Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Pangeran Riana melarang Yuki keluar kamar, menahannya di dalam kamar seolah-olah dia adalah burung kecil dalam sangkar emas. Yuki tahu seharusnya dia merasa marah, atau setidaknya memberontak, tapi ada sesuatu yang jauh lebih mengganggunya—kecemasan yang terus tumbuh di dalam dadanya.
Dia tidak nyaman dengan pria itu. Setiap kali Pangeran Riana ada di dekatnya, Yuki merasa seolah sedang berjalan di atas es yang tipis, takut kapan saja bisa terjatuh. Tapi anehnya, ketidakhadirannya justru lebih menyiksa.
Ketika Pangeran Riana melarangnya pergi bahkan sekadar untuk mencarinya, perasaan gelisah itu semakin menjadi. Dada Yuki terasa sesak, pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang tak masuk akal. Dia menggigit bibirnya, mencoba mengendalikan emosinya, tapi air mata tetap jatuh tanpa bisa ia hentikan.
Dengan tubuh bergetar, Yuki duduk di sudut tempat tidur, memeluk dirinya sendiri. Isakan kecilnya terdengar lirih di dalam kamar yang luas dan sunyi. Dia tidak mengerti mengapa dirinya bereaksi seperti ini. Yang dia tahu hanyalah satu hal—tanpa Pangeran Riana di sisinya, dunia terasa jauh lebih menakutkan.
Ketika sore tiba.
Yuki mengintip melalui celah pintu, berharap melihat bayangan pria yang membuat dadanya terasa sesak sejak tadi. Tapi saat dia sedang mengintip dengan hati-hati, pintu tiba-tiba terbuka lebar.
Pangeran Riana akhirnya datang.
Yuki terkejut, refleks mundur selangkah. Wajahnya masih sembab akibat tangisan, matanya memerah, dan pipinya sedikit basah. Namun, alih-alih menyembunyikan kesedihannya, Yuki justru menatap Pangeran Riana dengan bibir yang ditekuk, ekspresinya penuh rajukan.
Seolah mengadu tanpa perlu kata-kata. Seolah ingin menyalahkan pria itu karena telah meninggalkannya terlalu lama.
Pangeran Riana menatap Yuki sesaat, mengamati wajahnya yang masih dipenuhi jejak air mata. Dia tahu Yuki merasa ditinggalkan, cemas, dan mungkin juga marah padanya. Namun, Riana tidak bisa membiarkan Yuki keluar dari kamar saat ini.
Jika tadi dia mengizinkan Yuki ikut, gadis itu pasti sudah bersembunyi di bawah meja kerjanya lagi, mencari kenyamanan di sana seperti yang biasa dilakukannya. Namun, kali ini, Riana tidak ingin Yuki mendengar isi rapat.
Kerajaan Argueda telah menolak tawaran yang diberikan Garduete. Mereka tetap bersikeras menuntut agar Yuki ikut kembali ke Argueda.
Gregor telah berhasil memprovokasi sebagian besar Kerajaan Argueda untuk menuntut kembalinya Yuki ke tanah mereka.
Tujuannya jelas—mereka ingin Yuki bertanggung jawab atas kematian Pangeran Sera. Namun, tanggung jawab yang mereka tuntut bukanlah hukuman mati atau pengasingan.
Mereka menginginkan sesuatu yang lebih kejam.
Mereka ingin dua anak yang lahir dari rahim Yuki menjadi milik Argueda. Anak-anak itu harus diakui sebagai pewaris negeri mereka, sebagai kompensasi atas kehilangan Sera.
Bagi Riana, tuntutan ini sama saja dengan merampas sesuatu yang seharusnya menjadi miliknya. Sesuatu yang sudah dia perjuangkan untuk tetap berada di sisinya.
Selain itu, ada satu kabar lagi yang baru sampai ke telinganya.
Lekky Darmount telah sadar dari komanya.
Pria itu berhasil melewati masa kritis—sesuatu yang tidak diharapkan oleh banyak orang, termasuk Riana sendiri.
Lekky yang sadar berarti ancaman baru bagi Riana. Lelaki itu tidak hanya cerdas dan penuh tipu daya, tetapi juga memiliki kebencian mendalam terhadapnya. Jika sebelumnya Lekky hanyalah bayangan yang diam dalam kegelapan, kini ia telah kembali ke permainan dengan penuh kesadaran.
Dan yang lebih mengkhawatirkan—tidak ada yang tahu langkah apa yang akan Lekky ambil selanjutnya.
Pangeran Riana membungkuk tanpa ragu, lalu mengangkat tubuh Yuki dalam gendongannya. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun genggamannya kuat dan tidak memberi ruang bagi penolakan. Yuki hanya bisa membiarkan dirinya dibawa, meski air matanya masih membekas di wajahnya yang sembab.
Riana melangkah dengan tenang menuju sofa, lalu duduk dengan nyaman sambil tetap memangku Yuki di pangkuannya. Ia meraih dagu Yuki dengan jemarinya, mengangkatnya sedikit agar gadis itu mau menatapnya.
“Besok kita akan pergi ke Argueda,” ucapnya datar, seolah keputusannya tidak dapat diganggu gugat. “Tapi sebelum itu, kita akan singgah lebih dulu di Negeri Zairat. Ada pertemuan penting yang harus kuhadiri di sana.”
Ia berhenti sejenak, memperhatikan reaksi Yuki sebelum melanjutkan dengan nada lebih ringan, “Selain itu, aku bisa membawamu bertemu dengan kerabat jauh ibuku.”
Yuki menatap Pangeran Riana dengan mata membesar, terkejut oleh apa yang baru saja didengarnya. “Ke Argueda?” suaranya lirih, hampir tak percaya.
Pangeran Riana mengalihkan pandangannya, ekspresinya tetap datar dan acuh. Sebenarnya, ia tidak ingin membawa Yuki ke sana—terlalu banyak mata yang mengawasi, terlalu banyak bahaya yang bisa mengintai. Namun, sebagai pangeran yang pernah bertarung di sisi Sera dalam perang melawan Balgira, ia tidak bisa menghindari kewajibannya. Memberi penghormatan terakhir kepada mantan musuh sekaligus sekutunya adalah sesuatu yang harus ia lakukan.
“Ya,” jawabnya akhirnya, nadanya tegas. “Mulai sekarang, kau akan ikut ke mana pun aku pergi.”
Saat mereka berdiri di altar pernikahan, di bawah sorotan cahaya lilin yang berpendar lembut, Pangeran Riana menyematkan cincin di jari manis Yuki. Sebuah simbol kepemilikan, pengikat yang tidak akan pernah ia lepaskan.
Di detik itu, ia telah bertekad—Yuki akan selalu berada di sisinya. Ke mana pun ia pergi, Yuki akan mengikutinya. Tidak ada tempat di dunia ini yang cukup jauh untuk memisahkan mereka.
Riana tidak berniat meninggalkan Yuki, bukan sekarang, bukan nanti. Dengan begitu, ia akan selalu bisa melihatnya, menemukannya kapan pun ia menginginkannya. Yuki akan tetap dalam jangkauannya, terikat padanya selamanya.
...****************...
Pangeran Arana duduk tegak di dalam ruangan yang remang-remang, ditemani hanya oleh Kakek Veyron. Udara di sekitar mereka terasa berat, dipenuhi beban peristiwa yang baru saja terjadi. Setelah kematian Pangeran Sera, takhta Argueda otomatis berpindah ke pundaknya—beban yang tak pernah ia duga akan datang secepat ini.
Matanya yang tajam menatap pria tua di hadapannya. Kakek Veyron, Raja Argueda terdahulu yang telah melalui banyak generasi, duduk dengan tenang, sorot matanya teduh namun sarat dengan pengalaman.
“Kakek,” suara Pangeran Arana terdengar datar, tetapi penuh ketegasan. “Ketika Pangeran Riana dan Putri Yuki menikah, Kakek berada di sana.”
Bukan pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan yang menuntut kejujuran.
Kakek Veyron menatap cucunya dengan pandangan penuh kasih. Ia telah melihat dua putra Raja Jafar dan Ratu Isolde tumbuh menjadi pria yang kuat dan bermartabat. Tidak seperti Gregor dan anak-anaknya yang terobsesi dengan kekuasaan hingga tega menumpahkan darah keluarganya sendiri, Arana dan Sera selalu bekerja sama sebagai saudara sejati.
Kini, salah satu dari mereka telah tiada.
Kakek Veyron menarik napas dalam sebelum akhirnya menghela pelan. “Ya,” jawabnya dengan suara yang dalam dan tenang.
Sejenak, tidak ada yang berbicara. Hanya suara kayu yang berderak pelan dari perapian di sudut ruangan.
Sejenak, tidak ada yang berbicara. Hanya suara kayu yang berderak pelan dari perapian di sudut ruangan.
Pangeran Arana tetap menatapnya, ekspresinya nyaris tak terbaca, tetapi ketegangan di rahangnya menunjukkan emosinya yang tertahan.
“Kenapa?” suaranya keluar lirih, tetapi ada ketegangan yang jelas dalam nada bicaranya. “Kakakku baru saja meninggal, dan hanya dalam hitungan hari setelah kematiannya, istrinya menikah dengan pria lain?”
Kemarahan yang selama ini ia tekan perlahan mulai membara. Ini bukan sekadar persoalan politik atau pewaris takhta. Ini adalah pengkhianatan.
Kakek Veyron menatap cucunya dalam diam. Sorot matanya yang bijak memancarkan pemahaman, tetapi tidak segera memberikan jawaban. Ia tahu, kemarahan Arana berasal dari kehilangan yang begitu dalam—kehilangan yang mungkin tidak akan pernah bisa ia terima sepenuhnya.
“Banyak hal yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata, Arana,” ucapnya akhirnya, suaranya terdengar berat oleh pengalaman dan kebijaksanaan yang telah mengakar dalam dirinya. “Tapi satu hal yang harus kau pahami… tidak semua yang terlihat adalah kebenaran yang sesungguhnya.”
Namun, kata-kata itu justru membuat api di hati Arana semakin menyala. Tangannya mengepal di atas lututnya, rahangnya mengeras menahan amarah yang siap meledak.
“Dia mengkhianati Kakak sejak pernikahan mereka,” ucapnya dengan nada penuh kebencian, tak lagi menyembunyikan perasaannya. Sosok Yuki, wanita yang dulu ia kagumi karena kecantikan dan kelembutannya, kini hanya menjadi simbol pengkhianatan di matanya.
Arana tidak bisa memahami bagaimana wanita itu bisa berpaling begitu cepat. Bagaimana ia bisa melupakan Kakaknya secepat itu? Ataukah sejak awal, hatinya memang tidak pernah benar-benar dimiliki oleh Sera?
Kakek Veyron menghela napas pelan. Ia tahu bahwa kemarahan Arana berasal dari kesalahpahaman yang telah tertanam begitu dalam. Jika dibiarkan, kebencian itu hanya akan semakin tumbuh, menciptakan jurang yang lebih lebar antara kebenaran dan persepsi.
Tanpa terburu-buru, Kakek Veyron berdiri, berjalan menuju meja kerjanya, lalu menarik sebuah dokumen yang telah ia kumpulkan dan teliti sendiri kebenarannya. Ia kembali menghampiri Arana, menyodorkan tumpukan kertas itu dengan ekspresi tenang.
“Bacalah ini,” katanya dengan nada mantap. “Dan katakan padaku apa yang kau pikirkan setelahnya.”