NovelToon NovelToon
Malam Pertama Untuk Istriku

Malam Pertama Untuk Istriku

Status: tamat
Genre:Tamat / CEO / Penyesalan Suami / Menikah dengan Musuhku / Trauma masa lalu
Popularitas:19.2k
Nilai: 5
Nama Author: Mamicel Cio

Reyhan menikahi Miranda, wanita yang dulu menghancurkan hidupnya, entah secara langsung atau tidak. Reyhan menikahinya bukan karena cinta, tetapi karena ingin membalas dendam dengan cara yang paling menyakitkan.

Kini, Miranda telah menjadi istrinya, terikat dalam pernikahan yang tidak pernah ia inginkan.

Malam pertama mereka seharusnya menjadi awal dari penderitaan Mira, awal dari pembalasan yang selama ini ia rencanakan.

Mira tidak pernah mengira pernikahannya akan berubah menjadi neraka. Reyhan bukan hanya suami yang dingin, dia adalah pria yang penuh kebencian, seseorang yang ingin menghancurkannya perlahan. Tapi di balik kata-kata tajam dan tatapan penuh amarah, ada sesuatu dalam diri Reyhan yang Mira tidak mengerti.

Semakin mereka terjebak dalam pernikahan ini, semakin besar rahasia yang terungkap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tetap tidak kembali

Reyhan duduk di ruang kantornya yang sepi, memandangi laporan keuangan yang baru saja diberikan oleh Bimo.

"Pratama Group secara resmi mengambil alih saham mayoritas perusahaan Sindu dengan harga rendah. Keluarga Sindu jatuh, dan Ario Sindu kini dirawat di rumah sakit akibat serangan jantung."

Harusnya Reyhan merasa puas. Harusnya dia merasa menang. Tapi kenapa ada kekosongan yang begitu besar dalam hatinya?

Dia menekan pelipisnya, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk.

"Mira... kamu pasti akan keluar sekarang, kan?" bisiknya, seolah berbicara pada seseorang yang tidak ada.

Sudah satu bulan lebih sejak surat kematian itu diberikan kepadanya. Sejak saat itu, dia menyangkal kenyataan itu. 

"Mira tidak mungkin mati. Wanita itu terlalu keras kepala. Terlalu gigih untuk menyerah."

Dia yakin ini hanya permainan.

Tapi setelah semua yang ia lakukan, setelah menghancurkan keluarga Sindu, kenapa Mira masih belum muncul?

Bimo mengetuk pintu dan masuk. Wajahnya tampak ragu, seakan tidak yakin ingin berbicara.

"Apa?" tanya Reyhan dingin.

Bimo menatap bosnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Ario Sindu masih dalam kondisi kritis. Dokter bilang kemungkinan bertahan hidupnya kecil. Saham keluarga Sindu sudah habis, perusahaan mereka bangkrut. Tidak ada yang tersisa untuk mereka sekarang."

Reyhan membuang napas panjang. "Bagus."

Bimo tetap berdiri di tempatnya, seolah menunggu sesuatu.

Reyhan mengangkat wajahnya, tatapannya tajam menembus ruang hampa di antara mereka. 

"Kamu mau bilang apa lagi?" Nada suaranya dingin, tetapi ada sesuatu yang bergemuruh di dalam dirinya, sesuatu yang berusaha dia kubur dalam-dalam.

   Bimo menelan ludah dengan gugup sebelum akhirnya mengumpulkan keberanian. 

"Rey... bagaimana kalau Mira benar-benar sudah tidak ada?"

   Ruangan itu tiba-tiba terasa sunyi, begitu sunyi hingga Reyhan bisa mendengar denyut jantungnya sendiri yang mulai berdetak lebih cepat. 

Namun, dia tidak memperlihatkan apa pun. Wajahnya tetap sekeras batu, meski pikirannya berteriak menolak kemungkinan itu. 

"Dia belum keluar," ujarnya, nyaris seperti meyakinkan dirinya sendiri ketimbang menjawab Bimo.

   "Karena dia tidak bisa keluar, Rey," kata Bimo pelan, seperti mengungkit luka yang tak ingin disentuh. "Karena dia sudah mati. Sadarlah!"

   Reyhan tertawa, tetapi tawanya terasa hambar, kosong, seperti cangkang yang berusaha menutupi kekosongan besar di dalamnya. 

"Jangan mengulang omong kosong itu, Bimo." 

Omong kosong? Atau hanya kenyataan yang enggan dia terima? Dia sendiri tak tahu. Namun, membayangkan Mira benar-benar sudah pergi, entah kenapa, membuat dadanya seolah diremas tanpa ampun.

   Bimo menggertakkan giginya, frustrasi. "Rey... kamu sudah melakukan semuanya. Kamu sudah mengambil semua yang dia miliki. Jika Mira masih hidup, dia pasti sudah keluar sekarang. Kamu tahu itu."

   Reyhan tidak menjawab. Bibirnya tetap terkunci rapat, sementara matanya berkedip sekali, seolah melawan bayangan terakhir tentang Mira yang muncul di benaknya. 

"Dia tidak mati," batinnya keras, mencoba menutup rapat-rapat pintu yang perlahan Bimo buka.

"Aku tahu kamu tidak mau percaya," lanjut Bimo, suaranya kini melembut, seperti berbicara kepada anak kecil yang keras kepala. "Tapi kenyataan tetaplah kenyataan, Rey. Mira sudah tiada."

   Ada bunyi derak yang halus saat Reyhan menggertakkan rahangnya, napasnya mulai terasa berat. 

"Keluar." Suaranya datar, tetapi mengandung peringatan.

   "Rey—"

   "Keluar, Bimo!" bentaknya, lebih keras kali ini, seperti cara terakhirnya mempertahankan benteng yang mulai retak.

   Bimo mendesah panjang, penuh kelelahan dan keputusasaan, sebelum akhirnya beranjak pergi dan menutup pintu di belakangnya. 

Ketika suara langkah Bimo menghilang di kejauhan, Reyhan mengangkat tangannya, menekan pelipisnya yang mulai berdenyut. Di dalam kepalanya, suara Bimo terus bergema. 

"Mira sudah tiada."

   "Tidak. Dia belum tiada," bisiknya lirih pada kesunyian yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. 

Dia tak sanggup memikirkan hal lain. Tidak sekarang. Tidak pernah.

Reyhan membanting dokumen di atas meja, dadanya terasa sesak.

Kenapa Mira tidak muncul?

Kenapa?

Kenapa?

Dia berdiri dengan kasar, meraih jaketnya, dan keluar dari kantornya.

Langkah Reyhan terhenti di depan rumah sakit tempat Ario Sindu dirawat.

Dia tidak tahu kenapa dia ada di sini.

Dia tidak peduli pada pria itu.

Tapi hatinya seperti menariknya ke tempat ini.

Dia berjalan masuk, menuju ruang ICU, dan melihat sosok tua yang terbaring lemah dengan alat bantu pernapasan.

Ario Sindu.

Pria yang pernah berdiri tegak dengan kesombongan, kini terlihat begitu rapuh.

Seharusnya ini terasa menyenangkan. Seharusnya dia merasa puas melihat keluarga Sindu hancur.

Tapi kenapa yang dia rasakan justru perasaan kosong yang menyakitkan?

Tiba-tiba, suara dokter terdengar.

"Keluarganya... apakah ada yang bisa dihubungi?"

Seorang perawat menggeleng. "Tidak ada yang bisa dihubungi. Satu-satunya ahli warisnya, Miranda Sindu, telah meninggal dunia."

Reyhan merasakan hantaman kuat di dadanya.

Miranda Sindu telah meninggal dunia.

Kata-kata itu berulang-ulang di kepalanya, membuatnya semakin sulit bernapas.

Tidak.

Mira tidak mungkin pergi.

Dia pasti akan kembali.

Pasti...

Reyhan menutup matanya, tetapi justru yang muncul dalam pikirannya adalah kenangan bersama Mira.

Tatapan matanya yang penuh cinta.

Senyumnya yang tulus, meskipun dia terus menyakitinya.

Pelukan hangatnya yang selalu ia tolak.

Dan sekarang?

Wanita itu sudah tidak ada.

Reyhan terduduk di kursi, menundukkan kepalanya.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa hancur.

Dia akhirnya menyadari sesuatu.

Dendamnya memang telah selesai.

Tapi dalam prosesnya, dia kehilangan wanita yang diam-diam dia cintai.

Dan sekarang, semuanya sudah terlambat.

Malam telah larut. Langit gelap tanpa bintang, hanya diterangi lampu-lampu jalan yang redup.

Mira berdiri di depan rumah yang dulu menjadi tempatnya berteduh. Rumah yang seharusnya menjadi tempatnya berbagi kebahagiaan dengan suaminya, tapi malah menjadi saksi penderitaan dan air matanya.

Tangannya sedikit gemetar saat menyentuh gagang pintu pagar. Syukurlah tidak ada penjaga.

Dia sudah memperhitungkan semuanya. Dengan kehancuran bisnis keluarga Sindu, Reyhan pasti sibuk dengan urusan perusahaan dan balas dendamnya yang sia-sia. Tidak akan ada yang menyadari kehadirannya.

Malam ini, dia hanya ingin mengambil barang-barangnya yang tertinggal.

Lalu pergi.

Pergi sejauh mungkin dari kota ini, dari semua kenangan yang menghantuinya.

Mira mengendap-endap masuk, langkah kakinya ringan, hampir tanpa suara. Udara di rumah itu terasa dingin, seakan menyambutnya dengan kehampaan.

Sudah lama sekali sejak terakhir kali dia menginjakkan kaki di sini.

Tangannya meraba dinding, mencari saklar lampu. Tapi kemudian dia mengurungkan niatnya.

Dia tidak butuh cahaya.

Kakinya secara alami menuntunnya ke kamarnya, tidak, kamar mereka.

Saat membuka pintu, jantungnya berdegup kencang. Aroma familiar menyeruak ke hidungnya. 

Parfum Reyhan.

Ternyata, rumah ini masih menyimpan jejaknya.

Langkahnya perlahan memasuki ruangan yang dulu menjadi tempatnya beristirahat. Tempat di mana dia pernah berharap bisa mencintai dan dicintai.

Di atas nakas, masih ada bingkai foto pernikahan mereka.

Mira menggigit bibirnya. Dengan tangan gemetar, dia mengambil bingkai itu. Jemarinya menyusuri wajah Reyhan dalam foto, pria yang pernah ia cintai lebih dari apa pun.

Atau mungkin, masih ia cintai.

Dia menarik napas dalam dan meletakkan bingkai itu kembali. Tidak, dia tidak boleh terbawa emosi.

Dia segera membuka lemari, mencari beberapa barang yang masih tertinggal, beberapa baju, buku harian kecilnya, dan kalung yang dulu diberikan ibunya sebelum meninggal.

Saat itulah matanya menangkap sesuatu yang membuatnya terhenti.

Jas Reyhan.

Jas yang pernah menyelimuti tubuhnya saat malam itu, saat dia merasa hancur dan tak berharga.

Dia menggenggam kain itu erat, lalu memejamkan mata.

Malam itu, Reyhan mungkin hanya menolongnya karena terpaksa. Tapi bagi Mira, itu adalah momen terakhir di mana dia merasa dilindungi.

Dia menghela napas panjang. Sudah cukup. Dia harus pergi.

Namun saat berbalik, tubuhnya menegang.

Reyhan berdiri di ambang pintu.

Wajahnya gelap, matanya tajam menatapnya.

Jantung Mira mencelos.

"Reyhan... Aku harus sembunyi!" Mira berbisik dalam hati, tubuhnya gemetar di balik pintu kamar. Ia menahan napas ketika suara pintu depan dibanting, menggelegar hingga memantul di dinding rumah.

Bau alkohol segera menyeruak memenuhi udara, seakan mengukuhkan kehadiran Reyhan.

"Mira... Mira..." Reyhan tertawa getir. 

"Pemakaman.... sertifikat kematian, kamu kira aku tidak tahu trik murahanmu ini!" Suaranya menggema di ruangan, penuh kemarahan. 

Mira mendengar langkahnya mendekat, terhenti sejenak sebelum tubuhnya terduduk berat di sofa. Napasnya tertahan, dada terasa sesak.

"Kamu pikir kamu bisa pergi begitu saja?" Kalimat itu keluar seperti belati tajam, dingin dan menusuk.

Mira merapatkan tubuhnya ke dinding, menggigit bibir keras-keras agar tidak terisak. 

'Tidak boleh ada suara. Aku harus tetap tenang.'

Namun, gemuruh di dadanya tidak mau mereda, detak jantungnya semakin keras hingga terasa menyesakkan. 

"Dan kamu pikir aku akan membiarkanmu keluar dari sini setelah semua yang terjadi?" 

Mira mendengar Reyhan tertawa kecil, tapi ada kehampaan dalam suaranya, seperti cekikikan yang membawa luka, bukan kegembiraan. Dia melanjutkan, suaranya menggelegar dengan emosi yang mencabik. 

"Kamu pikir aku akan membiarkanmu pergi setelah kamu menghancurkan hidupku? Ya. Kamu menghancurkan hidupku, Mira! Kamu meninggalkanku!" 

Mira mengepalkan tangan erat, rasa takut mencengkeram. Namun, entah mengapa, dari celah pintu yang sedikit terbuka, pandangannya menangkap wajahnya yang tertekuk di sofa. 

Ada sesuatu di matanya, sesuatu yang tak pernah ingin ia akui. 

Luka. 

Kesakitan. 

"Tidak," Mira berbisik dalam hati, menolak apa yang baru saja ia lihat. 

Mira tidak boleh terjebak dengan emosi ini. Ia harus kuat, tidak boleh merasa simpati padanya, tidak setelah semua yang dia lakukan padanya. 

Namun, pikirannya terbelah. Apakah itu rasa marah, cinta, atau hanya kebingungan? Mira mengguncang kepalanya perlahan. Ini bukan waktu untuk menganalisis perasaan. Yang pasti, ia harus tetap sembunyi. 

Reyhan adalah ancaman, dan ia tidak akan jatuh lagi dalam permainan emosinya. Tidak kali ini.

"Jika setelah ini kamu berharap aku akan cinta padamu, kamu salah besar Miranda Sindu! Hanya ada dalam mimpimu!"

Miranda menahan isaknya, "bahkan saat aku mati pun kamu masih sangat membenciku, Rey?"

"Trik murahan!"

Reyhan menangkap sesuatu.... 

"Mira..."

Bersambung... 

1
Serani Waruwu
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!