Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Tolong Lepaskan Aku.
Rafael membawa Marsha ke gedung apartemen tempat gadis itu tinggal. Marsha mengira, pria itu telah mengetahui dimana unit yang ia tempati.
Namun salah. Rafael mengendarai mobilnya masuk ke dalam parkir bawah tanah, dan memarkirkan di tempat parkir khusus VIP.
Setelah mesin mobil dimatikan, gadis itu berpikir untuk melarikan diri. Tetapi usahanya gagal lagi. Rafael lebih dulu menariknya mendekat ke arah lift.
“Lepaskan aku, El.” Marsha meronta. Meminta di lepaskan. Namun Rafael menggenggam tangannya dengan erat.
Pri itu menempelkan sebuah kartu di depan pintu lift. Lalu mendorong Marsha untuk masuk. Angka dua puluh terlihat pada papan tombol. Lantai tertinggi dengan kamar termewah di gedung itu. Marsha yakin, Rafael pemilik salah satu penthouse, dari dua unit yang tersedia.
Pintu lift terbuka, langsung menampilkan bagian dalam penthouse. Yang artinya kotak besi berjalan itu di buat khusus untuk akses ke dalam ruangan itu saja.
“Masuk, Cha.” Ucap Rafael karena Marsha membeku di depan pintu lift.
Pria itu menyeringai. Kemudian mendekat ke arah Marsha. “Sepertinya, kamu ingin aku menggendongmu.” Ia berancang-ancang akan mengangkat tubuh gadis itu.
Dengan cepat Marsha menepis, kemudian masuk ke dalam hunian paling mewah di gedung apartemen itu.
Perlahan, Rafael pun mengikuti gadis itu.
“Aku sangat merindukanmu, Cha.” Tanpa permisi pria itu memeluk tubuh Marsha dari belakang.
Gadis itu kembali meronta. “Lepas, El. Atau aku akan kembali menginjak kakimu.” Ancamnya.
“Lakukan, sayang. Tetapi kamu tidak akan bisa lari dari sini.” Ucap Rafael. Ia kemudian melepaskan pelukannya.
Pria itu melepas jas yang di gunakannya. Kemudian pergi ke dapur, untuk membuat teh hangat.
Rafael meletakan secangkir teh hangat di atas meja yang tak jauh dari tempat Marsha berdiri.
“Minumlah dulu. Kamu pasti haus setelah berteriak tadi.” Ucap Rafael sembari duduk di atas sofa.
Gadis itu tidak perduli. Ia hanya diam bersedekap dada. Kabur dari tempat itu pun tidak bisa. Karena masuk lift harus menggunakan kartu akses khusus.
“Cha, Ayolah. Duduk dan kita bicara dengan tenang.”
Marsha menghela nafas berat. Ia kemudian menurut, agar semua cepat selesai.
“Maafkan aku, Cha.” Ucap Rafael kemudian. Pria itu menatap Marsha dengan lekat. Raut kebencian terpancar sangat jelas terlihat pada wajah gadis itu.
Rafael sungguh sangat merindukan pujaan hatinya itu.
“Maaf untuk apa?” Akhirnya gadis itu membalas. Walau lirih, namun Rafael dapat mendengarnya.
“Maaf karena aku sudah menghancurkan hubungan kita. Maafkan aku yang tidak menepati janji. Semuanya di luar kendali ku.” Pria itu mengakhiri kalimatnya dengan helaan nafas berat.
Hal yang sama pun Marsha lakukan. Gadis itu kemudian berdiri. “Sudah aku maafkan. Sekarang, tolong buka liftnya. Karena aku ingin pulang.”
“Aku tahu kamu belum memaafkan aku, Cha. Please.” Rafael menarik tangan gadis itu. Membuat Marsha terjatuh di samping Rafael.
“Aku ingin menjelaskan semuanya yang terjadi, Cha. Aku mohon. Dengarkan aku.”
Marsha kembali meronta karena Rafael memeluk dan memaksanya duduk di atas pangkuan pria itu.
“Lepaskan, El. Aku sudah tahu semua tentang mu. Kamu pria beristri dan memiliki seorang anak. Sudah. Sekarang giliran aku yang memohon, tolong lepaskan aku.” Ronta gadis itu.
“Aku tidak akan melepaskan mu lagi, Cha. Sudah cukup kamu pergi, dan sekarang waktumu untukku. Untuk kita.” Sentak pria itu.
Jantung Marsha berdegup kencang. Baru kali ini ia mendengar suara keras Rafael. Saat berpacaran dulu, pria itu sangat lembut dan tidak pernah marah padanya.
“Aku merindukanmu. Aku hampir gila mencarimu. Apa kamu tidak merasakan hal yang sama?” Mata pria itu mulai memanas.
“Tidak.” Jawab Marsha dengan cepat.
“Kamu begitu saja percaya ucapan Aldo waktu itu—
“Aku tidak hanya percaya ucapan Aldo. Tetapi aku mendengar sendiri, kamu berbicara dengan seseorang di telepon jika kamu akan menikahi Sandra.” Potong Marsha dengan cepat.
Ucapan gadis itu membuat Rafael terperangah.
“Sayang, kamu—
“Ya. Aku ada di belakang kamu saat di taman itu. Tetapi kamu tidak menyadarinya.”
Rafael lengah, Marsha dengan cepat turun dari pangkuan pria itu.
“Cha—
“Kamu berjanji akan segera datang. Aku menunggumu, El.” Gadis itu menunjuk ke arah Rafael. “Tetapi sayangnya, jangankan datang. Mengirim pesan pun kamu tidak bisa.”
Rafael tertunduk. Ia mengusap wajahnya dengan gusar. Memori lima tahun silam kembali berputar di kepalanya.
Marsha perlahan mundur. Hingga berada tepat di samping jas milik pria itu. Tangannya mencari sesuatu di setiap saku.
“Cha—
Ting!!
Suara lift terbuka membuat Rafael mengangkat kepalanya. Gadis itu sudah berdiri di depan pintu kotak besi itu.
“Sial. MARSHA.” Hardik nya keras. Ia melebarkan langkah untuk meraup tubuh gadis itu, namun terlambat. Marsha sudah berada di dalam dan pintu pun tertutup.
Rafael berlari kembali ke dalam, mengambil jasnya. Dan mendapati kartu aksesnya telah hilang.
“Kamu memang pintar, sayang.” Pria itu tersenyum sinis. “Lain kali, kamu tidak akan bisa kabur seperti ini lagi.”
\~\~\~
“Kenapa bisa terjebak disini?” Tanya Aldo setelah sampai di dalam penthouse sang atasan.
Ia baru saja tiba di hotel, belum sempat menyapa petugas keamanan, sudah mendapat panggilan telepon dari Rafael untuk menjemputnya ke penthouse pria itu.
“Dimana kartu akses mu? Kenapa bisa masuk tetapi tidak bisa keluar?” Cecar Aldo sembari bersedekap dada.
Rafael menghela nafas pelan. Ia kemudian menyesap teh hangat yang tadi hendak di berikan kepada Marsha.
Sudah tidak hangat lagi. Seperti hubungannya dengan gadis itu.
“Cha-Cha membawa pergi kartu akses ku.” Ucapnya kemudian berdiri. Ia meletakkan kembali cangkir ke dapur.
Penthouse itu Rafael beli hanya untuk investasi. Sangat jarang ia tempati. Bahkan, Sandra tidak tahu jika sang suami memiliki hunian lain, selain rumah mewah mereka.
“Marsha?” Ulang Aldo dengan dahi berkerut halus.
“Ya. Tadi aku melihatnya di taman. Kemudian membawanya kemari untuk berbicara. Tetapi, dia kabur dan membawa kartu akses ku.” Ucap Rafael sembari mengedikan bahu.
Dahi Aldo semakin berkerut dibuatnya.
“Aku yakin tidak mudah membawanya kemari. Apa kamu memaksanya?” Selidik pria itu.
Rafael berdecak. Sepertinya, Aldo banyak mengetahui tentang Marsha-nya.
“Jangan sok tahu kamu.”
“Aku berbicara kenyataan. Dia tidak ingin membahas tentangmu. Sudah pasti tidak ingin bertemu juga. Jangan paksa Marsha, Raf. Atau dia akan meninggalkan kota ini lagi.”