NovelToon NovelToon
Benih Pengikat Kaisar

Benih Pengikat Kaisar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / CEO / Cinta setelah menikah / One Night Stand / Percintaan Konglomerat
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Puji170

Satu tahun menikah, tapi Sekar (Eka) tak pernah disentuh suaminya, Adit. Hingga suatu malam, sebuah pesan mengundangnya ke hotel—dan di sanalah hidupnya berubah. Ia terjebak dalam permainan kejam Adit, tetapi justru terjatuh ke pelukan pria lain—Kaisar Harjuno, CEO dingin yang mengira dirinya hanya wanita bayaran.

Saat kebenaran terungkap, Eka tak tinggal diam. Dendamnya membara, dan ia tahu satu cara untuk membalas, menikahi lelaki yang bahkan tak percaya pada pernikahan.

"Benihmu sudah tertanam di rahamiku. Jadi kamu hanya punya dua pilihan—terima atau hadapi akibatnya."

Antara kebencian dan ketertarikan, siapa yang akhirnya akan menyerah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12

Malam yang tak terduga itu meninggalkan jejak dalam diri Kai—bukan sekadar kenangan, tetapi sensasi yang sulit diabaikan. Tubuhnya seolah menuntut lebih, seperti kecanduan yang diam-diam merayapi kesadarannya.

Kai bukan pria bodoh yang mudah diperdaya wanita, apalagi dengan ancaman seperti yang Eka lontarkan—bahwa ia mungkin mengandung anaknya. Seharusnya, ia menolak mentah-mentah, tetap berpegang pada logikanya. Namun entah bagaimana, perlahan, ia mulai merespons kehadiran wanita itu dengan cara yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Kini, Kai hanya berdiri di tepi ranjang, menatap Eka yang terlelap dalam kelelahan setelah pergulatan mereka barusan. Napasnya teratur, wajahnya tampak tenang, seolah tak ada beban yang mengganggu.

Kai mengusap wajahnya sendiri, menghela napas berat.

"Kamu sudah gila, Kai," gumamnya lirih. Matanya kembali menatap Eka, tatapan yang sarat dengan konflik batin. "Meski keperawanannya milikmu… dia tetap istri orang lain."

Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya saat mengucapkan kalimat itu—sesuatu yang seharusnya tidak ia rasakan. Sesuatu yang, sialnya, justru membuatnya semakin terikat pada wanita itu.

Kai menghela napas panjang, matanya tetap terkunci pada sosok Eka yang masih terlelap. Sekilas, wanita itu terlihat begitu rapuh—tidak seperti beberapa jam yang lalu, ketika ia menantangnya tanpa ragu.

Ia meraih rokok dari atas meja, menyalakannya tanpa berpikir panjang. Asap tipis mengepul di udara, berbaur dengan pikirannya yang semakin kusut. Ini bukan sekadar kesalahan. Ini bencana.

Tatapannya kembali turun ke arah tubuh Eka yang sebagian tertutup selimut. Ingatan tentang sentuhannya di kulit wanita itu masih melekat jelas di benaknya, membuatnya menggertakkan gigi.

"Bodoh," desisnya sendiri. "Kenapa aku tidak bisa berhenti?"

Seharusnya, ia membiarkan semua ini berakhir di malam itu saja atau di hari kemarin saat ia memberikan cek padanya. Seharusnya, ia membiarkan Eka pergi, kembali ke kehidupannya. Namun, nyatanya ia justru terpedaya begitu saja.

***

Pagi itu datang tanpa ampun. Eka terbangun dengan tubuh yang terasa remuk, seolah setiap sendinya menjerit protes. Rasa lelah masih melekat, tapi bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak. Begitu matanya terbuka, kesadaran pun menyerang tanpa belas kasih—ia telah melakukannya lagi.

Tidur dengan Kai.

Ia menatap langit-langit kamar, pikirannya berputar tak terkendali. Ini bukan bagian dari rencana. Seharusnya ia hanya memancing lelaki itu, memaksanya memberikan status, lalu menghancurkan keluarga Wirawan dengan lebih kejam. Seharusnya ia mengendalikan permainan ini. Tapi mengapa justru ia yang tenggelam?

Giginya merapat, jemarinya mencengkeram selimut dengan erat.

"Apa yang kamu lakukan, Eka?"

Ia ingin menyalahkan Kai, ingin meyakinkan dirinya bahwa lelaki itu adalah bahaya yang harus ia hindari. Tapi saat bayangan semalam kembali muncul di benaknya—cara Kai menyentuhnya, tatapan itu, bisikan itu—dadanya justru semakin bergetar.

Sial.

Dengan susah payah, ia duduk di tepi ranjang. Napasnya pendek, pikirannya kacau. Matanya terasa panas, bukan karena lelah, tapi karena marah pada dirinya sendiri.

"Kamu hanya ingin dia bertanggung jawab... hanya itu."

Suara di kepalanya terdengar begitu lemah. Nyaris seperti pembelaan yang bahkan ia sendiri tak percaya. Kai bukan pria yang bisa dikendalikan. Ia lebih berbahaya daripada yang pernah Eka bayangkan.

Dan yang lebih mengerikan lagi...

Ia mulai meragukan apakah ia benar-benar ingin mengendalikannya. Suara pintu terbuka membuat Eka tersentak.

Kai berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja hitam dengan kancing atas terbuka. Cahaya pagi membingkai siluetnya, membuat sosok itu terlihat semakin mendominasi. Tatapan matanya tajam, penuh sesuatu yang tak bisa Eka baca.

Senyum tipis terukir di bibirnya. "Bangun lebih cepat dari yang kuduga."

Kai melangkah masuk tanpa permisi, mendekat hingga jarak mereka hanya beberapa inci. Udara di antara mereka seolah menegang, membuat bulu kuduk Eka meremang.

"Kamu menyesal?"

Pertanyaannya tajam, menghujam tepat ke dalam hati.

Eka membuka mulut, tapi suaranya tersangkut di tenggorokan. Ia bahkan tak tahu harus menjawab apa.

Kai terkekeh pelan—bukan tawa hangat, melainkan sesuatu yang membuat udara terasa lebih dingin. Jemarinya terangkat, menyentuh dagu Eka dengan sentuhan yang seharusnya ringan, tapi terasa seperti rantai tak kasat mata yang mengekangnya. Dengan perlahan, ia mengangkat wajah Eka, memaksanya menatap langsung ke dalam matanya—mata yang mengandung bahaya yang tak terucapkan.

"Terlambat," bisiknya, begitu dekat hingga napasnya menyentuh kulit. "Kamu sudah terlalu dalam."

Eka menelan ludah. Ia mencoba tetap tenang, meski dadanya berdebar lebih kencang dari yang seharusnya. Dengan gerakan cepat, ia menepis tangan Kai dari wajahnya dan berkata dengan nada menantang, "Haruskah kita menikah sekarang?"

Kai menautkan alisnya, lalu tersenyum tipis. "Kenapa terburu-buru? Bukannya kita sudah sepakat?"

Eka mendengus, enggan meladeni ucapannya. Ia turun dari ranjang, berniat membersihkan diri, tapi suara Kai kembali menahan langkahnya.

"Di mana jam tangan itu?"

Eka berhenti, lalu menoleh dengan sorot tajam. "Tenang saja, belum aku hancurin."

Tatapan Kai menggelap.

Eka melangkah lebih dekat, berdiri tepat di hadapannya. Ada tantangan dalam caranya menatap pria itu. "Apa jam tangan itu begitu penting?"

Kai tidak tersenyum kali ini. Suaranya rendah, nyaris berbisik, namun dingin seperti belati yang ditempelkan ke kulit leher. "Lebih penting daripada nyawamu."

Jantung Eka berdegup lebih kencang. Tapi alih-alih gentar, ia justru mendengus sinis. "Awas, Patkai!" katanya sebelum melangkah cepat ke kamar mandi dan membanting pintunya.

Kai mendecak sebal sembari mengepalkan tangannya kuat-kuat, "Wanita itu..."

Hanya butuh beberapa menit bagi Eka untuk menyelesaikan ritual mandinya. Saat ia keluar dari kamar mandi, keadaan terasa sepi, seolah Kai telah menghilang tanpa jejak. Namun, tak lama kemudian, salah satu pelayan rumah itu datang menghampirinya.

"Nona, ini baju ganti yang sudah disiapkan Pak Kai untuk Anda," ucapnya sopan.

Eka menatap pakaian yang disodorkan, lalu menerimanya dengan sedikit ragu. "Terima kasih," katanya, diiringi senyum kecil di bibirnya. Ia masih sulit percaya bahwa lelaki itu cukup perhatian hingga menyiapkan satu set pakaian lengkap yang ukurannya pas dengannya.

"Setelah berganti pakaian, Anda ditunggu di ruang makan," tambah pelayan itu.

Eka mengangguk singkat, lalu menghela napas. Ada sesuatu yang membuat hatinya tak tenang, tapi setelah mengenakan pakaian ia langsung menuju ruang makan.

Sementara itu, Kai sedang duduk santai di ruang makan, jemarinya mengetuk perlahan permukaan meja, menunggu dengan ekspresi datar. Namun, begitu Eka muncul di ambang pintu, napasnya sempat tertahan sesaat.

Matanya mengamati tanpa sadar—cara kain itu membingkai tubuh Eka dengan sempurna, bagaimana rambutnya yang masih sedikit basah menjuntai lembut, membuatnya terlihat lebih segar dan… memikat.

Eka melangkah masuk dengan anggun, tanpa menyadari tatapan intens yang tertuju padanya. Kai menatapnya lebih lama dari yang seharusnya, matanya menelusuri tiap detail—gaun sederhana itu justru membuatnya terlihat lebih memikat, rambutnya yang masih sedikit basah menambah kesan lembut yang kontras dengan sosoknya yang biasanya tertutup dan penuh kewaspadaan.

Saat mata mereka akhirnya bertemu, Kai buru-buru mengalihkan pandangannya, berusaha menyembunyikan sesuatu yang bahkan dirinya sendiri enggan akui. Tapi di balik ekspresi dinginnya, pikirannya terusik.

Sial, kenapa wanita ini terlihat begitu cantik?

Eka berdiri di belakang kursi, menunduk seolah menunggu instruksi. Satu tahun di rumah Wirawan telah menanamkan kebiasaan dalam dirinya—ia tidak pernah diizinkan makan bersama. Seorang istri, menurut mereka, harus melayani suaminya terlebih dahulu sebelum memikirkan perutnya sendiri. Maka tak heran jika sekarang, berdiri di ruang makan ini, Eka tak berani duduk dan malah menunggu Kai selesai makan lebih dulu.

Kai, yang masih berusaha meredakan pikirannya, akhirnya berdeham pelan. Dengan nada lebih tenang dari yang seharusnya, ia berkata, "Makan."

Eka mengira itu adalah perintah untuk melayani. Dengan sigap, ia mengambil sendok dan menyendokkan nasi goreng ke piring kosong milik Kai, melakukannya dengan hati-hati agar tak berbuat kesalahan. Namun, alih-alih menerima, suara gebrakan meja tiba-tiba memenuhi ruangan.

BRAK!

Eka tersentak, jantungnya mencelos. Ia menatap Kai dengan mata melebar, napasnya tercekat.

"A… Apa aku salah?" suaranya bergetar, takut telah melakukan sesuatu yang tidak seharusnya.

1
Dia Fitri
/Ok/
Hayurapuji: terimakasih kakak
total 1 replies
Muslika Lika
Ya ampun patkaai..... imajinasi mu lho thor.... melanglang buana....
Muslika Lika: bener bener si eka eka itu ya.....😂
Hayurapuji: hahhaha, dia dipanggil anak buahnya Pak kai, nah si eka kepleset itu lidahnya jadi Patkai
total 2 replies
@Al🌈🌈
/Good/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!