Hidup dalam takdir yang sulit membuat Meta menyimpan tiga rahasia besar terhadap dunia. Rasa sakit yang ia terima sejak lahir ke dunia membuatnya sekokoh baja. Perlakuan tidak adil dunia padanya, diterima Meta dengan sukarela. Kehilangan sosok yang ia harap mampu melindunginya, membuat hati Meta kian mati rasa.
Berbagai upaya telah Meta lakukan untuk bertahan. Dia menahan diri untuk tak lagi jatuh cinta. Ia juga menahan hatinya untuk tidak menjerit dan terbunuh sia-sia. Namun kehadiran Aksel merubah segalanya. Merubah pandangan Meta terhadap semesta dan seisinya.
Jika sudah dibuat terlena, apakah Meta bisa bertahan dalam dunianya, atau justru membiarkan Aksel masuk lebih jauh untuk membuatnya bernyawa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hytrrahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Waktu untuk Sama-sama (a)
Risa baru selesai membersihkan kamar Meta yang kosong, akhir-akhir ini kehidupannya jauh lebih terasa ringan. Entah karena ada penyemangat baru yang datang, atau memang karena umurnya tidak akan lama lagi di dunia ini. Risa tak ingin menepis pikiran buruk yang datang, menikmatinya akan jauh lebih baik, sebab ia benci keadaan yang diterimanya. Saat ia memiliki seseorang seperti keturunannya sendiri, Beni justru menjadi penghalang.
Hukuman Tuhan untuknya terlalu berat.
Kekosongan di kamar ini membuat Risa menyeberang terlalu jauh lewat pikirannya. Punggung yang selalu tegap di hadapan Meta, kini rapuh, mau beristirahat sejenak di sudut kamar. Alangkah baiknya jika tak ada Beni, Risa selalu ingin mewujudkan impian-impian kecilnya.
Lama larut dalam renungan, ketukan pintu menyadarkan Risa dalam sekejap. Membuatnya segera bangkit menuju pintu, takut kalau suaminya pulang. Napas lega ikut serta datang ketika yang dilihat adalah sosok malaikat yang selama ini setia di sisi Meta. Risa tersenyum penuh binar, pun dengan sosok itu yang menenteng sesuatu di tangannya.
"Putra? Meta—"
"Meta tadi telepon aku, Bu."
Kening Risa berlipat-lipat kecil, menyadari ada yang salah dari perkataan sosok putih jangkung di hadapannya di waktu langit sudah gelap begini.
"Aku boleh manggil Ibu, kan?" tanya Putra gembira. Rupanya ia mengetahui dengan benar apa yang baru saja ia katakan. "Meta terlalu khawatir sama Ibu, jadi selama Meta pergi, aku akan di sini sama Ibu."
Tanpa Risa sadari, matanya berkaca-kaca, senyumannya tak pernah terputus seolah ada ikatan antara dirinya dan Putra. Bersamaan dengan itu, air matanya jatuh di pipi sebelah kiri, disusul oleh sebelahnya. Tangan Risa tak tahan untuk tak bergerak, menyentuh hangat wajah Putra seolah dia adalah anak kandungnya.
Putra tak menepis sentuhan itu, ia merasakannya dengan hati. Sejujurnya sudah sejak lama ia ingin dekat dengan Risa, menghabiskan waktu bersama dengan sosok yang menerima banyak derita selama hidupnya ini. Lagi-lagi ia harus menahan diri agar Beni tak menaruh curiga, takut kalau ketahuan dan semua rencananya berantakan.
"Mama sama papa terlalu sibuk, aku nggak mendapatkan hak ku sebagai anak sepenuhnya. Aku harap, Ibu nggak keberatan."
Saat Putra menunduk, Risa mengangguk semangat dengan isakan yang membuat Putra ikut tenggelam dalam sesaknya.
"Justru saya berterimakasih sama kamu, Putra. Kamu mau memanggil saya dengan sebutan ibu, menerima keadaan Meta, dan bisa menaklukkan Beni meskipun sesaat."
Putra mengulum senyum, membawa tangan Risa ke dalam genggamannya. "Aku akan menyelamatkan Ibu sama Meta, aku janji, Bu. Aku cuma perlu waktu, sampai aku dapat izin dari mama sama papa."
Risa menggeleng dengan air mata bercucuran, senyumnya mulai menipis. "Kamu nggak perlu melakukan itu, Putra. Jangan ikut terlibat dalam permasalahan ini. Saya nggak mau kamu kenapa-napa."
"Tapi aku sakit ngeliat keadaan Ibu kayak gini. Aku merasa paling berdosa kalau menutup mata aku, disaat Ibu butuh bantuan."
"Putra, Beni itu orang yang sangat egois. Kamu mau melawan dengan cara apa? Lebih baik seperti ini, Ibu nggak mau kamu seperti teman Meta yang dulu."
Alasan yang sama. Kejadian yang sangat membekas di ingatan Putra dan Meta. Mengetahui untuk pertama kalinya, bahwa Beni merupakan orang paling kejam demi memenuhi semua keinginannya. Apapun caranya, demi sebuah kecukupan kebutuhan haramnya, Beni berani merenggut nyawa seseorang.
Hal yang menjadikan Putra ikut terseret dalam peperangan, yang mulanya telah ia relakan jika hal itu memang baik untuknya dan keluarga. Tetapi saat ia semakin dekat, Putra mengetahui satu hal rahasia. Yang menyebabkan bencinya bertambah besar.
"Aku akan berusaha semampu aku. Ibu sama Meta cuma perlu bertahan sampai saat itu tiba," pinta Putra pelan. "Aku nggak akan mungkin kayak temen Meta yang hampir meninggal itu, Bu. Aku punya orang tua."
"Kalau berbahaya, kamu harus urungkan niat kamu, ya. Ibu sudah menganggap kamu sebagai anak Ibu sendiri."
Putra mengangguk, tenggorokannya terasa sakit sebab terlalu lama menahan tangis. "Seharusnya Ibu nggak mengenal Beni, supaya anak Ibu tetap hidup."
Sekujur tubuh Risa memanas mendengar ucapan Putra. Wajahnya yang tampak sedih berubah tegang penuh kecemasan seolah bertanya, darimana Putra mengetahui cerita pilu yang ia punya. Tatapannya terpaku pada Putra yang juga sedang menangkap dan memerhatikan baik-baik mimik wajahnya.
Aku akan menghukum Beni demi Ibu.
...***...
Saat Elna terbangun dari tidurnya, kemudian masih mendengar suara televisi, ia pun turun ke bawah untuk melihat putranya. Hendak menegur putra sulungnya yang masih terjaga saat jam telah menunjukkan pukul tiga dini hari. Saat tiba di lantai bawah, tepat di ruang keluarga, ia melihat Alvaro mengintip di balik jendela. Seperti sedang menunggu kepulangan seseorang.
Sontak saja Elna tersenyum, lalu berjalan mendekati putranya. "Kenapa ngintip ke luar terus? Kamu nungguin siapa, Al?" tanyanya.
Alvaro yang dipergoki oleh bundanya pun gelagapan, menggaruk pelipisnya dan tidak tahu harus menjawab apa. Dia memeriksa ponselnya terlalu sering sejak setengah jam yang lalu, sebab sang adik tak kunjung pulang ke rumah.
"Bunda kenapa belum tidur?" Suara Alvaro memberat, tak bersemangat seolah hal ini terjadi karena dirinya. "Aku sama Aksel nggak akan berantem lagi, Bun."
"Seharusnya Bunda yang bertanya, kenapa kamu belum tidur? Besok nggak kuliah?"
Entahlah, bagaimana cara menjawabnya, Alvaro tentu tak mau menurunkan gengsinya dengan menjawab kalau sedang menunggu Aksel pulang. Harga dirinya sebagai yang tertua tentu terguncang, Aksel akan semakin tidak segan dan bersikap tidak hormat padanya.
Elna melipat tangan di dada, tersenyum semakin lebar. "Kamu kayak abis dipergokin pacaran, padahal cuma ketahuan nunggu adik pulang. Malu, ya?" ejeknya.
Alvaro membalikkan badan, segera menjatuhkan tubuh ke sofa. Bergerak cepat mengambil remote dan mengganti siaran televisi yang sedang disaksikan.
Melihat tingkah menggemaskan Alvaro, Elna terkekeh pelan sambil geleng kepala. Alvaro masih menjadi sosok yang sangat peduli pada sekitarnya, walau dirinya sendiri sedang kesusahan. Ingatan-ingatan itu kembali datang, menangkap Elna dan memenjarakannya sekejap dalam kenangan lama.
Melihat Elna terdiam dengan tatapan kosong, Alvaro segera bangkit dan mendekap wanita itu dengan erat. Seraya membisikkan sesuatu. "Aku khawatir sama Aksel, Bun. Jam segini masih belum pulang."
Elna menyentuh lengan Alvaro, ia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh putranya itu. "Aksel pergi, Al. Kemarin siang dia pamit sama Bunda, katanya mau nemenin temennya, mungkin tiga hari dia nggak akan pulang. Terus jam sebelas malam telepon, udah di Yogyakarta sama keluarga temennya."
Alvaro melepas pelukannya, ada rasa kesal yang membengkak dalam dadanya. Ia seperti tak bermakna dalam keluarganya sendiri, adik yang ia sayangi tak menganggapnya sebagai saudara.
Sebisa mungkin, Alvaro menahan amarahnya pada Elna. Ia takut akan melukai hati wanita itu. Namun Alvaro sudah kelewat kesal, Aksel terlalu merendahkannya hanya sebuah kesalahan yang tidak ia sengaja.
"Di rumah ini aku kayak nggak ada, ya, Bun. Lama-lama aku juga capek ngadepin Aksel. Kalau dia mau aku pergi, aku bisa pergi, kok, Bun."
"Alvaro! Jaga ucapan kamu!" sentak Elna dengan raut yang mengkhawatirkan. "Kamu harus mengerti kalau Aksel belum bisa menerima kepergian ayah. Dia bersikap seperti itu karena salah paham terhadap kamu."
"Terus siapa yang akan mengerti keadaan aku, Bunda? Aksel? Dia bahkan nggak nanya kenapa aku nggak datang di hari kematian ayah. Dia nggak tau apa-apa!"
Air mata Elna pun jatuh. "Terus kalau kamu nggak cerita, kami akan tau apa yang terjadi sama kamu, Al? Kami berusaha memahami kamu, tapi kami rasa nggak ada yang salah dengan kamu."
Tidak. Tak akan ada yang tahu kejadian mengerikan itu selain dirinya. Alvaro menyimpan rasa sakit itu sendirian, dia memikulnya, menelan pahitnya tanpa ingin melibatkan orang-orang yang ia sayangi. Lihatlah betapa bodohnya ia, sekarang pun harus meminta ampun kepada ibunya karena telah bertindak diluar batas.
Tak seharusnya ia menyalahkan orang lain atas keadaan yang menimpanya dulu. Tak ada yang bisa menyelamatkan Alvaro selain dirinya sendiri detik itu, saat ayahnya sekarat di rumah sakit.
"Maaf, Bunda. Aku harus istirahat, maaf udah nyakitin Bunda."
"Alvaro! Cerita sekarang, Alvaro! Bagian mana yang Bunda dan ayah nggak tau tentang kamu."