Lima abad setelah hilangnya Pendekar Kaisar, dunia persilatan terbelah. Pengguna tombak diburu dan dianggap hina, sementara sekte-sekte pedang berkuasa dengan tangan besi.
Zilong, pewaris terakhir Tombak Naga Langit, turun gunung untuk menyatukan kembali persaudaraan yang hancur. Ditemani Xiao Bai, gadis siluman rubah, dan Jian Chen, si jenius pedang, Zilong mengembara membawa Panji Pengembara yang kini didukung oleh dua sekte pedang terbesar.
Di tengah kebangkitan Kaisar Iblis dan intrik berdarah, mampukah satu tombak menantang dunia demi kedamaian, ataukah sejarah akan kembali tertulis dalam genangan darah?
"Satu Tombak menantang dunia, satu Pedang menjaga jiwa, dan satu Panji menyatukan semua."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agen one, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Resonansi Dua Jiwa
Suasana arena yang semula riuh rendah oleh teriakan amarah mendadak jatuh ke dalam keheningan yang mencekam. Seorang pria berjalan perlahan menaiki anak tangga arena. Ia tidak mengenakan seragam sekte yang mencolok, melainkan jubah hitam sederhana yang berkibar ditiup angin kencang. Di pinggangnya, tersampir sebuah pedang dengan sarung hitam polos tanpa hiasan.
Namanya adalah Jian Chen, yang dijuluki sebagai "Pedang Sunyi". Ia adalah murid rahasia yang selama ini disembunyikan oleh faksi pedang, seorang jenius yang telah mencapai puncak Pendekar Jiwa di usia yang sangat muda.
Zilong berdiri, matanya sedikit menyipit. Untuk pertama kalinya sejak ia turun gunung, ia merasakan tekanan Qi yang mampu membuat bulu kuduknya berdiri. Lawannya kali ini berbeda—tidak ada kesombongan di matanya, hanya ada ketenangan sedalam samudra.
"Zilong," ucap Jian Chen, suaranya pelan namun terdengar jelas ke seluruh penjuru arena. "Aku tidak peduli pada politik sekte. Aku datang hanya karena pedangku bergetar merasakan kehadiran tombakmu. Mari kita tunjukkan pada mereka apa itu seni bela diri yang sesungguhnya."
Zilong tersenyum tipis, senyuman pertama yang penuh rasa hormat. "Aku menerima tantanganmu, Jian Chen."
Tanpa aba-aba, keduanya melesat di saat yang bersamaan.
TRANG!
Benturan pertama antara pedang hitam Jian Chen dan Tombak Naga Langit Zilong menciptakan gelombang kejut yang membuat debu-debu di lantai arena terbang membentuk lingkaran sempurna. Kecepatan mereka sudah tidak bisa lagi diikuti oleh mata manusia biasa; penonton hanya melihat kilatan cahaya perak dan hitam yang saling beradu.
Jian Chen bergerak seperti bayangan. Pedangnya tidak hanya menebas, tapi juga membelok di udara seolah-olah bilah logam itu adalah air yang mengalir. Zilong membalas dengan putaran tombak yang rapat, menciptakan dinding pertahanan absolut.
Setiap kali logam mereka bertemu, percikan api menyambar diikuti dengan ledakan energi yang semakin besar.
"Teknik Pedang Langit: Sembilan Gerhana!" teriak Jian Chen. Pedangnya membelah menjadi sembilan bayangan yang menyerang Zilong dari sudut yang mustahil.
Zilong menghentakkan pangkal tombaknya ke tanah, memutar tubuhnya di udara dengan posisi horizontal. "Teknik Naga Langit: Pusaran Awan Putih!"
Tombak Zilong berputar begitu cepat hingga membentuk perisai angin puyuh yang menelan kesembilan bayangan pedang tersebut. Ledakan energi terjadi di tengah arena, menghancurkan beberapa ubin granit hitam hingga menjadi debu halus.
Pertarungan terus berlanjut tanpa ada tanda-tanda siapa yang akan tumbang. Jika Jian Chen menyerang dengan kecepatan cahaya, Zilong membalas dengan jangkauan dan daya hancur yang tak terduga.
Di balkon kehormatan, Master Jian berdiri, kedua tangannya mencengkeram pagar pembatas. "Luar biasa... ini bukan lagi sekadar pertandingan. Ini adalah dialog antara dua pendekar puncak. Mereka saling menyeimbangkan, saling menantang batas kemampuan masing-masing."
Keringat mulai menetes di pelipis Zilong, begitu juga dengan Jian Chen. Napas mereka mulai memburu, namun semangat bertarung di mata mereka justru semakin berkobar.
Jian Chen mundur tiga langkah, memegang pedangnya dengan kedua tangan di atas kepala. Aura hitam pekat mulai menyelimuti dirinya, membentuk bayangan pedang raksasa yang menembus langit. Di sisi lain, Zilong memegang tombaknya dengan satu tangan di belakang, sementara tangan kirinya membentuk segel. Aura biru keemasan meledak dari tubuhnya, membentuk siluet naga yang melilit tubuhnya.
"Satu serangan terakhir untuk babak ini?" tanya Jian Chen dengan napas terengah.
"Mari kita buktikan siapa yang lebih kokoh," sahut Zilong.
Keduanya menerjang dengan seluruh sisa kekuatan Qi mereka.
DUARRRRRRRRRRRR!
Ledakan cahaya yang dihasilkan begitu menyilaukan hingga seluruh penonton harus menutup mata. Tanah di bawah mereka amblas, membentuk kawah besar di tengah arena. Kabut debu tebal menyelimuti segalanya.
Saat debu perlahan menipis, penonton menahan napas. Zilong masih berdiri tegak dengan tombak yang menunjuk ke depan, namun ujung pedang Jian Chen hanya berjarak satu inci dari dada Zilong. Sebaliknya, mata tombak Zilong juga berada tepat di depan tenggorokan Jian Chen.
Keduanya tidak bergerak sedikit pun. Tidak ada luka yang terlihat, namun lantai di sekitar mereka telah hancur total.
"Imbang." bisik Jian Chen sambil menarik pedangnya perlahan.
Zilong menurunkan tombaknya, dadanya naik turun mengatur napas. "Kau lawan yang hebat. Jika kita teruskan, arena ini akan menjadi makam bagi kita berdua."
Wasit yang gemetar tidak tahu harus mengumumkan apa. Seluruh arena terdiam dalam rasa hormat yang mendalam. Hari itu, kebencian terhadap tombak seolah terlupakan sejenak, digantikan oleh kekaguman atas pertarungan yang melampaui logika manusia.