Memiliki anak tanpa suami membuat nama Cinta tercoret dari hak waris. Saudara tirinya lah yang menggantikan dirinya mengelola perusahaan sang papa. Namun, cinta tidak peduli. Ia beralih menjadi seorang barista demi memenuhi kebutuhan Laura, putri kecilnya.
"Menikahlah denganku. Aku pastikan tidak akan ada lagi yang berani menyebut Laura anak haram." ~ Stev.
Yang tidak diketahui Cinta. Stev adalah seorang Direktur Utama di sebuah perusahaan besar yang menyamar menjadi barista demi mendekatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17~ APA GAK SEBAIKNYA DIUNDUR SAJA?
"Baik, Pak Azka. Terima kasih banyak atas niat baiknya," ucap pak Haris lalu mengakhiri panggilan. .
"Gimana, Pa. Apa kata Pak Azka?" tanya mama Ratih yang sejak tadi duduk di samping suaminya yang sedang berbicara dengan pak Azka melalui sambungan telepon. Mencoba menguping pembicaraan mereka, tapi suaminya mengecilkan volume suara.
"Pak Azka bilang, minggu depan akan datang kesini untuk melamar."
"Serius, Pa?" Kedua mata mama Ratih seketika berbinar.
"Iya, katanya Vano sendiri yang meminta," jawab papa Haris.
"Indri, Indri!" Mama Ratih langsung berteriak memanggil putrinya.
Papa Haris menggeleng-geleng kepala. Tersenyum tipis melihat istrinya begitu senang.
Indri yang mendengar teriakkan sang mama, bergegas merapikan penampilannya lalu segera keluar dari kamar. Hari ini ia ada undangan reuni di sebuah restoran.
"Indri, cepat sini, Nak!" panggil mama Ratih begitu antusias ketika melihat putrinya.
"Ada apa sih, Ma?" tanya Indri setelah duduk di samping mamanya.
"Tadi Pak Azka telepon Papa. Katanya, Minggu depan dia mau kesini untuk melamar."
"Serius, Ma?" Senyum Indri mengembang.
"Iya, Sayang. Akhirnya, apa yang kamu inginkan akan segera terwujud."
Indri berdiri dari tempat duduknya, lalu berpindah duduk di samping papa Haris dan memeluk lengannya. "Ini semua berkat Papa. Terima kasih banyak, Pa."
"Sama-sama, Sayang. Papa turut senang atas kebahagiaan kamu." Papa Haris mengusap pucuk kepala anak tirinya itu.
Obrolan mereka harus terhenti ketika Cinta datang. Mama Ratih menatap sinis anak tirinya itu. Sedangkan pak Haris langsung menatap kearah lain, sementara Indri semakin merangkul erat lengan papanya.
Cinta tertunduk sejenak melihat mereka bertiga, kehangatan seperti itu sudah cukup lama tak lagi ia rasakan. Bahkan ia sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali mereka duduk dan mengobrol bersama, dan entah kapan terakhir kali ia memeluk lengan sang papa seperti yang dilakukan Indri sekarang.
"Pa, ada yang ingin aku katakan," ucapnya. Namun, sang papa tak menghiraukan.
"Mau ngomong apa?" tanya mama Ratih terdengar ketus.
Cinta hanya melirik mama tirinya itu, lalu kembali menatap sang papa. Ia tampak menarik nafas dalam-dalam sebelum berbicara. "Pa, Minggu depan ada yang akan datang untuk melamar ku."
Meski mendengar dengan jelas, namun papa Haris tampak tak tertarik dengan kabar bahagia yang disampaikan putrinya, ia masih dengan posisinya menatap kearah lain. Indri dan mama Ratih lah yang langsung bereaksi saling lirik, kemudian ... terkekeh.
"Apa kamu bilang? Ada yang akan melamar kamu?" tanya Indri terdengar mengolok.
"Oh, aku tahu. Pasti laki-laki yang kemarin, kan? Siapa namanya?" Indri tampak berpikir untuk mengingat nama pria yang sudah dua kali ia dapati menjemput Cinta. "Ah iya, aku ingat namanya Stev. Iya, pasti dia, kan, yang akan datang melamar kamu?"
Cinta tak merespon pertanyaan beruntun saudari tirinya itu. Tatapannya tetap tertuju pada sang papa, sakit rasanya melihat reaksi papanya. Disaat ia menyampaikan sebuah kabar bahagia, tapi papa sama sekali tak terlihat senang. Sebaliknya, papa hanya menunjukkan reaksi bahagia saat ada yang akan melamar Indri.
"Eh, tunggu dulu. Kamu tadi bilang Minggu depan, kan? Kok bisa bareng gitu ya sama lamaran aku yang Minggu depan juga. Ah, tapi gak apa-apa. Biar terlihat calon siapa yang lebih hebat." Indri tersenyum membanggakan diri. Di hari lamaran nanti, akan ia tunjukkan pada keluarga calon suaminya Cinta, kehebatan dari keluarga calon suaminya. Pria yang akan melamar saudari tirinya itu sama sekali tak sebanding dengan Vano. Bahkan ia masih ingat bagaimana penampilan pria itu, dari cara berpakaiannya saja sudah terlihat sekali bahwa dia orang tak mampu, mobil pun hanya rentalan. Apa yang bisa dibanggakan. Berbeda dengan Vano yang punya segalanya.
Lagi, Cinta tak menanggapi ucapan Indri. Tatapannya masih tertuju pada papa Haris. "Aku harap, Papa bisa menyambut kedatangan mereka nanti." Setelah mengatakan itu, ia pun kembali ke kamar untuk bersiap-siap berangkat kerja. Sebentar lagi taksi yang di pesan Stev akan datang menjemputnya. Pria itu tak akan lagi menjemputnya selama seminggu ke depan sampai hari lamaran tiba.
.
.
.
"Indri, berita yang viral kemarin itu beneran? Kamu tak hanya menjalin kerjasama dengan Vano, tapi juga akan menjalin hubungan keluarga?" tanya salah satu teman Indri. Saat ini mereka berkumpul di sebuah restoran, mengadakan reuni kecil-kecilan dengan makan bersama.
"Hem, Minggu depan dia akan datang melamar ku," jawab Indri sambil tersenyum membanggakan diri pada teman-temannya.
"Wah, Indri selamat ya."
"Iya, Indri selamat buat kamu."
"Duh, boleh iri gak, sih? Si Vano itu bukan cuma anak sultan tapi ganteng banget."
"Benarkah? Wah, jadi pengen kenalan."
"Hus, jangan ganjen sama calon suami orang!"
"Indri, kalau kamu sudah bosan sama dia, segera kabari aku ya. Aku siap kok, nampung dia di hatiku."
Indri hanya tersenyum mendengar candaan temen-temennya. "Di hari pernikahanku nanti, kalian semua harus datang."
"Kita-kita pasi datang lah, masa enggak. Kapan lagi bisa dekat-dekat sama si Vano, foto-foto gitu. Iya gak?"
"Iya dong."
"Eh, Ndri. Kita teman-teman kamu. Kita gak disiapin seragam Bridesmaid, nih?"
"Kalian tenang aja. Saat aku fitting baju pengantin nanti, kalian semua ikut untuk mengukur gaun masing-masing," ucap Indri.
"Asyik." Teman-teman Indri tersenyum senang.
Saat ini Indri serasa berada di atas awan, ia tersenyum bangga dihadapan teman-temannya. Rasanya sudah tak sabar menanti hari pernikahannya tiba, duduk di kursi pelaminan bak seorang ratu. Dan para teman-temannya adalah dayang-dayangnya.
Di sisi lain...
Cinta tampak melamun di balik meja bar. Mengingat reaksi sang papa saat ia memberitahu ada yang akan melamarnya, membuatnya sedih dan bimbang.
Sepertinya ia harus memberitahu Stev untuk mengundur acara lamarannya. Terlebih di hari yang sama Indri juga akan akan ada yang melamar. Ia tidak mau, Stev akan dibanding-bandingkan dengan calon suami Indri nanti yang sudah jelas pasti berasal dari keluarga terpandang. Sementara Stev, hanya seorang pria sederhana.
"Hei, ngelamunin apa sih?" tanya Vano yang baru kembali dari kamar mandi, membuat Cinta tersentak.
"Stev, ada yang mau aku omongin sama kamu." Cinta menatap pria itu dengan lekat.
"Mau ngomongin apa?"
"Stev, apa gak sebaiknya diundur saja? Jangan Minggu depan, soalnya di hari itu Indri juga akan ada yang melamar," ujar Cinta.
Vano nampak menahan tawa, membayangkan kehebohan Indri memberitahu semua orang bahwa ia akan dilamar oleh seorang Stevano.
"Memangnya kenapa kalau bareng? Kan bagus, aku dan orangtuaku bisa sekalian kenalan sama keluarga calon suami si Indri itu."
"Stev, please di undur aja ya. Setidaknya sehari setelah lamaran Indri, deh," mohon Cinta.
"Duh, gimana ya? Aku sudah terlanjur bilang sama orangtuaku dan sekarang mereka tengah sibuk mempersiapkan hantaran lamaran. Aku gak mungkin buat semangat mereka pupus dengan mengundur waktu yang sudah ditentukan."
Cinta nampak semakin bimbang. Ia tak tega membayangkan kesedihan di wajah orang tua Steve saat sambutan papanya nanti tak sehangat menyambut keluarga dari calon suaminya Indri.