Reyhan menikahi Miranda, wanita yang dulu menghancurkan hidupnya, entah secara langsung atau tidak. Reyhan menikahinya bukan karena cinta, tetapi karena ingin membalas dendam dengan cara yang paling menyakitkan.
Kini, Miranda telah menjadi istrinya, terikat dalam pernikahan yang tidak pernah ia inginkan.
Malam pertama mereka seharusnya menjadi awal dari penderitaan Mira, awal dari pembalasan yang selama ini ia rencanakan.
Mira tidak pernah mengira pernikahannya akan berubah menjadi neraka. Reyhan bukan hanya suami yang dingin, dia adalah pria yang penuh kebencian, seseorang yang ingin menghancurkannya perlahan. Tapi di balik kata-kata tajam dan tatapan penuh amarah, ada sesuatu dalam diri Reyhan yang Mira tidak mengerti.
Semakin mereka terjebak dalam pernikahan ini, semakin besar rahasia yang terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gertak Sambal
Reyhan duduk di ruang kerjanya, jari-jarinya mengetuk meja tanpa pola. Di depannya, secangkir kopi hitam yang bahkan belum disentuh.
Biasanya, ini adalah kopi yang selalu disiapkan Mira untuknya sebelum ia berangkat bekerja. Tapi sekarang, kopi itu hanya buatan asisten rumah tangga yang sama sekali tidak memiliki aroma yang sama.
Ia menatap sekeliling rumahnya.
Semua barang milik Mira sudah tidak ada. Lemari pakaian di kamarnya kosong, rak buku di ruang tamu tidak lagi dipenuhi novel-novel romansa yang selalu ia ejek. Bahkan wangi parfum Mira yang selalu memenuhi sudut rumah ini telah lenyap.
Tetapi… kenangan akan wanita itu masih ada di mana-mana.
Di dapur, ada bekas cangkir favorit Mira yang ia tinggalkan sebelum pergi. Di ruang tamu, ada selimut kecil yang sering digunakan Mira saat menonton TV.
Bahkan di kamar mereka, tempat yang dulu Mira perjuangkan agar bisa tidur bersama suaminya, masih ada pantulan kenangan yang tak bisa ia hapus begitu saja.
Reyhan mengusap wajahnya dengan kasar.
Ini bodoh. Kenapa ia memikirkan ini sekarang? Mira sudah pergi. Ia sendiri yang ingin Mira keluar dari hidupnya, bukan?
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.
“Masuk,” katanya tanpa melihat.
Pintu terbuka, dan seorang wanita melangkah masuk dengan percaya diri.
Rena.
Wanita itu mengenakan gaun berwarna merah marun, tampak elegan seperti biasa. Rambutnya dibiarkan tergerai, riasan wajahnya sempurna.
“Reyhan,” panggilnya dengan suara lembut, seraya berjalan mendekat.
Reyhan mengangkat wajahnya, menatapnya tanpa ekspresi.
Rena tersenyum tipis. “Aku dengar kamu masih belum bisa move on dari Mira.”
Reyhan menyipitkan mata. Aku tidak mau membicarakan itu.”
“Tapi kau memikirkannya, Aku tahu, Rey. Aku tahu kamu masih merasa kosong tanpanya.” sahut Rena cepat.
Reyhan diam.
“Aku ada di sini, Rey. Aku selalu ada.” Rena menarik kursi di depannya, duduk dengan santai.
Reyhan menghela napas. “Aku tahu.”
“Tapi kamu tidak pernah melihatku,” Rena tertawa kecil, meskipun ada luka yang tersembunyi di balik tawanya. “Aku selalu di sisimu. Aku selalu menjadi orang pertama yang mendukungmu. Aku yang mengerti semua yang kamu suka dan kamu benci. Tapi kamu… kamu selalu memilih perempuan itu.”
Reyhan menatap wanita di depannya. Rena memang selalu ada untuknya. Sejak kecil, sejak remaja, hingga sekarang. Rena adalah sekertarisnya, sahabatnya, dan seseorang yang tanpa ia minta selalu memastikan hidupnya berjalan dengan baik.
Tetapi…
Dia bukan Mira.
Reyhan mengalihkan pandangannya, membuat Rena mengepalkan tangannya di bawah meja.
“Masih belum cukupkah waktuku untuk mendapatkan tempat di hatimu?” Rena bertanya pelan.
Reyhan terdiam.
“Aku tidak mencintaimu, Rena. Dan aku tidak akan pernah.” akhirnya ia berkata.
Ucapan itu seperti pisau yang menusuk tepat ke jantung Rena. Namun, wanita itu tetap tersenyum tipis, menahan rasa sakitnya.
“Kamu hanya butuh waktu, aku akan menunggumu, Rey.” katanya, lalu berdiri dari kursinya.
Reyhan tidak menjawab.
Rena mendekat, membungkuk, lalu mencium pipi pria itu perlahan sebelum melangkah keluar dari ruangan.
Saat pintu tertutup, Reyhan kembali sendiri dalam keheningan.
Dan tanpa ia sadari, matanya kembali tertuju pada tempat di mana Mira dulu biasa berdiri, menunggunya pulang dengan senyuman.
---
Suasana kantor terasa hening ketika Rena masuk ke ruangan Reyhan dengan langkah penuh percaya diri.
Gaun merah ketat membalut tubuhnya dengan sempurna, rambut panjangnya tergerai indah, dan aroma parfumnya memenuhi ruangan. Namun, pria di hadapannya sama sekali tidak terpengaruh.
Reyhan duduk di belakang mejanya, tatapannya kosong, pikirannya entah melayang ke mana. Sejak kematian Mira, ia menjadi lebih pendiam, lebih muram. Bahkan minuman favoritnya pun tak disentuh.
Rena menutup pintu perlahan, lalu berjalan mendekat.
"Rey..." panggil Rena dengan nada lembut, berharap bisa menembus dinding es yang selama ini mengelilinginya.
Reyhan mendongak sekilas, hanya cukup untuk mengakui keberadaan Rena, lalu kembali sibuk menatap layar laptopnya tanpa ekspresi sedikit pun. Tatapannya begitu datar, begitu kosong, seperti lelaki yang sudah kehilangan arah dan arti.
Rena mengembuskan napas pelan, lalu mengerucutkan bibir.
"Kamu selalu seperti ini, Rey. Dulu saat Arini meninggal, kamu menutup diri. Sekarang Mira juga sudah pergi, kamu malah semakin dingin."
Reyhan hanya ingin dia mendengar, hanya ingin dia tahu bahwa Rena peduli. Namun, yang ia dengar hanyalah desah pelan darinya.
"Kalau kamu hanya datang untuk membahas ini, lebih baik keluar," ujar Reyhan tanpa perasaan, seperti menolak keberadaan Rena begitu saja.
Kata-katanya dingin, menusuk, tapi Rena tak akan menyerah begitu saja. Dengan langkah santai, ia menghampirinya dan duduk di tepi mejanya, mendekat dengan hati-hati, tangannya perlahan menyentuh bahunya.
Rena ingin dia tahu bahwa ia tidak akan pergi, bahwa ia tetap ada untuknya.
"Kamu sendirian sekarang, Rey," bisik Rema pelan. "Aku satu-satunya orang yang selalu ada untukmu."
Tapi Reyhan malah menepis tangan Rena, kasar dan tanpa ragu, seolah menegaskan bahwa keberadaannya adalah sesuatu yang tak diinginkan.
Gerakannya membuat Rena membeku sesaat. Ia tidak menyangka akan ditolak secepat itu, sekeras itu. Namun, ia memaksa sebuah senyum kecil muncul di bibir, berusaha menyembunyikan luka yang menggores hati.
"Kenapa, Rey?" tanya Rena lembut, meski hatinya merintih.
"Aku ini wanita yang mencintaimu. Aku yang selalu ada. Aku yang tahu semua tentangmu. Aku yang setia menunggumu." Rena tidak sedang memohon, ia hanya ingin dia sadar bahwa dia tidak benar-benar sendirian.
Tapi Reyhan tidak menggubris. Tatapannya tetap kosong, matanya seperti menatap sesuatu yang tidak ada di ruangan ini.
"Aku tidak butuh siapa pun," ujar Reyhan, nadanya tak berbeda dinginnya dengan dinding yang membatasi kami.
Saat itu Rena menyadari, mungkin bukan ia yang dia tolak. Mungkin dia sedang menolak dirinya sendiri, menolak untuk merasakan, menolak untuk percaya lagi pada siapa pun, termasuk pada Rena.
Tapi apa ia harus berhenti? Entah mengapa, Rena merasa justru itulah alasan ia tak bisa menyerah.
"Jangan pura-pura, Rey," suara Rena pecah, menggema di ruangan. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, seperti mencoba menahan gemuruh emosinya sendiri.
"Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu kehilangan Mira. Kamu ke mana-mana mencarinya, padahal kamu sendiri yang mengusirnya!"
Reyhan membeku di tempat. Nama itu, Mira. Nama yang seakan tidak pernah bisa lepas dari pikirannya.
Sorot mata Rena menembus, menyayat dengan ketajaman yang membuat dada ini semakin berat.
"Kamu bilang Mira hanya gertak sambal, kamu pikir dia akan kembali menangis meminta maaf padamu. Tapi lihat sekarang, dia sudah mati!" Suaranya bergetar hebat, penuh amarah dan rasa terluka
"Apa kamu masih menunggunya, Rey?"
Rahang Reyhan mengeras. Nafas yang berdesakan dalam dada terasa seperti bara api.
"Cukup, Rena," ucap Reyhan dingin, mencoba menahan dorongan emosi yang mulai bergolak.
"Tidak!" Rena membentak. Air matanya mulai mengalir, tapi matanya menyala seperti api yang membakar semuanya.
"Apa yang salah denganku, Rey? Aku yang selalu ada untukmu! Aku yang mencintaimu lebih dari siapa pun! Apa aku masih tidak cukup untukmu?"
Reyhan bangkit dari kursi dengan gerakan lambat, mendekat ke arahnya. Jarak di antara kami semakin tipis, tapi hatinya terasa semakin jauh. Matanya menatapnya tajam, dingin, tanpa belas kasihan.
"Kamu tahu apa yang salah?" suar Reyhan pelan, namun begitu tajam hingga seakan menghujam dadanya.
"Aku muak, Serena."
Rena tersentak. Nafasnya seakan terhenti untuk sesaat. Matanya membelalak, bingung dan terluka.
"Aku muak dengan caramu mendekatiku," lanjut Reyhan dengan tegas, setiap kata seperti sebilah pisau.
"Aku muak dengan obsesi gilamu. Dan aku muak setiap kali kamu menyebut-nyebut nama Mira, seolah dia hanya alasan bagimu untuk memojokkanku." Tawa pahit meledak dari bibirnya, tapi Reyhan tahu itu bukan kebahagiaan. Itu luka yang terlalu dalam.
"Jadi, kamu tetap memilihnya? Bahkan setelah dia mati?" suara Rena berbisik, nyaris seperti serpihan angin yang terbawa ke telingaku. "
Reyhan tidak menjawab, ia hanya berdiri di sana, membiarkan keheningan yang merobek itu menjawabnya.
Reyhan diam.
"Tentu saja," Rena berbisik. "Keluarga Sindu selalu menguasai hatimu, bukan?"
Reyhan menatapnya tajam.
"Setelah kematian Arini Sindu, aku masih bisa menunggu. Sekarang Mira juga sudah mati. Tapi tetap saja, kamu tidak melihatku," suara Rena bergetar penuh emosi. "Apa hatimu hanya untuk wanita dari keluarga Sindu, Rey?"
Reyhan menarik napas dalam, lalu berkata dengan suara dingin, "Ya."
Rena terdiam.
Matanya berkaca-kaca, bibirnya gemetar menahan amarah dan kesedihan. Tangannya mengepal kuat-kuat, tetapi air matanya akhirnya jatuh juga.
"Aku mencintaimu, Rey..." bisiknya pelan. "Aku yang selalu ada... aku yang menunggumu..."
"Tapi aku tidak pernah mencintaimu," sahut Reyhan tanpa ragu. "Dan tidak akan pernah."
Rena terisak, lalu menampar Reyhan dengan keras. Tapi pria itu sama sekali tidak bereaksi.
"Persetan denganmu, Reyhan Pratama!" bentaknya, lalu berbalik dan pergi.
Pintu tertutup dengan keras.
Reyhan menghela napas panjang, lalu menatap meja kerjanya yang berantakan.
Ia tidak peduli jika Rena pergi.
Tidak peduli jika Rena membencinya.
Tidak peduli jika seluruh dunia meninggalkannya.
Karena dalam hatinya, hanya ada satu penyesalan.
Dan itu bernama Miranda Sindu.
Bersambung...