”
Hening memenuhi mobil.
“Kalau majikan marahin saya, itu wajar. Saya pembantu, dia majikan. Tapi kalau di rumah suami sendiri?” Lina tersenyum miris. “Harusnya istri itu diutamakan, Pak. Apalagi istri yang sedang hamil.”
Raka menggenggam setir lebih erat. Kata-kata Lina tadi seakan menggema di kepalanya, seperti hantaman yang tidak bisa ia hindari. Ia menelan ludah, pikirannya mengembara ke seseorang yang dulu begitu dekat dengannya—Azizah.
Sejak awal, ia tidak pernah benar-benar tahu tentang keluarga Azizah. Yang ia tahu, perempuan itu tidak punya siapa-siapa, tidak punya koneksi, dan tidak punya latar belakang yang bisa membantu dirinya dalam dunia bisnis. Pikirannya melayang ke hari-hari pertama pernikahannya dengan Azizah.
Ia masih ingat betapa keras ibunya menentang mempertahankan rumah tangga dengan azizah
"Perempuan macam apa dia? Tidak punya keluarga, tidak punya pekerjaan, tidak punya apa-apa! Kamu pantas dapat yang lebih baik, Raka!"
Dan Sari, kakaknya, juga tidak jauh berbeda.
"Kamu ini laki-laki sukses, Raka. Masa mau menikahi perempuan seperti dia? Istri itu harus bisa membantu suami, bukan cuma duduk diam di rumah dan mengandalkan uang suami!"
Saat itu, Raka hanya menganggap ucapan mereka sebagai kekhawatiran yang berlebihan. Tapi lambat laun, pemikiran itu meresap ke dalam dirinya. Ia mulai merasa bahwa Azizah memang tidak cukup baik untuknya. Bahwa ia pantas mendapatkan lebih.
Apalagi sekarang, setelah dirinya menjadi seorang pengusaha sukses.
Wajar aku menuntut lebih...pikirnya, seakan mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Dulu, ia hanyalah seorang tukang ojek yang hidup sederhana. Sekarang, ia memiliki mobil mewah, aset di berbagai tempat, dan status sebagai pengusaha muda yang diperhitungkan. Wajar jika ia ingin memiliki istri yang bisa mendukung kariernya, bukan istri yang hanya tahu bagaimana cara mengurus rumah.
Tapi, jika semua itu benar, kenapa kata-kata Lina tadi begitu mengusiknya?
Raka melirik sekilas ke arah Lina, mencoba mengusir pikirannya. "Di rumah ada ibuku," katanya, suaranya kembali datar. "Dia agak cerewet, tapi kalau kamu bisa mengambil hatinya, dia nggak bakal macam-macam."
Lina menoleh sedikit. "Mengambil hati beliau, maksudnya bagaimana, Pak?"
Raka tersenyum kecil, kali ini dengan nada lebih ringan. "Sering-sering bilang dia cantik, manis, awet muda. Pujian itu seperti bensin buatnya. Kalau kamu bisa membuatnya senang, kamu akan lebih mudah hidup di rumahku."
Lina mengangguk perlahan, mencatat informasi itu dalam benaknya.
"Terus, kakakku namanya Sari. Dia janda, nggak punya anak, dan jarang ada di rumah," lanjut Raka. "Sama dia juga harus hati-hati. Dia suka orang yang penurut. Kalau kamu bisa muji-muji dia, semuanya akan aman."
Lina mengangguk lagi, tapi kali ini ada sedikit perubahan di wajahnya. Matanya berbinar, seperti sedang memikirkan sesuatu.
Sejenak, keheningan menyelimuti mobil.
Lina akhirnya bertanya, "Kalau Bapak sendiri? Orangnya seperti apa?"
Raka tersenyum, kali ini dengan ekspresi percaya diri yang kentara. "Aku? Aku pria tampan, kaya, pengusaha sukses, cerdas, pekerja keras, dan tentu saja, jujur."
Lina hanya diam, tetapi dalam hatinya, ia sudah bisa menyimpulkan sesuatu tentang keluarga majikannya—mereka semua haus pujian.
Lina melirik sekilas ke arah Raka sebelum akhirnya memberanikan diri bertanya, "Istri Bapak ada?"
Raka menghela napas, matanya tetap fokus ke jalan di depan. "Ada," jawabnya santai. "Tapi dia lagi ngambek."
"Oh, gitu..." Lina mengangguk pelan, tak ingin terlalu jauh mencampuri urusan pribadi majikannya.
Ia sebenarnya ingin bertanya lebih lanjut—kenapa istrinya marah? Apakah mereka sering bertengkar? Apakah istrinya juga harus menghadapi ibu mertua dan kakak ipar yang keras seperti yang ia alami dulu? Tapi Lina menahan diri. Ia sadar, ada batasan yang tidak boleh dilanggar antara dirinya dan majikannya.
Lina mengalihkan pandangan ke jendela, menatap jalanan yang terus berlalu. Dalam benaknya, ia mulai menyusun strategi. Ia harus bekerja dengan baik. Bukan hanya dalam hal mengerjakan tugas rumah tangga, tapi juga dalam menjaga hubungan dengan penghuni rumah.
Dari cara Raka berbicara, Lina tahu bahwa keluarga majikannya adalah tipe orang-orang yang menyukai sanjungan. Ibu majikannya ingin dipuji kecantikannya, kakak majikannya ingin dihormati, dan Raka sendiri—walau mengatakannya dengan nada bercanda—jelas ingin diakui sebagai pria sukses, cerdas, dan pekerja keras.
Lina menarik napas panjang.
Kadang, pekerjaan yang kurang sempurna bisa tertutup dengan pujian dan sanjungan dari pekerjanya. Itu bukan sesuatu yang ia suka, tapi ia paham bahwa di dunia ini, orang-orang tidak hanya dinilai dari seberapa baik mereka bekerja, tapi juga seberapa pandai mereka menempatkan diri.
Ia enggan melakukan hal semacam itu. Ia bukan tipe orang yang suka menjilat atau membangun hubungan berdasarkan kebohongan. Tapi, saat wajah anaknya terbayang dalam pikirannya, senyum lucu bocah kecil itu yang selalu menunggunya pulang, tekad Lina semakin kuat.
Ia akan melakukan apa pun untuk anaknya.
Bagi seorang ibu, tidak ada yang lebih penting daripada memastikan anaknya bisa hidup dengan baik. Jika itu berarti ia harus menelan harga dirinya dan berpura-pura menyenangkan majikannya, maka ia akan melakukannya.
Dalam hati, ia berbisik, Yang penting aku tetap bisa membawa pulang uang untuk anakku...