NovelToon NovelToon
Valdris Academy : Rise Of The Fallen

Valdris Academy : Rise Of The Fallen

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Reinkarnasi / Romansa Fantasi / Teen School/College / Fantasi Wanita / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:833
Nilai: 5
Nama Author: Seojinni_

Akademi Valdris. Medan perang bagi calon jenderal, penasihat, dan penguasa.

Selene d’Aragon melangkah santai ke gerbang, hingga sekelompok murid menghadangnya.

"Kau pikir tempat ini untuk orang sepertimu?"

Selene tersenyum. Manis. Lalu tinjunya melayang. Satu tumbang, dua jatuh, jeritan kesakitan menggema.

Ia menepis debu, menatap gerbang Valdris dengan mata berkilat.

"Sudah lama... tempat ini belum berubah."

Lalu ia melangkah masuk. Jika Valdris masih sama, maka sekali lagi, ia akan menaklukkannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seojinni_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#25 - Duel di Arena Gladiator

“Apa katamu?!”

Buku yang dipegang Vivianne terjatuh ke lantai, suara dentingnya menggema di ruangan yang kini terasa begitu sunyi. Matanya membelalak, dipenuhi ketidakpercayaan atas kabar yang baru saja ia dengar.

“Damien kembali… dan ia akan berduel dengan Selene?” suaranya bergetar, separuh marah, separuh terkejut.

Tanpa menunggu jawaban, ia bangkit dari kursinya. Gaun panjangnya berkibar saat ia melangkah cepat keluar ruangan, Emilia mengekor di belakangnya. Di sepanjang koridor akademi, bisik-bisik murid-murid terdengar di mana-mana. Kehebohan menyelimuti mereka seperti api yang baru saja tersulut.

Di jalan, mereka berpapasan dengan Lucian, yang tampaknya juga tengah bergegas ke arah arena.

"Jangan bilang kau pun ingin menonton kekacauan ini?" tanya Emilia, napasnya sedikit tersengal.

Lucian menyeringai. "Mana mungkin aku melewatkan pertunjukan ini?"

Di luar, suasana lebih riuh. Berita tentang duel antara Damien—sang jenderal muda berbakat—dan Selene—si gadis iblis yang angkuh telah menyebar luas. Para murid bersorak, saling bertukar pendapat, dan tentu saja—bertaruh.

Namun tak satu pun dari mereka bertaruh untuk Selene.

Keyakinan mereka mutlak: Damien akan menang.

Dalam sekejap, tribun arena gladiator telah penuh sesak. Murid-murid berdesakan, menduduki setiap sudut yang memungkinkan untuk menyaksikan duel yang menjanjikan pertumpahan darah.

Lucian, Emilia, dan Vivianne mengambil tempat duduk di area khusus yang memberi pandangan jelas ke arena. Namun, Vivianne tampak gelisah, sorot matanya tajam tertuju ke lapangan.

Damien kembali.

Bukan untuk menemuinya.

Bukan untuk berbicara dengannya.

Melainkan untuk menghadapi Selene.

"Kendalikan emosimu, Vivi," bisik Emilia, nada suaranya nyaris menenangkan. "Damien tidak akan melakukan sesuatu yang bodoh."

Vivianne mengepalkan tangan, berusaha menekan rasa tak terima yang menguar dari dadanya.

Di sisi lain arena, Selene berdiri dengan santai, pedang di punggungnya berkilat diterpa cahaya.

"Selene, kau yakin bisa mengalahkannya?" tanya Jason, nadanya serius.

"Damien bukan hanya jenderal muda terbaik di akademi," Austin menambahkan, "tapi juga di seluruh kekaisaran."

Selene tertawa kecil. "Siapa yang tahu? Bukankah aku tengah mencobanya sekarang?"

Sebelum mereka sempat membalas, Damien melangkah masuk ke arena.

Langkahnya mantap, sosoknya menjulang dengan seragam latihan yang lebih ringan dari biasanya, namun tetap mencerminkan kedisiplinan seorang prajurit. Pedangnya tergantung di pinggang, ujung sarungnya sedikit bergesekan dengan tanah saat ia berjalan.

Sorakan pecah dari tribun.

"Jenderal! Hajar dia, Jenderal!"

"Damien! Jangan beri gadis iblis itu kesempatan!"

Namun Damien tak menggubris. Pandangannya tetap lurus ke depan, menuju satu sosok yang berdiri angkuh di hadapannya.

"Lari sebelum bertarung bukan kebiasaanmu, bukan?" ujarnya dingin, suaranya beresonansi di seluruh arena.

Selene menyeringai. "Aku bukan pengecut."

Jason melangkah ke tengah arena, mengangkat tangannya sebagai tanda kesiapan.

"Duel… dimulai!"

Secepat kilat, keduanya bergerak.

Damien menyerang lebih dulu—gerakannya tajam, tanpa celah, setiap ayunan pedangnya membawa tekanan luar biasa. Selene menangkis, namun dorongan kekuatan Damien mendorongnya beberapa langkah ke belakang.

Pertempuran mereka seperti tarian kematian—pedang bertemu pedang, suara denting baja membelah udara.

Selene terdesak.

Damien lebih cepat, lebih kuat, dan setiap serangannya semakin membuat ruang gerak Selene menyempit.

Tapi Selene bukanlah seseorang yang mudah menyerah.

Saat Damien mengayunkan pedangnya dengan penuh keyakinan, Selene melangkah ke samping di detik terakhir—membiarkan mata pedang itu nyaris menyentuhnya sebelum ia memutar tubuh, membalas dengan serangan dari sudut tak terduga.

Kali ini, Damien yang mundur.

Sorakan di tribun melemah. Para murid yang semula yakin akan kemenangan mutlak Damien kini mulai meragukan pertimbangan mereka.

Duel berubah menjadi pertarungan sengit.

Damien kembali menyerang, kali ini dengan kecepatan yang bahkan sulit diikuti mata biasa. Selene menangkis setiap tebasan, kakinya bergerak lincah di atas pasir arena.

Mereka bertarung seolah hidup dan mati sedang dipertaruhkan.

Hingga tiba-tiba—

"Cukup."

Suara berat itu menghentikan segalanya.

Regis, dengan jubah panjangnya berkibar tertiup angin, berjalan masuk ke arena. Tatapan dinginnya menyapu mereka berdua.

"Pertarungan ini berakhir di sini."

Damien dan Selene tetap diam, napas mereka sedikit memburu, tangan mereka masih mencengkeram gagang pedang masing-masing.

Akhirnya, Damien melangkah maju. Ia menyarungkan pedangnya, lalu mengulurkan tangan ke arah Selene.

"Kau cukup kuat untuk menjadi rival yang layak."

Selene menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil.

"Kau juga."

Sorakan kembali pecah, kali ini bukan sekadar dukungan untuk Damien, melainkan ungkapan keterkejutan atas duel yang berakhir di luar dugaan.

Pengumuman hasil diumumkan—seri.

Dan dalam sekejap, kegemparan baru pecah.

Mereka yang bertaruh untuk kemenangan Damien… kalah telak.

Tak satu pun dari mereka memperhitungkan kemungkinan hasil ini. Sementara itu, Selene tampak begitu santai—bahkan terlalu santai.

"Kenapa dia malah terlihat senang?" bisik seorang murid.

Lucian yang berdiri di tribun melipat tangan, menyadari sesuatu. "Jangan bilang..."

Kyle dan Adeline muncul, menghampiri Selene. Adeline mencondongkan tubuhnya dan berbisik, "Kau benar-benar penuh akal, ya?"

Selene terkekeh bahagia.

Ternyata, sebelum duel dimulai, ia telah meminta Adeline untuk memasang taruhan… dengan hasil akhir seri.

Damien memandangnya, bibirnya melengkung tipis. "Apa kau tak cukup percaya diri?"

Selene mengangkat bahu. "Aku cukup percaya diri. Tapi aku juga sadar diri."

Untuk pertama kalinya, Damien tertawa kecil.

Selene menarik. Ia kuat, tetapi juga licik.

Ia mengulurkan tangan sekali lagi. "Kau menarik. Apa kau ingin berteman?"

Sebelum Selene sempat menjawab, Lucian muncul di belakang mereka. "Setelah duel hidup dan mati, kalian malah berteman? Ajak aku juga."

Tiga tangan bersatu.

Kyle dan Adeline tersenyum di dekat mereka. Pandangan Selene sedikit melembut. Seolah ia melihat bayangan dirinya dan teman-temannya dahulu.

"Tidak buruk untuk hidup kembali."

Namun di sudut tribun, Vivianne menggenggam gaunnya erat. Wajahnya dipenuhi kebencian.

Damien tak pernah tersenyum padanya.

Namun di hadapan Selene…

"Aku akan membalasnya."

1
Maria Lina
yg lama aj blm tamat thor buat cerita baru lgi hadeh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!