NovelToon NovelToon
Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Cintapertama / Mengubah Takdir / Obsesi / Cinta pada Pandangan Pertama / Fantasi Wanita
Popularitas:57
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30: Ketakutan yang Nyata

Pratama Al-Fahri berdiri dengan angkuh di ujung lorong yang lembap, bayangannya memanjang menyentuh kaki Fatimah. Cahaya senter dari anak buahnya membuat debu-debu yang beterbangan terlihat seperti butiran kristal yang mencekam.

Ujung pistol hitam itu berkilat dingin, mengunci sasaran tepat di dahi Arfan yang masih merintih menahan perih. Fatimah merasakan seluruh persendiannya melemah, namun ia tetap memaksakan diri berdiri di depan Arfan untuk menjadi tameng nyawa.

"Singkirkan benda itu dari hadapannya, Ayah, dia tidak tahu apa-apa tentang urusan kita," teriak Fatimah dengan suara yang parau akibat tangis yang tertahan.

Pratama tertawa rendah, sebuah tawa yang tidak menyiratkan kebahagiaan melainkan penghinaan yang amat dalam. Ia melangkah maju satu demi satu, membuat bunyi sepatunya menggema di dinding lorong yang sempit dan berlumut.

"Anakku yang malang, kau masih saja melindungi orang asing sementara kau mengkhianati darah dagingmu sendiri," ucap Pratama dengan nada bicara yang sangat tajam.

"Aku tidak pernah mengkhianati siapa pun, aku hanya mencari kebenaran yang selama ini Ayah kubur dengan darah Luna," balas Fatimah sambil gemetar hebat.

Mendengar nama Luna disebut, raut wajah Pratama berubah menjadi merah padam seolah ada api yang menyulut amarahnya. Ia memberikan isyarat kepada dua orang berbadan tegap di belakangnya untuk segera meringkus Fatimah dan merebut kotak logam itu.

Fatimah mencoba melawan dengan sisa tenaganya, namun cengkeraman tangan pria-pria itu terlalu kuat untuk ukuran tubuhnya yang mungil. Kotak logam yang berisi bukti kejahatan itu akhirnya berpindah tangan ke pelukan Pratama yang tampak sangat puas.

"Bawa pria cacat ini ke tepi jurang, biarkan dia menyusul istrinya yang keras kepala itu ke liang lahat," perintah Pratama tanpa ada sedikit pun rasa kasihan.

Arfan mencoba menggerakkan lengannya yang kaku, berusaha meraih kaki salah satu penculik, namun sebuah tendangan keras mendarat di rusuknya. Ia terbatuk, mengeluarkan sisa oksigen yang membuatnya semakin sulit untuk mempertahankan kesadaran di tengah kegelapan lorong.

Fatimah berteriak histeris, air matanya membasahi cadar hitamnya hingga kain itu terasa sangat berat dan menyesakkan napasnya. Ia memohon dengan sangat iba, bahkan bersedia bersujud di kaki ayahnya agar Arfan diberikan kesempatan untuk tetap bernapas.

"Aku akan kembali menjadi Zahra dan melakukan apa pun maumu, asalkan kau biarkan dia pergi hidup-hidup dari tempat ini," rintih Fatimah dengan posisi berlutut.

Pratama menghentikan langkahnya, menatap putrinya dengan pandangan yang sulit diartikan antara kasih sayang yang menyimpang dan ambisi buta. Ia memberi tanda agar anak buahnya berhenti menyeret Arfan ke arah mulut lorong yang berbatasan langsung dengan tebing curam.

"Janji seorang Al-Fahri adalah hutang nyawa, Zahra, jika kau melanggarnya maka pengacara ini akan mati di tanganmu sendiri," ancam Pratama sambil mengusap kepala Fatimah.

"Aku berjanji, aku akan mengikuti semua aturanmu, hanya tolong selamatkan dia sekarang juga," jawab Fatimah dengan nada suara yang sangat pasrah.

Para pria berbadan tegap itu melempar tubuh Arfan ke lantai tanah yang dingin, membiarkannya tergeletak seperti onggokan kain usang yang tak berharga. Pratama kemudian memerintahkan mereka untuk membawa Fatimah menuju kendaraan yang sudah menunggu di balik rimbunnya hutan.

Fatimah menoleh untuk terakhir kalinya ke arah Arfan, memberikan sebuah tatapan penuh perpisahan yang dibalut oleh rasa bersalah yang amat besar. Ia tahu bahwa mulai detik ini, hidupnya bukan lagi miliknya sendiri, melainkan sebuah bidak catur di tangan ayahnya.

Arfan membuka matanya sedikit, melihat bayangan Fatimah yang perlahan menghilang ditelan kegelapan lorong bersama para pria kejam tersebut. Ia ingin berteriak, namun suaranya tercekat di tenggorokan yang terasa sangat kering dan penuh dengan rasa sakit yang luar biasa.

Suasana di dalam lorong menjadi sangat sunyi setelah rombongan itu pergi, hanya menyisakan suara tetesan air dari atap gua yang menimpa genangan. Arfan mengerahkan seluruh kemampuan otaknya untuk tetap terjaga, meskipun rasa kantuk akibat kehilangan banyak darah mulai menyerang saraf pusatnya.

Ia meraba saku jaketnya, mencari benda kecil yang mungkin bisa menyelamatkan nyawanya dari kesendirian yang sangat mematikan di tengah hutan ini. Jemarinya yang berlumuran darah menyentuh sebuah benda plastik berbentuk kotak kecil yang tadi sempat diselipkan oleh Bibi Aisyah secara diam-diam.

Ternyata itu adalah sebuah alat pelacak darurat yang memiliki tombol merah di bagian tengahnya untuk mengirimkan sinyal kepada bantuan luar. Arfan menekan tombol itu dengan sisa tenaga terakhirnya, sebelum akhirnya kegelapan benar-benar merenggut kesadarannya secara total dan tanpa ampun.

Di sisi lain hutan, Fatimah dipaksa masuk ke dalam sebuah mobil mewah berwarna hitam yang interiornya sangat kontras dengan kemiskinan panti asuhan. Pratama duduk di sampingnya, memegang kotak logam itu seolah benda tersebut adalah harta karun yang paling berharga di seluruh dunia.

"Kau akan segera melupakan semua kehidupan panti asuhan yang menjijikkan itu dan kembali ke tempat asalmu yang megah," ujar Pratama sambil menyalakan cerutu.

"Tempat megah itu adalah neraka bagiku jika dibangun di atas penderitaan orang lain yang tidak bersalah," sahut Fatimah dengan keberanian yang masih tersisa.

Pratama hanya tersenyum tipis, menganggap perkataan Fatimah sebagai angin lalu yang tidak akan mampu mengubah rencana besarnya untuk masa depan perusahaan. Ia sudah menyiapkan skenario baru untuk membersihkan nama Zahra di depan media, meskipun itu artinya harus mengorbankan banyak orang.

Mobil itu melaju kencang membelah kesunyian malam, meninggalkan jejak ban di atas tanah yang masih basah akibat sisa hujan sore tadi. Fatimah memejamkan mata, berdoa dalam hati agar Arfan ditemukan oleh orang yang tepat sebelum ajal benar-benar menjemput pria itu.

Namun, ketakutan baru muncul ketika mobil itu tiba-tiba berhenti di tengah jalan yang sangat sepi dan dikelilingi oleh pepohonan raksasa yang menyeramkan. Pintu mobil dibuka secara paksa dari luar oleh sekelompok orang bertopeng yang memegang senjata tajam dengan posisi siap untuk menyerang.

"Siapa kalian? Beraninya mengadang mobil keluarga Al-Fahri di tengah jalan seperti ini!" bentak Pratama sambil mencoba meraba senjatanya di balik jas.

Seorang pria bertopeng dengan postur tubuh yang sangat dikenal oleh Fatimah melangkah maju, menghunuskan sebilah belati panjang ke arah leher supir mobil. Mata pria itu terlihat sangat haus akan darah dan dendam yang sudah lama terpendam, membuat jantung Fatimah berdegup kencang karena ia mengenali tatapan itu.

Pria itu melepaskan topengnya secara perlahan, menampakkan wajah Haikal yang penuh dengan luka parut akibat kejadian di masa lalu yang sangat kelam. Ia menatap Fatimah dengan senyuman yang jauh lebih mengerikan daripada ayahnya, seolah ia baru saja menemukan mangsa yang paling dinanti selama ini.

"Permainan ini belum selesai, Zahra, karena mahkota surga yang kau banggakan itu akan segera berubah menjadi bara api yang membakar seluruh hidupmu," bisik Haikal dengan suara yang membuat bulu kuduk Fatimah berdiri tegak secara spontan.

 

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!