"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Hugo mendekati Lily dengan langkah pelan, tangannya terulur, ingin menyentuh wajah Lily. Sentuhan itu terasa halus, tapi penuh makna, seakan mengajak mereka kembali ke masa lalu.
Tanpa sadar Lily menundukkan kepala, berusaha menghindari tatapan pria itu. Ia tahu apa yang Hugo inginkan, ciuman. Ia tahu, pria itu ingin lebih dari sekadar berbicara.
Namun, seperti biasa, Hugo tidak mau menyerah. Ia mencoba memaksa Lily untuk menatapnya. “Ayo, Lily,” bisiknya, suaranya rendah dan lembut, tapi ada paksaan yang tersembunyi. “Bukankah kamu sudah piawai dalam hal ini?”
Lily bisa merasakan getaran dalam jiwanya. Ia tahu betul bagaimana Hugo dulu menjaga dirinya dengan lembut, penuh kesabaran.
Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang lebih gelap dalam mata Hugo. Lily bisa merasakan keinginan yang membara, sebuah nafsu yang tak bisa disembunyikan.
Hugo mendekat lagi, tatapannya penuh harapan, seolah memaksa Lily untuk merespons. "Kamu tau aku selalu ada untukmu," ucapnya dengan suara rendah dan penuh keinginan. Tangannya dengan hati-hati meraih tangan Lily, mencoba menarik tubuh Lily mendekat.
Namun, tubuh Lily langsung menegang. Meskipun matanya dipenuhi kebingungan, ia merasakan perasaan yang jauh lebih kuat, marah.
Marah pada diri sendiri yang pernah jatuh dalam hubungan ini, marah pada Hugo yang tampaknya tidak pernah bisa mengerti batasan. Dalam hatinya, ia merasa lelah dengan perasaan yang selalu membingungkan ini.
"Apa yang sedang kamu lakukan?" ucap Lily, suaranya dipenuhi penekanan, namun masih terdengar tegas. "Berhenti, Hugo. Kita tidak bisa seperti ini."
Hugo sepertinya tidak mendengarkan. Ia terus mendekat, memaksa diri untuk merengkuh tubuh Lily lebih dekat. "Aku tau kamu juga merasakannya. Kita tidak bisa berpura-pura ini tidak ada," ucap Hugo dengan suara penuh harapan.
Meskipun Lily tertekan, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu ia tidak bisa terus begitu, tidak bisa membiarkan dirinya terjebak dalam perasaan yang salah.
Dengan kekuatan yang tersisa, ia mendorong tubuh Hugo perlahan menjauh. "Tidak, Hugo," ucapnya dengan suara bergetar namun penuh ketegasan. "Aku tidak ingin ini. Aku sudah cukup."
Hugo terdiam sejenak, ekspresinya berubah. Ada sedikit keterkejutan di wajahnya, seakan tak menyangka bahwa Lily akan menolak begitu tegas lagi. Namun, dalam hatinya, Hugo merasa seolah itu hanya fase yang bisa dilewati.
"Kamu tidak bisa lari dariku," ucapnya dengan nada dingin. "Kita sudah terlalu dekat untuk berakhir seperti ini."
Namun Lily, meskipun hatinya berdebar, memegang kendali atas dirinya. "Tidak, Hugo," jawabnya, kali ini lebih keras. "Ini berakhir sekarang. Kita sudah tidak ada lagi."
Dengan langkah cepat dan penuh tekad, Lily berbalik, meskipun perasaan ragu dan takut masih mengganggunya. Ia tahu, ini adalah langkah yang harus diambil, meninggalkan apa yang dulu dianggapnya penting, demi kebebasan dan kedamaian dalam dirinya sendiri.
Namun, Hugo tak melepaskan Lily, tangannya sibuk kembali memeluk erat Lily dan tidak mau melepaskan wanita dalam pelukannya.
"Lepaskan, Hugo," teriak Lily, suaranya begitu tegas namun terselip getaran ketakutan.
Hugo membalik Lily untuk menghadapnya. "Kita seharusnya mencoba sesekali. Setidaknya hal itu bisa membuatku yakin bahwa cinta kita ini tulus." Hugo berusaha mencium Lily.
Lily berusaha sekuat tenaga berontak sebelum ia berbicara, "Aku tidak sudi tidur denganmu, Hugo. Lepaskan! Kita tidak memiliki hubungan apa-apa lagi."
Hugo malahan senang atas pemberontakan Lily dan memaksa terus-menerus sampai ketukan pintu terdengar memecah ketegangan di antara mereka.
Suara wanita paruh baya yang familiar terdengar dari luar. “Lily? Apa kamu baik-baik saja di dalam?”
Hugo yang sudah mulai kehilangan kendali, segera melepaskan Lily dengan ekspresi terkejut yang menggantikan wajahnya.
Sejenak ia terdiam, matanya menunjukkan kegelisahan yang mendalam. Perlahan ia mengatur napas, mencoba menenangkan dirinya, sebelum akhirnya berbicara dengan nada yang lebih lembut, penuh penyesalan.
"Aku minta maaf," ucap Hugo, suaranya kini terdengar lebih rendah, hampir penuh penyesalan. "Tadi aku terlalu memaksa, dan itu salah. Aku seharusnya tidak seperti itu. Aku janji, aku tidak akan pernah melakukannya lagi, setidaknya sampai kita menikah."
Namun, sebelum Lily bisa memberikan respons, Hugo menatap dengan tatapan yang sedikit berbeda, tatapan yang mengandung sindiran yang samar. "Tapi," lanjutnya dengan senyum tipis di bibir, "Kita berdua tau kan, bahwa kita manusia biasa? Berdekatan seperti ini bisa menimbulkan banyak kesalahpahaman."
Lily hanya diam, matanya tajam memandang Hugo. Namun, Hugo segera berbalik menuju pintu dan membuka dengan perlahan, seolah memberikan ruang antara mereka untuk menyelesaikan ketegangan yang terbangun.
Di luar sana, Monha, wanita paruh baya pemilik kontrakan yang tinggal dilantai bawah, berdiri dengan tatapan khawatir. “Hugo, apa yang terjadi di dalam?” tanya Monha, suaranya terdengar prihatin.
Hugo berusaha menutupi ketegangan di wajahnya, tersenyum tipis. “Tidak ada, Nyonya,” jawabnya dengan nada manis. “Kami hanya bercanda sedikit. Tidak ada yang serius kok. Maaf jika suara kami mengganggu. Kami tidak ingin membuat keributan di sini.”
Meskipun Monha sedikit ragu, mengangguk dan tersenyum. “Kalau begitu hati-hati. Jangan membuat suara keras lagi. Tetangga kita cukup sensitif,” ucapnya.
Hugo hanya tersenyum manis, mengangguk. Ia pun melihat Lily lagi, dan berbicara dengan suara lembut, berusaha menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja.
“Lily, aku harus pergi sekarang,” ucapnya sambil menatap wanita itu. “Pekerjaanku banyak yang harus diselesaikan. Tapi jangan khawatir, aku akan mampir lagi setelah selesai. Sayang.”
Lily hanya diam, merasa kaku di tempatnya. Kata-kata itu terasa seperti duri yang menembus hatinya. Rasa takut kembali merasuki dirinya, takut jika Hugo tidak akan berhenti begitu saja.
Perasaan itu tidak bisa ia hindari. Ia merasa terjebak dalam hubungan yang tak pernah benar-benar selesai.
Ketika Hugo keluar, Monha kembali menatap Lily dengan tatapan penuh perhatian. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya, meskipun matanya sempat menangkap bercak merah di leher Lily. Namun, Monha tidak mengungkitnya.
Lily mencoba tersenyum, meskipun dalam hatinya ada kekosongan yang sangat dalam. “Aku baik-baik saja, Nyonya,” jawabnya dengan suara datar, berusaha menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja.
Monha mengangguk dan memberikan senyuman kecil. “Baiklah kalau begitu. Jangan lupa, jika kamu butuh apa-apa, aku ada di sini untukmu.”
Lily hanya mengangguk pelan, namun hatinya tetap terasa hancur. Begitu pintu tertutup, ia menatap cermin dan merenung.
Perasaan takut dan cemas kembali datang. Meskipun Hugo tampak manis di luar, sebenarnya adalah sosok yang terus memaksanya berada dalam cengkeramannya.
Lily merasa ia harus keluar dari hubungan ini. Namun, rasa cintanya terhadap Hugo masih ada, meski ia tahu pria itu tidak pernah benar-benar menghargainya.
Dah itulah pesan dari author remahan ini🥰🥰🥰🥰